Friday, March 25, 2011

Pengembara Keliling Dunia


Menjadi seorang pengembara keliling dunia adalah mimpiku sejak aku tahu sebuah kata yaitu 'jalan-jalan'. Kira-kira sejak aku berusia 6 tahun. Ayahku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan ekspedisi, jadi hal itu membuatnya harus bepergian ke seluruh pulau di Indonesia. Kadang selama sebulan dia pergi sebanyak tiga kali, meninggalkan aku dan Ibu di rumah. Namun dia selalu membawa oleh-oleh dari setiap pekerjaannya, dan kebanyakan dari oleh-oleh itu adalah cerita. Cerita bagaimana indahnya Labuan Bajo, cerita tentang suku Dayak di Kalimantan, cerita tentang tempat paling enak untuk menikmati matahari tenggelam di Pulau Rote, cerita tentang museum peringatan tsunami di Aceh, dan banyak cerita lain yang merangsang imajinasiku.

Sejak itu aku tahu aku harus menjadi seorang pengembara. Atau dalam bahasa kerennya, 'traveler'. Tapi kata 'pengembara' terkesan lebih dramatis, bukan? Sejak itu, di semua buku biodata yang diberikan kepadaku untuk diisi (kau tahu kan, buku-buku biodata anak SD yang ditulis dengan tulisan-tulisan norak warna-warni), aku selalu menulis 'CITA-CITA: PENGEMBARA' sebagai salah satu bagian dari biodataku (yang biasanya selalu kutulis dengan tinta hitam, tidak ada hiasan-hiasan norak ataupun stiker-stiker).

Sudah empat belas tahun berlalu sejak Larasitta kecil berkoar-koar ingin menjadi seorang pengembara, dan sampai sekarang cita-citaku itu belum berubah. Sejak SMA, aku sudah rajin menabung, uangnya digunakan untuk pergi dengan teman-teman ke luar kota saat liburan sekolah. Di SMA aku sudah berhasil mengembara ke pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (selama tiga tahun berturut-turut). Tahun pertama kuliah, aku dan beberapa teman kuliahku pergi backpacking Thailand-Malaysia-Singapura.

Lalu entah kenapa, sepertinya di tahun kedua kuliah (sekarang) aku merasa bosan akan cita-citaku ini.

Mungkin karena realitas dunia kuliah, atau tugas yang menumpuk dan tak henti-hentinya sebagai mahasiswi Teknik Mesin, yang membuatku enggan bepergian. Rasanya tiga bulan liburan hanya ingin kuhabiskan dengan cara bengong dan bengong di rumah.

Sampai suatu saat aku bertemu dengan seseorang yang kembali memunculkan semangat mengembaraku. Ini adalah ceritanya - ceritaku juga.

***

Perpustakaan Fakultas Teknik
Februari 2011

Aku sedang mencari buku untuk tugas kuliah, ketika tiba-tiba seseorang bertanya kepadaku, "Maaf, kalo mau cari buku tentang Permodelan Sistem, carinya dimana ya?"

Aku terhenyak. Bukan, bukan karena dia mengagetkan aku yang sedang sibuk-sibuknya mencari buku, tetapi aku terhenyak karena melihat orang yang mengagetkanku.

Wajahnya seperti campuran antara Irfan Bachdim dan Mario Maurer - atlet Indonesia dan artis Thailand kesukaanku, ditambah kacamata kotak ber-frame hitam. Dalam hati aku mencoba untuk menenangkan diri, lalu berkata, "Sekitar tiga rak dari sini."

"Makasih," cowok blasteran Bachdim-Maurer itu tersenyum lalu bergegas ke arah yang kutunjukkan barusan. Setelah mendapat buku yang kucari, aku bergegas menuju salah satu meja baca perpustakaan yang kursinya diduduki Helena dan Ayu, dua perempuan Teknik Mesin lainnya, selain aku.

"Len, pernah liat cowok blasteran Bachdim-Maurer nggak di sekitar kampus kita?" tanyaku (belagak) cuek sambil membaca buku yang barusan kuambil dari rak. Aku sengaja bertanya kepada Helena karena dia kenal hampir semua orang di Fakultas Teknik - baik senior maupun junior, baik dari jurusan Teknik Mesin maupun dari jurusan Teknik lainnya.

"Hah? Bachdim-Maurer? Kayaknya pernah. Tapi nggak tau deh," jawab Helena santai sambil mendengarkan lagu di iPod-nya.

Aku kembali menekuni bukuku, sambil ngobrol-ngobrol sedikit dengan Helena dan Ayu - tentang kelas berikutnya, tentang film di bioskop, dan lain-lain. Lalu tiba-tiba aku melihat cowok Bachdim-Maurer itu tepat di depanku, sedang mengobrol dengan temannya. "Yang itu Len," bisikku sambil mencolek Helena.

Helena melepaskan earphone dari telinganya lalu melihat cowok yang barusan aku tunjuk. "Oh, itu! Ya ilah Lar, itu mah gue kenal!" suaranya agak keras, lalu aku sewot dan berkata, "Woi, nggak pake teriak bisa nggak, Len?" Ayu hanya terkikik melihat Helena yang tersipu malu setelah kutegur.

"Iya, gue kenal sama cowok Bachdim-Maurer yang barusan lo liat," bisik Helena. "Namanya Adrian. Anak Teknik Industri, seangkatan sama kita. Kenapa? Mau gue kenalin?" ujar Helena usil.

"Heh! Nggak usah, nggak usah!" bisikku gusar sambil mencubit Helena. Dia dan Ayu hanya terkekeh. "Muka lo merah, Lar..." ujar Ayu sambil terkikik bersama Helena. Sialan, pikirku.

***

Rumah Larasitta
Februari 2011

Sudah tiga minggu berlalu sejak pertemuan sesaatku dengan cowok blasteran Bachdim-Maurer bernama Adrian, dan kami tidak pernah bertemu lagi. Yah, mungkin bukan jodoh, pikirku. Lagipula berdasarkan stalking Facebook, ternyata dia sudah punya pacar, cewek anak Fakultas Ekonomi yang namanya begitu susah sampai malas untuk kuhafalkan (semuanya berkat Helena, anak tereksis di seluruh Fakultas Teknik).

Aku sedang membereskan rak buku di kamar tidurku (yang 80% isinya adalah buku-buku Lonely Planet, BUKAN buku-buku Teknik Mesin) ketika Ibu berteriak dari luar, "Lara! Ayu dateng, nih!"

"Iya Bu, sebentar!" aku buru-buru membereskan rak buku, kemudian bergegas keluar kamar. Di ruang tamu sudah ada Ayu, sepertinya Ibuku sudah membuatkannya minum dan memberinya sedikit cemilan.

"Hey Yu, udah lama? Sorry ya, gue tadi lagi beresin kamar," ujarku sambil duduk di sebelah Ara, lalu mencomot kue putri salju dari toples yang diletakkan di meja tamu.

"Baru kok Lar, santai aja lagi," jawab Ayu. Kemudian dia mengeluarkan sebuah map berwarna hijau dari tasnya dan menyerahkan map itu kepadaku. "Apaan nih?" tanyaku kebingungan.

"Begini, Lar. Gue dan sebagian dari teman-teman pecinta alam memutuskan untuk bikin klub baru yang merupakan sub-bagian dari klub pecinta alam. Bedanya, klub ini adalah klub pengembara - singkatnya, klub untuk orang yang suka jalan-jalan. Gue tau, lo adalah orang yang tepat untuk masuk dalam organisasi ini. Kira-kira lo berminat, nggak?" tanya Ayu straight to the point - sebuah sifat yang sama denganku dan membuat aku klop bergaul dengan Ayu.

"Terus ini map isinya susunan kepengurusan, gitu?" tanyaku sambil membuka map hijau tersebut. Beberapa kertas ada di dalam map tersebut, isinya semacam proposal, anggaran dasar, dan lain-lain.

Ayu mengangguk. "Iya, Lar. Gue dan beberapa teman lain udah mau jadi pengurus inti disitu. Kita tinggal nyari ketua sama sekretarisnya aja, nih." Ayu kemudian menunjuk ke beberapa nama di susunan kepengurusan, memang tertera nama Ayu disitu, sebagai ketua publikasi, beserta dengan nama-nama lain yang tidak kukenal. Dua jabatan yang belum terisi adalah ketua dan sekretaris. "Lo mau jadi apa, Lar?"

Aku berpikir sebentar. Komunitas ini adalah sesuatu yang sangat menjanjikan, dan terus terang, aku ingin mencari teman jalan-jalan yang baru. Siapa tahu klop, dan kami bisa merencanakan pergi ke suatu tempat rame-rame. "Oke, boleh Yu. Gue... jadi sekretaris aja deh."

"Kenapa nggak jadi ketua, Lar? Lo cocok banget lho. Kayaknya yang udah hobi jalan-jalan dari SMA itu cuma lo, deh."

Aku menggeleng. "Nggak deh, Yu. Gue males jadi ketua... tanggung jawabnya gede. Mending gue yang jadi sekretaris, kerjaannya cuma ketak-ketik di komputer. Ya udah, sign me up, ya!"

Ayu tersenyum. "Oke, Lar. Makasih banyak ya! Nanti kalo kepengurusannya udah jadi, bakal gue kabarin anak-anak pengurus inti untuk bikin rapat pertama."

***

Ruang Senat Fakultas Teknik
Maret 2011

Sudah dua minggu berlalu sejak aku menyetujui menjadi sekretaris dari KOBATIK - Komunitas Backpacking Teknik - komunitas 'pengembara' yang ditawarkan Ayu tempo hari. Hari ini adalah rapat pertama pengurus inti KOBATIK untuk menentukan rencana kerja, pengesahan menjadi badan resmi, dan lain-lain. It's gonna be a freaking long day, pikirku.

Sesudah mata kuliah jam tiga, aku langsung berlari tergesa-gesa menuju ruang senat. Begitu sampai di ruang senat, sudah ada lumayan banyak orang berkumpul. Aku masuk ke dalam ruang senat lalu duduk di sebelah Ayu. "Sorry telat, Yu. Pak Bondan ngajarnya lama dan ngebosenin - seperti biasa..."

Ayu hanya meringis. "Santai aja, Lar. Belom mulai kok, ketuanya aja belom dateng."

"Oh, jadi udah ada ketuanya?" tanyaku kebingungan. Ayu mengangguk. "Tapi gue nggak tau siapa. Eh, Lar... Coba liat siapa yang dateng," ujarnya sambil menunjuk ke arah pintu ruang senat.

Sesaat aku melihat ke arah pintu ruang senat, jantungku serasa copot, rahangku serasa mau jatuh. Adrian, cowok blasteran Bachdim-Maurer, berada di depan pintu. "Sorry gue telat," ujarnya sambil meringis. Kemunculannya langsung diolah sedemikian rupa di otakku, seakan-akan dia muncul dengan efek slow motion. Kemunculan Adrian juga bereaksi pada koor "HUUU" anak-anak KOBATIK, lalu seorang cowok yang kukenali bernama Heru - Teknik Lingkungan 2007 berkata, "Payah nih, ketua kok telat!"

"Itu cowok Bachdim-Maurer yang bulan lalu lo kecengin kan, Lar?" ekspresi Ayu tak kalah kagetnya. "Sumpah. Gue bener-bener nggak tau soal si Adrian jadi ketua. Kayaknya si Heru yang ngajak dia."

Aku menelan ludah. Sungguh tidak bisa dipercaya. Si cowok Bachdim-Maurer - oke, aku harus memanggilnya dengan nama aslinya mulai dari sekarang, Adrian - menjadi atasanku di KOBATIK. Sementara aku belum mengenalnya sama sekali.

Melihat tampangku yang sepertinya sudah bercampur antara ekspresi kaget-takut-senang-bingung, Ayu hanya bisa menepuk pundakku sambil berkata, "Yang sabar ya, Lar. Semoga lo bisa mengontrol dreamy face lo selama bekerja satu tahun bareng Adrian."

Tak lama kemudian, rapat dimulai. Isinya perkenalan pengurus inti, jabatan, jurusan masing-masing, dan kenapa tertarik membuat atau menjadi anggota KOBATIK. Yang pertama memperkenalkan diri adalah Adrian. Dia berdiri dengan gagahnya, lalu berkata dengan suaranya yang lantang, "Nama gue Adrian Wiratama, gue anak Teknik Industri angkatan 2009. Gue tertarik untuk masuk KOBATIK karena gue suka backpacking, dan gue pengen cari temen sesama pecinta jalan-jalan." Wow, suaranya bagus, pikirku.

"Ada yang mau kenalan lagi? Sekretaris, mungkin?" tanya Heru selaku moderator rapat (aku sendiri tidak tahu si Heru menjabat apa di KOBATIK, mungkin dia menjabat sebagai Penasehat karena dia sudah cukup senior). Aku menghela nafas. Sekretaris, ya, itu jabatanku di organisasi ini. Dengan gugup aku berdiri, kemudian berkata, "Nama gue Larasitta Hermawan, gue anak Teknik Mesin angkatan 2009... Gue tertarik di KOBATIK karena cita-cita gue adalah menjadi pengembara."

Kontan, seluruh orang di ruang senat terkikik begitu mendengarku mengucapkan kata 'pengembara'. "Lo mau jadi apa tadi?" tanya seorang cewek tomboy dengan rambut spike yang tidak kukenal.

"Eh... pengembara. Emang kenapa?" tanyaku bingung. Apakah aku mengucapkan kata-kata yang salah?

"Kalo mau jadi pengembara mah, nggak usah jadi mahasiswa Teknik! Lulus SMA merantau aja ke negeri orang! Hahaha..." cewek tomboy nyolot itu kembali tertawa bersama beberapa orang lain. Aku mulai risih. Siapa sih ini cewek. Belagu amat, pikirku. Aku kembali duduk kemudian manyun sendirian. Ayu di sebelahku berbisik, "Namanya Ira. Dia emang rada nyolot. Diemin aja, Lar. Posisinya lebih rendah kok dari lo, dia cuma koordinator anggota. Nanti kapan-kapan itu anak bisa lo nyolotin balik." Aku hanya mengangguk lemas. Dari sudut mataku, aku menangkap figur Adrian duduk di pojok, tampangnya begitu tenang. Sepertinya dia tidak menghiraukan ejekan orang-orang tentang cita-citaku menjadi 'pengembara'.

Setelah acara perkenalan, ruang senat langsung ramai karena agenda saat itu adalah peresmian KOBATIK. Kami mengadakan rapat sebentar, dilanjutkan dengan acara makan-makan. Kebetulan beberapa orang sudah menyiapkan nasi boks untuk disantap bersama-sama.

Aku dan orang-orang lain sedang mengantri untuk mengambil nasi box, ketika tiba-tiba ada orang yang mencolek pundakku dari belakang. Aku menoleh, kemudian sedikit kaget begitu melihat Adrian berdiri dibelakangku, nyengir. "Pengembara, ya?"

Aku mencibir. "Diem aja lo. Mau ngeledek gue lagi?"

"Hih, siapa bilang? Gue suka sama kata-kata itu, dibandingkan kata 'traveler'. Kata 'pengembara' lebih dramatis." Dia mengubah cengirannya menjadi sebuah senyum tulus. "Gue Adrian," ujarnya sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.

"Larasitta," jawabku cuek sambil membalas uluran tangannya. Dalam hati aku berteriak senang karena akhirnya aku berhasil menyentuh tangan Adonis ini. "Jadi... lo bos gue ya?" aku nyengir sendiri mendengar diriku berkata 'bos' kepadanya.

"Halah, pake acara bos-bosan. Biasa aja, kali... Tapi secara teknis, iya, gue bos lo." Kami tertawa atas lelucon garing Adrian, setelah itu kami mengambil nasi box masing-masing dan berpisah jalan. Aku makan bersama Ayu, sedangkan Adrian tidak tahu pergi kemana.

"Cieeeeee, yang barusan kenalan..." Ayu menyikut pinggangku sambil tersenyum geli. Aku hanya memeletkan lidah kepadanya.

"Apaan sih lo, Yu. Biasa aja, kali. Masa ketua sama sekretaris nggak kenal, sih." Kemudian aku memulai makan dengan cuek. Padahal hatiku sangat berteriak keras-keras karena akhirnya aku berhasil mengenal sosok Bachdim-Maurer yang selama ini aku senangi.

***

Blue Pod, Semanggi
April 2011

"Jadi, rencana kita akhir semester ini adalah berpetualang keliling Papua. Udah fix, ya? Ini adalah acara pertama kita, sebelom kita muncul di ospek FT bulan Agustus nanti, untuk memperkenalkan komunitas kita ke mahasiswa baru," kata Adrian menutup rapat sore itu. Program kerja pertama KOBATIK adalah backpacking ke Papua, sekaligus diving di Kepulauan Raja Ampat. Sore itu sudah hadir seluruh pengurus inti KOBATIK beserta dua puluh orang anggota tetapnya, di sebuah kafe kecil di daerah Semanggi.

"Ira, tolong lo data lagi anak-anak yang bisa ikutan, dan tolong hitung keseluruhan biayanya. Nanti jangan lupa kasih follow-up ke Bisma, supaya dia bisa bikin proposal resmi. Nanti tolong kasih ke Larasitta untuk diketik," ujar Adrian lagi. Kharismanya sangat terlihat sebagai ketua. Kami semua - termasuk yang namanya disebut - mengangguk dan sigap menuliskan tugas masing-masing di buku catatan. Termasuk aku. Selaku sekretaris, aku wajib membuat notulen rapat.

Beberapa menit kemudian, rapat selesai. Kami bersiap-siap untuk pulang, karena hari sudah semakin gelap. Ketika aku sedang memasukkan kertas-kertas dokumen KOBATIK ke map, Adrian mendekatiku. "Lara, bisa ngomong sebentar?"

"Ada apa, Dri?" tanyaku cuek.

"Gue minta tolong sama lo, bisa? Dua hari lagi gue mau cari tau maskapai penerbangan yang bisa ngasih kita rate murah untuk ke Papua, dan gue pengen lo ikut sama gue. Bisa nggak?"

Jleb. Adrian memintaku untuk survey bersama dengannya? Ketika aku sedang berpikir, dia kembali menyambung kata-katanya, "Lagian lo kan sekretaris gue. Udah harusnya ketua pergi kemana-mana sama sekretaris, kan?"

Yah, aku tidak bisa menolak. "Oke. Kebetulan hari itu gue kosong. Bisa jemput ke rumah gue, Dri?" kemudian aku menuliskan alamatku di secarik kertas, lalu memberikannya kepada Adrian.

"Perfect," Adrian tersenyum. "Sampai ketemu dua hari lagi, Lar."

***

Kantor Pusat Cendrawasih Airlines
April 2011

"Oke, makasih banyak ya, Mbak!" Adrian tersenyum kepada mbak-mbak ticketing. Sepertinya si mbak ikutan terhanyut oleh pesona Adrian, sehingga dia hanya bisa tersenyum balik dengan muka dreamy face. Kemudian Adrian berjalan ke arahku yang menunggunya di kursi ruang tunggu.

"Gimana, Dri?" tanyaku penasaran.

"Mereka bilang, untuk flight ke Papua kalo mau berangkat bulan Juli, bisa diskon sampe 50%," Adrian tersenyum lebar. "Akhirnya, gue bisa ke Papua juga!"

Aku ikutan senang melihat tampang Adrian. "Emang lo udah pernah jalan-jalan kemana aja, Dri?"

"Hampir seluruh Indonesia," Adrian duduk di sebelahku. "Kecuali Papua. Kalo lo?"

"Gue... Sumatera-Kalimantan-Jawa, sama Thailand-Malaysia-Singapura. Yah, belom cukup berpengalaman, lah..." aku nyengir lebar. Adrian tersenyum. "Keren banget... Gue pengen cerita sama lo. Tapi di mobil gue aja ya."

***

Mobil Adrian
April 2011

"Sebenernya gue sama sekali belom pernah jalan-jalan sendirian," ujar Adrian begitu kami berdua masuk mobilnya.

Aku mengernyitkan dahi. "Lho? You look pretty confident up there, Dri. When you were negotiating with the ticketing girl..."

"Iya, gue tau. Itu semua karena bokap gue adalah pemilik jaringan travel terbesar di Indonesia."

Aku melongo. Adrian... anak pemilik jaringan travel? "E... Emang bokap lo yang punya travel apa, Dri?"

"World Travel," jawab Adrian tanpa menengok ke arahku. Alih-alih, matanya menerawang ke luar lewat kaca mobil. Kemudian dia menyalakan mesin mobil.

Adrian menyalakan mesin, aku yang termangu seperti orang tolol. World Travel adalah salah satu jaringan travel terbesar dan tertua di Indonesia, melayani tour keliling dunia, maksudku benar-benar keliling dunia. Mungkin mereka punya tour sampai ke Kutub Selatan dan Kutub Utara juga. "Oh," jawabku singkat, benar-benar tidak punya apapun untuk dikatakan lagi.

Mobil Adrian melesat keluar kantor Cendrawasih Airlines, menuju rumahku. "Bokap gue yang ngajarin gue semua ini, pokoknya tetek-bengek urusan hospitality. Tapi anehnya, dia nggak pernah ngebiarin gue jalan-jalan sendirian. Dia nggak pernah ngebolehin gue berpetualang ke tempat terpencil hanya dengan berbekal ransel dan buku sakti Lonely Planet. Menurutnya, jalan-jalan yang benar adalah pake jasa travel agent, dimana lo harus didikte semuanya; mulai dari dimana lo tinggal sampe makanan apa yang akan lo makan. Gue bosen. Itu sebabnya gue seneng banget waktu Heru nawarin gue untuk jadi ketua KOBATIK, karena gue tau komunitas ini adalah komunitas backpacking."

Aku terdiam membisu mendengarkan cerita singkat Adrian. Persoalannya memang sederhana, tentang dia yang tidak suka pergi jalan-jalan dengan travel agent, dan dia belum pernah punya kesempatan untuk menikmati kebebasan bertualang secara backpacking. Begitu aku mau merespon, dia buru-buru bilang, "Jangan kasih tau sama anak-anak ya, Lar. Gue nggak mau mereka temenan sama gue cuma karena gue anak dari yang punya World Travel."

"Iya, gue janji," jawabku singkat. "Terus... Selama ini lo jalan-jalan sama siapa dong?"

"Yaaaaa, sama bokap gue," jawabnya. "Walaupun bokap gue udah jadi bos besar dan dia bisa leha-leha semau dia, tapi dia tetep aja mau riset ke daerah-daerah yang katanya bisa dijadiin paket wisata. Itu sebabnya kenapa gue bilang gue udah pergi ke seluruh Indonesia kecuali Papua. Tapi......... ngebosenin, Lar. Gue nggak bisa explore keindahan daerah-daerah itu karena gue harus ngikutin kemanapun bokap gue pergi. Dan bokap gue pengennya ke daerah-daerah yang udah jadi tempat wisata komersil. Gue bosen, pengen sesuatu yang baru, tapi terbentur sama aturan-aturan. Yah, mau nggak mau, deh..."

Aku terdiam. Wah, berarti selama ini aku beruntung sekali punya orang tua yang membebaskanku untuk pergi kemanapun dan dengan siapapun yang aku mau. Kasihan sekali si Adrian, walaupun dia orang kaya, tapi untuk jadi backpacker saja tidak bisa. "Emang lo nggak punya temen yang bisa diajak jalan-jalan susah kaya begitu, apa?"

Adrian melengos. "Meh, boro-boro. Makanya gue ikut KOBATIK, karena gue tau kalian semua - termasuk lo - adalah orang-orang paling seru untuk diajak jalan-jalan susah."

Aku tertawa mendengar penjelasan Adrian. Kami kembali tidak bicara satu sama lain. Setelah beberapa lama, akhirnya Adrian kembali buka suara, "Bahkan mantan gue juga sama kayak bokap."

Aku melotot. "Maksud lo?" Oke, kenapa dia malah jadi curcol begini, pikirku.

Adrian terkekeh. "Gue belom cerita sama lo ya?" tanyanya. Aku menggeleng, untuk apa aku tahu, coba? "Ya, begitu deh. Mantan gue yang terakhir juga sama kayak bokap gue, maunya jalan-jalan yang royal, dikit-dikit belanja, dikit-dikit makan di restoran mahal... Capek juga gue ngeladenin cewek-cewek matre macem begitu. Coba semua cewek kayak lo, Lar. Sejauh yang gue liat, lo tipe-tipe cewek anteng yang kayaknya nggak masalah sama soal materi."

Larasitta, jangan tersipu. Demikian kata yang kuulang berkali-kali dalam otakku yang kini rasanya sudah memanas. "Ehhhh... Biasa aja ah gue..." jawabku pelan sambil memalingkan wajah ke arah kaca mobil, sok-sok melihat ke luar (padahal sih menyembunyikan semburat merah di pipiku).

"Cita-cita lo apa, Lar?" tanya Adrian lagi.

"Pengembara," jawabku pendek tanpa memandang balik Adrian.

"Emmm... Kalo gue mengembara sama lo, boleh? Mengembara keliling dunia sama lo, boleh?"

"Hah? Maksud lo?" Kali ini baru aku memalingkan wajah. Kenapa tiba-tiba Adrian minta untuk mengembara bersamaku?

"Ya... Gue mau jadi pengembara juga. Sama lo tapinya, nggak mau sama yang lain. Gue pengen tersesat di desa antah berantah sama lo, pengen nungguin pesawat yang delay semaleman sama lo, intinya I want to get lost with you. Boleh, nggak?" Dia tersenyum simpul, matanya berbinar-binar dibalik frame kacamatanya.

Aku hanya bisa tersenyum lalu mengangguk mantap. Adrian hanya bisa tersenyum lalu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya, membuat mobil ini melesat dalam kecepatan tinggi. Menuju petualangan yang baru.





Forever yours, Judy Wilhelmina

1 comment: