Saturday, February 5, 2011

Memeluk Bintang

“Mas Asa, mas Asa..” Bik Suki mengguncang-guncang bahu tuannya perlahan. Asa bergumam tidak jelas dan cowok itu sama sekali tidak membuka matanya.
“Mas, bangun mas. Bibi lagi ninggalin sup di dapur. ini ada telepon.”
Asa membuka sebelah matanya. “Siapa Bik?” tanya Asa sambil menguap.
“Non Kara, mas.” Wanita setengah baya itu menyerahkan wireless phone ke tangan Asa dan terburu-buru berlari keluar dari kamar majikan mudanya itu.
“Ha—“
“Asaaa..!! Jangan tidur terus! Kamu kenapa sih hobi banget tidur? Lama banget lagi dibanguninnya, pulsa aku keburu abis nih.” Kara setengah berteriak.
Asa menjauhkan telepon dari telinganya. Dia bahkan belum sempat bilang ‘halo’.
“Salah sambung.” kata Asa asal.

“Nggak mungkin. Bangun Sa, bangun. Kamu kalo tidur kayak mati deh, jadi serem.”
“Apa sih, Ra? Aku ngantuk nih.”
“Sa, kamu ke rumah aku dong.”
“Ngapain?” Asa nyaris selalu bad mood kalau baru bangun tidur, apalagi dibangunkan paksa oleh Kara.
“Aku mau minta tolong Sa. Please, please.” Nada memohon terdengar jelas dalam suara riang Kara.
Asa berpikir sejenak. “Yaudah, bikinin aku milkshake ya tapi?”
“Beres!” Kara tertawa di ujung telepon.
KLIK. Telepon ditutup. Asa merentangkan kedua tangan dan meregangkan badannya.

“Cita-cita aku jadi astronot.” Kara duduk di sebelah Asa dan
memasang wajah serius.
Asa menoleh menatapnya. “Jadi astronot? Kenapa?”
Kara tersenyum. “Soalnya—“

Asa tertegun, masih dengan pose kedua tangannya terentang ke atas.
Loh, kok tiba-tiba dia teringat salah satu percakapan pertamanya dengan Kara. Percakapan itu rasa-rasanya terjadi sekitar tiga tahun yang lalu, sewaktu mereka baru masuk SMP, kalau tidak salah. Entahlah Asa sudah lupa kapan persisnya. Dia bahkan tidak ingat kelanjutan percakapan itu, tapi rasanya Asa ingin bisa mengingatnya. Rasanya itu sesuatu yang penting. Sudahlah, pikir Asa. Toh dia akan segera bertemu dengan cewek itu, konfirmasi memori Asa bisa dilakukannya kapan saja. Dengan menghitung satu, dua, tiga dalam hati Asa melompat bangun dari tempat tidurnya, menyambar jaket hitamnya, tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, cowok itu menuruni anak tangga di depan kamarnya dan membuka pintu depan.
“Loh, mau kemana mas?” kepala Bik Suki menyembul dari dapur.
“Ke rumah Kara bik.”
“Nggak mandi dulu, mas?” tanya Bik Suki.
“Nggak usahlah Bik, ke rumah Kara ini. Nanti supnya sisain buat saya ya.”
Bik Suki tertawa. “Beres mas, salam dari Bibik buat Non Kara.”
Asa mengangguk-angguk sambil membuka pintu pagar dan berjalan keluar. Rumah Kara ada di kompleks yang sama dengannya, hanya bebeda dua blok, jadi dia bisa dengan cepat sampai disana.
“Asa!” suara yang familiar memanggil Asa dari belakang. Cowok itu menoleh dan langsung tersenyum lebar. “Hei Dit! Kapan balik lo?”
“Baru kemaren.” Radit nyengir sambil melempar bola basket yang sedang dipegangnya pada Asa. Asa menangkapnya dan melangkah mendekati Radit. Raditya Touran ini teman baik Asa semasa SD-SMP. Temen basket, temen nongkrong, temen nyontek, temen dihukum, temen telat, temen segala temen pokoknya. Radit pindah ke Australia begitu mereka masuk SMA karena pekerjaan ayahnya mengharuskan mereka sekeluarga pindah ke sana.
“Basket?” Radit mengangguk ke arah lapangan basket di belakangnya.
Next time, Dit. Gue ada panggilan nih.” canda Asa.
“Heh? Lo sekarang jadi cowok panggilan?”
Asa refleks melempar bola basket di tangannya ke arah Radit. “Sialan.”
“Mau kemana sih loe?” tanya Raditya, curious karena setahunya yang namanya Asa tidak pernah melewatkan ajakan main basket demi apapun. Bahkan demi ulangan dobel sejarah-fisika semasa SMP.
“Ke rumah Kara. Mau ikutan?”
Moh. Ngapain gue jadi nyamuk gangguin orang pacaran?”
“Dia bukan—“
“Iye, bukan pacar loe. Sms gue kapan mau maen bareng yak, ajakin anak-anak. Minggu depan gue cabut lagi nih.” Radit berjalan mundur ke arah lapangan basket sekarang.

Asa mengangguk. “Okelah, see you around.”

***
Asa kini sudah sampai di rumah Kara, dan cewek itu menyambutnya dengan senyum lebar, sesuatu yang nggak biasanya terjadi. Biasanya Asa malah disuruh buka pintu sendiri dan langsung masuk ke dalam. Kalau ditanya kenapa Asa nggak pernah selayaknya diperlakukan sebagai tamu, Kara akan dengan asalnya menjawab “Ini kan rumah kamu juga, Sa. Katanya rumah kedua, ngapain aku bukain pintu. Kalo Noel yang dateng tuh, baru deh aku bukain pintu.” jawaban macam itu biasanya direspon Asa dengan menggeplak kepala Kara. Hari ini berbeda. Kara membukakan pintu pagar (Asa shock), langsung menyerahkan milkshake coklat buatannya (sudah jadi favorit Asa selama bertahun-tahun) dan mengajaknya duduk di gazebo di halaman rumah Kara (Asa makin shock. Biasanya dia dan Kara akan ‘melantai’ di teras depan rumah). Kara terus-terusan tersenyum dan Asa menenggak milkshake-nya perlahan, agak-agak takut dengan ekspresi wajah Kara.
“Ra, ada apa sih?” tanya Asa.
“Aku mau ke Seventy-two nanti malem Sa!” Kara nyaris melompat ketika mengucapkan hal itu. Kedengarannya dia sudah memendam ini sejak menelepon Asa tadi, tapi bertahan sampai cowok itu secara fisik ada di depan matanya.
Asa terdiam sebentar. “Seventy-two?” ulangnya. “Itu bukannya…”
“Iya, iya! Tempat clubbing baru itu loh..”
“Emangnya kamu…”
“Emang belom, makanya sekarang mau nyoba..”
“Bukannya kamu...”
“Aku emang pernah bilang nggak suka ke tempat kayak gitu, tapi itu kan mungkin karena aku juga belom pernah main ke tempat begituan Sa. Siapa tau asyik.” celoteh Kara.
Asa mengerutkan keningnya. Main? “Besok kan sekolah, Ra. Mau sama siapa kamu ke sana?” tanya Asa.
Semburat warna merah muncul di kedua pipi Kara yang berkulit terang dan Asa semakin tertegun dibuatnya. Apa-apaan nih.
“Pergi sama Adry.” kata Kara.
“Adry?”
“Iya Adry.”
“....Adry.” Asa seperti berucap pada dirinya sendiri, tidak yakin.
“Duh, Sa..!” Kara gemes. “Adry temen basket kamu itu loh! Udah seminggu ini aku SMS-an sama dia.” kata Kara sambil (lagi-lagi) tersenyum.

Heh? Padahal baru bulan lalu patah hati sama Noel. Dasar Kara. Patah satu tumbuh sejuta.

“Kok bisa?” tanya Asa bingung.
“Loh? Bukannya kamu yang ngasih nomer aku?”
“Nggak.” Asa menjawab cepat.
“Kata Adry kamu yang ngasih kok. Aku kira kamu yang nyuruh dia sms-in aku biar cepet lupa sama Noel.”
Asa memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat. Tapi cowok itu yakin betul bukan dirinya yang memberikan nomor Kara pada playboy cap kakap SMA Bangsa itu. Asa sensitif dengan issue memberikan nomor HP Kara pada orang lain, terutama karena sejak mereka menginjak semester ke dua bulan lalu, semakin banyak saja cowok yang menanyakan nomor HP sahabatnya itu dan berdasarkan pendapat Asa semuanya tidak bisa dipercaya. Asa sendiri kurang mengerti. Tiba-tiba saja dia jadi overprotective pada Kara. Tiba-tiba saja Kara seperti menarik semua orang.
“Eh, Sa. Daripada mikirin itu, liat nih, aku bagusan pake baju yang mana ya?” Kara mengangkat dua buah baju yang kedua-duanya sama-sama kelihatan menyebalkan di mata Asa.
“Ra, mendingan kamu jangan pergi deh.” Kata Asa.
Senyum Kara memudar perlahan. “Kenapa?”
“Perasaan aku nggak enak.”
Kara menggeplak kepala Asa. “Temennya mau pergi malah disumpahin.”kata Kara.
“Loh, aku nggak nyumpahin. Aku kan cuma bilang perasaan aku nggak enak, Ra.”
“Kenapa sih, kamu sama Kevin sama aja deh.” Kara menarik gelas milkshake Asa yang sudah kosong dan berjalan ke arah rumahnya. Asa mengikutinya dan Kara masih terus mengomel. “Kevin juga sama nggak senengnya kayak kamu waktu aku bilang mau ke seventy-two sama Adry.”
“Soalnya kakakmu itu juga ada feeling nggak enak sama kayak aku.” kata Asa.
Kara dan Asa sudah sampai di dapur sekarang dan cewek itu setengah melempar gelasnya ke bak cucian piring. “Sa, kenapa sih kok kayanya kamu bawel banget tahu aku mau jalan sama Adry?” Kara menyalakan air dan mulai mencuci gelas. “Lagian bukannya Adry itu temen kamu??” kening Kara berkerut. Gadis itu tidak bisa menahan nada suaranya agar tidak meninggi sekarang.
“Justru karena Adry itu temen aku, Ra.” Asa kalem. “Auranya nggak bagus.” kata Asa sambil mengoper mangkuk berisi sabun cuci piring ke tangan Kara.
Kara hampir saja menjatuhkan gelasnya. Setengahnya mau ketawa mendengar kalimat terakhir Asa, setengahnya lagi masih merasa kesal pada sobatnya itu. “Emang kamu cenayang, bisa baca aura?”
“Pokoknya kamu jangan terlalu cepet percaya lah Ra. Perasaan aku beneran nggak enak.” kata Asa. Asa memperhatikan Kara yang kini tengah mengeringkan gelasnya. Tiga tahun yang lalu, cewek ini nggak ada menarik-menariknya sama sekali. Pecicilan, ribut, sukanya lari-larian di koridor atau lapangan sekolah, sama sekali nggak ada unsur feminin, menurut Asa. Tapi sekarang Kara tumbuh, dan Kara yang berdiri di sebelahnya sekarang sama sekali berbeda dengan Kara tiga tahun—

“Emangnya nggak aneh?” tanya Kara. “Nggak kayak anak kecil?”
Asa menggeleng. “Menurut aku sih nggak.”
Kara bingung. “Kenapa?”

Asa terdiam sejenak. Memori tentang percakapan itu lagi. Tapi sama seperti waktu dirinya baru terbangun tadi, rasanya ada potongan penting dari percakapan itu yang justru tidak diingatnya. Asa baru ingat akan menanyakan perihal percakapan mereka tiga tahun yang lalu itu pada Kara ketika cewek itu menyenggol Asa pelan. “Aku mesti siap-siap, Sa.” Untuk sesaat, mata mereka bertemu dan tidak ada yang mengatakan apa-apa. “Ra, kalo kamu segitu pengennya ngeliat seventy-seven..—“
seventy-two.” koreksi Kara secara otomatis.
“Iya, apa lah namanya. Nanti aku temenin kamu ke sana deh Ra, bareng Kevin juga.”
“AKU NGGAK MAU KE SANA SAMA KAMU APALAGI KEVIN. Sa, kapan aku bisa punya cowok kalo kamu nempel terus ke aku!??” Jauh di hati Kara, gadis itu sadar dia salah. Sadar ucapan kerasnya melukai Asa. Tapi saat ini Kara terlalu keraskepala untuk mengakui semua itu dan dia tidak ingin minta maaf pada Asa.
Asa mundur setengah langkah saat mendengar teriakan Kara. Hatinya marah mendengar ucapan Kara tapi otaknya belum memproses itu semua dengan sempurna hingga Asa hanya bisa diam, speechless dengan hal itu. Tapi akhirnya, rasionalnya memenangkan pertarungan antara otak-hati itu. Maka di luar dugaan Kara, Asa menyentuh dagu sahabatnya itu dengan pelan.
“Maaf ya, Ra.” Asa tersenyum pahit, dan seribu jarum rasanya langsung menusuk tubuh Kara. “Maaf aku nggak sadar kalo jadi halangan buat kamu punya hubungan yang lebih dalem sama cowok lain.”
Mata Kara berkaca-kaca. Bukan masalah menang atau kalah, bukan masalah gengsi untuk minta maaf. Rasanya sakit melihat Asa tersenyum seperti itu, melihat Asa bicara tetap dengan nada yang biasanya ia gunakan untuk menenangkan Kara saat marah. Itu yang sedang Asa lakukan. Meredam emosinya.
“Aku pulang ya Ra. Thanks milkshake nya.”
***
Saat berjalan pulang, Asa mengeluarkan handphone nya dan melihat jam. Sudah hampir pukul enam. Ketika langkahnya hampir mencapai lapangan basket di dekat rumah, Asa mendengar suara bola basket yang memantul-mantul dan teriakan beberapa orang.
“ASAA!!!” lima suara kompakan memanggilnya. Asa berjalan ke arah lapangan basket dan melihat teman-teman basketnya komplit ada di sana. Radit, Reno, Tommy, Irvan dan Hendra. Semuanya berada di sekolah yang berbeda sekarang. Melihat mereka semua berkumpul, Asa
nyengir lebar dan akhirnya berlari, bergabung bersama teman-temannya dan mulai bermain basket.
Stay safe, bestie.

“Gue kira lo di rumah Kara, Sa.” kata Radit setelah hampir satu jam mereka bermain.
“Iya, tapi cuma sebentar. Orangnya mau pergi.” Asa asyik mendribel bola basket.
“Loe masih sama Kara, Sa?” Reno melempar botol minum ke arah Radit.
“Masih apanya?” tanya Asa masih sambil mendribel bola basketnya.
“Masih pacaran, lah.” timpal Tommy.
“Gue nggak..—“
“Mana mau ngaku dia.” Irvan tertawa sambil merebut bola dari tangan Asa dengan satu gerakan cepat.
“Ouch!!” Asa mengibas-ngibaskan tangannya ketika Irvan merebut bola. Jari kelingkingnya sakit sekali. Rasanya seperti terserang kram tiba-tiba.
Anak-anak masih terus tertawa dan membuat jokes atas hubungan Asa-Kara yang menurut mereka aneh dan tidak wajar. Awalnya Asa masih menanggapi keempat temannya itu, tapi lama-lama dia sudah tidak terlalu bersusah payah untuk itu, karena sama saja, nanti mereka bakal ribut lagi ngecengin dirinya. Asa duduk bersama mereka dan bermain dua round basket lagi sebelum akhirnya, kelelahan, penuh keringat dan haus, kelimanya memutuskan untuk menyudahi game mereka hari itu dan pulang ke rumah masing-masing. Asa berjalan bersama Radit, karena rumah mereka satu arah. Di belokan pertama Radit menggeplak kepalanya, mengucapkan sampai jumpa dan berjalan lurus menuju rumahnya. Rumah Asa sendiri terletak persis sebelum belokan itu sehingga dalam satu menit cowok itu sudah membuka pintu pagarnya. Mobil ayahnya sudah terparkir dengan mulus di garasi dan Asa jadi heran sendiri, memangnya sudah jam berapa sih ini.
“Darimana, De?” Ayahnya bertanya begitu kepala Asa menyembul di pintu.
“Basket Pa. Radit lagi balik.” jawab Asa. Asa melirik jam dinding di ruang keluarga, sudah jam sembilan malam. Asa tersenyum sendiri. Ngapain aja sih dia sama bocah-bocah berandalan itu tadi sampai jam segini.
“Kamu kok malah senyum-senyum sendiri gitu ngeliat jam.” Ibu mucul sambil membawakan kopi untuk ayahnya. “Mandi, De. Bau keringet.” kata Ibu. Asa mengangguk setuju dan langsung masuk ke kamar mandi, sadar betul badannya full keringat dan debu. Pikiran Asa sempat melayang sesaat pada Kara, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan si bawel itu saat ini. Tapi Asa menepis jauh-jauh pikiran dan keinginan untuk menghubungi sahabatnya itu. Biarlah, toh Kara juga sedang bersenang-senang, pikir Asa.
***
19.00,
Rumah Kara
Mobil sedan silver berhenti di depan rumah Kara, membunyikan klaksonnya sekali dan Kara langsung keluar. Di belakangnya Kevin dengan sebal dan setengah hati merelakan adiknya keluar, sambil ngedumel yang pura-pura tidak di dengar oleh Kara.
Adry membukakan pintu untuk Kara layaknya gentlemen sejati, melambai pada Kevin dan masuk ke mobil. Beberapa saat kemudian mereka sudah meluncur pergi.
“Dry, ini nggak kepagian kita berangkat jam segini?” tanya Kara.
“Nggak Ra, soalnya mesti jemput Michelle, Audry sama Mario dulu. Nggak apa-apa kan?” Adry memasang wajah bersalah, karena sebelumnya lupa memberitahu soal teman-temannya yang mau nebeng mobilnya ini.
“Nggak masalah.” kata Kara riang. “The more the merrier.”

Sesampainya di jalan tol, Adry memacu mobilnya dengan kecepatan
tinggi, hingga Kara secara refleks memegang safety belt nya, memastikan benda itu dengan aman terpasang melindungi tubuhnya. Adry nyengir, dan Kara heran, cengiran model Asa dan Adry tampak sangat jauh berbeda. Kara memejamkan matanya sekarang.
“Takut, Ra?” tanya Adry.
“Takut.” jawab Kara jujur. “Nggak bisa pelan aja jalannya, Dry?” tanya Kara.
Adry melambatkan lanju mobilnya dan Kara kini bisa membuka matanya. “Gue seneng bawa mobil kenceng-kenceng, Ra. Sorry ya kalo bikin lo takut.” kata Adry menggenggam pelan kepalan tangan Kara.
“Lo mau jadi pembalap, Dry?” tanya Kara, tangannya dingin dalam genggaman Adry. Lebih ke arah takut karena kecepatan mobil, bukan dag dig dug tangannya dipegang oleh seorang Adry.
Adry tertawa dengan keras, terlalu keras menurut Kara. “Nggak lah, Ra. Gue mau punya bisnis sendiri, pekerjaan yang nggak konyol dan beneran bikin uang.”
“Kenapa jadi pembalap konyol? Gue mau jadi astronot.”
Adry kini menoleh dari jalan dan menatapi gadis yang duduk dengan manis di sebelahnya. Cantik, pikir Adry. Bagus untuk dipamerin kemana-mana, tapi omongannya masih konyol, sekonyol sahabatnya di rumah.
“Dry, jangan liatin gue, liat jalan tuh, jalan.” Kara panik karena tanpa sadar Adry kini sudah menginjak pedal gas lebih dalam sambil menatapi dirinya, bukan menatapi jalan, seperti yang dilakukan orang normal kalau sedang melaju dengan jarum speedometer menunjuk angka 130.
Adry sekarang tertawa lebih keras, telinga Kara sampai sakit. Sekarang Kara resmi sangat tidak menyukai manusia satu ini. Heran, kenapa dia bisa bertahan selama satu minggu SMS-an sama orang ini?
“Astronot, Ra? Konyol banget! HAHAHAHHA..—“
“ADRYY!!” Kara berteriak. Lalu benturan keras. Bunyi yang lebih memekakkan telinga daripada tawa Adry. Lalu gelap.

Samar-samar, Kara mendengar banyak bunyi lainnya. Bunyi rem, bunyi
banyak pintu dibuka, suara orang-orang. Kara tidak terlalu bisa mendengar apa yang mereka ucapkan, tapi kedengarannya gawat.
“Asa...” panggil Kara pelan, begitu pelan sampai Kara tidak yakin dia bisa mendengar suaranya sendiri.

Sebuah suara terdengar di telinganya. Suara yang menyebalkan.
“Astronot, Ra? Konyol banget! HAHAHAHHA..—“

Lalu, suara yang lain. Kara cukup yakin kalau yang ini adalah

suaranya sendiri.
“Cita-cita aku jadi astronot.” Kara duduk di sebelah Asa dan memasang wajah serius.
Asa menoleh menatapnya. “Jadi astronot? Kenapa?”
Kara tersenyum. “Soalnya kalau jadi astronot aku bisa meluk bintang, Sa.”
Asa tersenyum. “Pasti asyik.”
“Emangnya nggak aneh?” tanya Kara. “Nggak kayak anak kecil?”
Asa menggeleng. “Menurut aku sih nggak.”
Kara bingung. “Kenapa?”
“Iya, soalnya—“

Kara memejamkan matanya. Suara-suara di sekitarnya mulai tak terdengar. Soalnya apa, Sa?
***
Asa berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar-debar memukul dadanya hingga rasanya nyeri sekali.
‘Adry sialan.’ Asa sudah mengumpat seperti itu berulang-ulang kali, mulai dari keluar rumah, di perjalanan, sampai hingga akhirnya ia ada di rumah sakit sekarang. Dengan mudah Asa mengenali sosok Oom Khrisna dan Kevin di depan salah satu ruangan.
“Oom, Vin.” Asa menyapa mereka. Wajah keduanya tampak tenang saat ini.
“Jari kelingking kanannya patah, selain itu dia nggak apa-apa.” Kevin memberi pengumuman, getaran dalam suaranya meyakinkan Asa cowok itu sedang menahan marah. Asa kemudian memandangi jari kelingkingnya sendiri, teringat serangan kram yang tiba-tiba terasa saat main basket tadi. Nggak mungkin, pikir Asa. Memangnya mereka apa, anak kembar?
Oom Khrisna meletakkan tangannya di bahu Asa. “Asa, bisa titip Kara sebentar? Oom mau bicara sama orangtuanya Adry.” Asa memandangi Oom Khrisna. Guratan lelah tampak jelas di wajahnya yang terbingkai rambut yang mulai beruban dan kacamata frameless yang bertengger di wajahnya, sentuhan Kara yang membuat ayahnya tampak lebih muda 10 tahun dari usia sebenarnya
“Iya, Sa. Gue juga mau ngomong.”
“Kevin.” Nada suara Oom Khrisna terdengar memperingatkan.
“Tenang Pa, Kevin nggak bakalan nonjok orang kok.” kata Kevin. “Paling nyentil aja..—“ Kevin berhenti saat menangkap pandangan ayahnya dan kemudian berjalan dalam diam mengikuti ayahnya ke arah lift di ujung koridor. Dalam situasi biasa, Asa akan menganggap ini hal yang lucu. Dalam situasi saat ini, sense of humor Asa terputus sepenuhnya. Begitu Oom Khrisna dan Kevin menghilang di balik lift, cowok itu langsung membuka pintu kamar Kara.

Kara tampaknya tertidur, ada beberapa luka di wajah dan tangannya.
Namun lebih dari itu, seperti kata Kevin, sahabatnya itu tampak baik-baik saja. Asa menarik kursi sepelan mungkin dan duduk di sebelah Kara. Kalau dalam keadaan diam dan nggak bawel seperti ini, Kara betul-betul kelihatan seperti seorang putri.
“Papa?” Kara membuka mata perlahan, dan tersenyum saat justru wajah Asa yang ada di sana.
“Asa?” ralat Kara.
Asa tersenyum. “Halo bawel.”
Kara mencoba memperbaiki posisi tidurnya, tapi itu membuat seluruh badannya sakit, jadi gadis itu berhenti. “Maaf ya Asa.” kata Kara.
“Untuk?” tanya Asa.
“Nggak dengerin kamu.”
“Emang sejak kapan juga kamu dengerin aku?” Asa tersenyum ramah dan Kara lega melihatnya. Hal terakhir yang dibutuhkannya saat ini adalah diomelin Asa.
“Sa, aku tadi mikir.” Kara kini menatap mata Asa. “Aku masih pengen meluk bintang loh.”
Asa tertegun. Memeluk bintang. Itu potongan memori yang hilang dari percakapan tiga tahun lalu yang entah kenapa terus-terusan hinggap di benaknya sepanjang hari ini. Bagaimana hal itu bisa tiba-tiba diucapkan Kara sekarang, Asa tidak terlalu tahu. Sebenarnya, dia tidak terlalu peduli juga soal itu.
“Pasti asyik.” kata Asa. Yang membuat Asa heran, dia mengucapkan kalimat sesederhana itu dengan rasa damai yang luar biasa mengisi hatinya.
Ganti Kara yang tertegun. “Emang nggak aneh? Nggak kayak anak kecil?”
Asa menggeleng. “Menurut aku sih nggak.”
Kara tersenyum amat lembut dan Asa hampir saja menunduk untuk mencium gadis itu saat melihat ekspresi lembut mewarnai wajah sahabatnya. “Kenapa?” tanya Kara.
Asa menarik nafas. “Iya, soalnya kalo kamu meluk bintang, aku pasti ada di sebelah kamu. Lagian, kamu kan butuh orang yang bisa bikinin alat supaya kamu bisa meluk bintang, Ra.”
“Itu beneran percakapan anak kecil yah?” tanya Kara, sekarang merasa luar biasa mengantuk.
“Nggak juga, Ra. Buktinya kita udah SMA dan masih ngomongin itu kok.” jawab Asa.
“Kalo....kamu....berubah pikiran...terus... nggak mau lagi.....” ucapan Kara terputus dan gadis itu memejamkan matanya.
Asa berdiri dan menarik selimut lebih rapat menutupi Kara. “Tenang, kita peluk bintangnya sama-sama.”
Kara sudah tidak terlalu mendengarkan. Suara Asa terlalu lembut, AC di kamarnya terlalu sejuk, selimutnya terlalu hangat dan wangi badan Asa yang ada di sebelahnya terlalu enak hingga usaha Kara untuk tetap membuka mata rasanya sia-sia saja. Kara bahkan sudah benar-benar terlelap saat Asa membisikkan ucapan selamat malam padanya. Hal terakhir yang diingat Kara sebelum tidur hanyalah ada Asa di sebelahnya, di luar sana mungkin Kevin sedang berusaha menonjok Adry dan ayahnya besok pagi akan berusaha menyelundupkan zuppa soup favoritnya, dan ya, besok pagi akan ada Asa di sini.

Lalu semuanya akan baik-baik saja.

5 comments: