“Kok lo bisa tiba-tiba muncul di depan rumah gue gini deh?” Reina yang masih menggunakan baju rumahan sedang bertolak pinggang dan menatap orang di depannya dengan tatapan tidak percaya.
Ada gempa bumi seperti apa sih hari ini sampai dia bisa nyasar di depan rumah gue bersama sepedanya? Pagi-pagi pula! Eh ralat, sepedanya yang sudah dihias dengan lucu, unik, dan NORAK. Semuanya bertemakan merah putih. Kaosnya pasti beli di tokonya VJ Daniel deh, habisan bertuliskan 'Damn I LOVE Indonesia!'. Mentang-mentang lagi 17 Agustus-an nih.
“Ehe. Ehe. Aduh. Capek. Bentar. Rei. Sabar.” Laki-laki ini kelihatan lelah sekali tetapi tergambar ekspresi puas dan senang di wajahnya.
Reina masuk ke dalam rumahnya dan dalam waktu 1 menit ia sudah kembali lagi ke depan rumah sambil membawa sebotol air mineral dingin yang kelihatannya baru dikeluarkan dari lemari pendingin.
“Buat gue, tuh?”
“Iya. Nih, minum.”
Botol minum yang berisikan 500 ml air mineral itu langsung disisakan setengah botol oleh laki-laki yang baru saja minum seperti orang berpuasa 24 jam.
“Nah. Sudah kan? Sekarang, jelasin ke gue Den. Sumpah gue bingung banget.”
“Eh Rei.... Gue kan tamu, nih. Hmmm..”
“Nggak. Nggak ada masuk ke rumah gue sekarang. Datang tiba-tiba sudah seperti setan, nyanyi lagu kemerdekaan di depan rumah orang, ngasal banget sih lo. Sudah bagus gue kasih minum. Coba kalo di depan rumah orang lain, pasti lo dikacangin.” Reina masih dalam posisi tolak pinggang dan menyenderkan punggungnya di tembok dekat pagar rumahnya.
“Yaaa.. Tujuan gue emang bukan ke rumah orang lain, tapi ke sini, ke rumah lo, Rei.” Akhirnya Denis memilih untuk duduk di atas aspal sambil meluruskan kakinya. Tak peduli bahwa ia dari tadi diperhatikan seluruh tetangga Reina yang didominasi oleh anak-anak SD.
“Hmmm. Jadi intinya ada apa Denis?”
“Gue ke sini mau jemput lo, mau ngajak lo ke Monas. Sarapan pagi gitu, sambil olah raga, ngobrol, terserah lo deh. Intinya, mau ngajak lo untuk mengelilingi Jakarta.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Naik......”
“Sepeda ini.”
“Lo... Serius? Nggak capek nanti?”
“Mendingan lo tentukan pilihan, mau langsung pergi sekarang atau gue harus nunggu lo ganti baju dan siap-siap dulu?”
“Eeeeh.. Gue mau ganti baju dulu bentar-bentar. Masuk aja sini, tunggu di ruang tamu. Gue ke kamar dulu siap-siap. Ayo, ayo!” Reina sampai speechless, antara bingung dan bahagia.
Denis... Rela melakukan itu semua buat gue? Semoga ini merupakan awal yang baik!
“Gue sudah siap. Yuk!”
“Wah, ada yang tiba-tiba semangat nih. Bagus deh tapi, semangat '45 ya Rei!” Denis tersenyum sangat bahagia. Ia tidak sabar untuk membawa Reina keliling Jakarta dengan sepedanya yang sudah dihias dengan norak.
Reina sudah berada di atas sepeda Denis, tepatnya, ia dibonceng. Sebenarnya ia agak takut. Takut jatuh, takut keserempet, takut hujan, takut gempa bumi (Eh?). Sampai saat ini tangannya masih memegang erat jok sepeda, dari pada ada apa-apa. Ia gengsi sekali untuk bertahan di pundak Denis, takut dikira aneh-aneh.
“Takut ya Rei...?”
“Eh, nggak kok.”
“Tenang aja, gue aman kok bawa sepedanya, sudah terlatih. Tapi.... Kalau seperti ini.....” Tiba-tiba saja Denis membawa sepedanya dengan sangat cepat sampai Reina kehilangan kendali dan langsung berlindung di bawah pundak Denis.
“Ahaha Reina takut ternyata! Tapi asik kan...”
“Sudah, diam saja ah. Bawa sepeda yang benar, lihat lurus ke jalan, jangan nengok-nengok ke kaca spion terus-terusan....”
Akhirnya, setelah menempuh 1 jam perjalanan, mereka sampai di area sekitar Monas. Denis langsung membeli 2 mangkok Bubur Ayam Monas yang katanya terkenal sekali. Ternyata, yang antre memang banyak sekali. Untungnya, Denis punya tak tik khusus agar ia cepat mendapatkan pesanannya.
“Enak ya buburnya Rei!”
“Iya Den, enak banget. Apalagi kita lagi capek gini. Mantap!”
“Sebetulnya gue saja kali yang capek.. Haha! Eh, lo senang nggak?”
“Senang apaan?”
“Senang nggak, gue ajak jalan-jalan keliling Jakarta, pakai sepeda pula..”
“Oooh.. Eh! Senang Den...” Wajah Reina langsung berubah menjadi merah padam. Tetapi memang benar, ia sangat senang bisa diajak jalan-jalan seperti itu oleh Denis.
“Sebentar ya Rei, gue mau beli es krim buat kita, tapi adanya di ujung sana, jadi gue harus naik sepeda. Lo duduk di sini saja dulu.”
“Oke, tapi jangan lama-lama ya. Malas tau nunggu sendirian di bawah terik sinar matahari!”
Reina memandang punggung Denis yang berada di atas sepeda, ia sudah semakin menjauh, tapi Reina tetap bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Denis menabrak gerobak seorang Ibu tua penjual rujak. Ia terlihat ngotot tidak mau minta maaf kepada Ibu tua tersebut, padahal sang Ibu terlihat lemas tak berdaya, melihat gerobaknya jatuh dan buah-buahan berantakan di atas aspal.
Reina langsung lari ke tempat kejadian dan melihat apa yang terjadi dengan jelas. Ia tidak terima melihat seorang Ibu tua dibiarkan seperti itu saja oleh anak muda seperti Denis.
“Den! Lo nggak bisa lihat apa, Ibu ini sudah tua, bawa gerobak rujaknya saja sudah susah. Apa susahnya untuk minta maaf dengan ikhlas dan membantu Ibu ini untuk mendirikan kembali gerobaknya? Gue kecewa sama lo.”
“Rei.. Nggak gitu, maksud gue...”
“Ayo Bu, saya bantu. Saya bingung, di zaman seperti ini, kok anak muda tipe-tipe seperti dia nggak pernah bisa rela berkorban untuk seseorang yang berharga di dunia ini. Mereka hanya rela berkorban untuk sesuatu yang dapat memenuhi kepuasan ego.”
“Terima kasih ya, Nak. Semoga di hari kemerdekaan ini, Tuhan dapat melihat ketulusan kamu dalam mengartikan rela berkorban yang sesungguhnya.” Suara Ibu tua ini sudah bergetar, kalau Reina bisa mengira-ngira, umurnya adalah 80 tahun. Kulitnya sudah keriput semua, gigi juga sudah habis, tetapi Ibu ini masih berjuang untuk berjualan, demi mengisi hari-hari sepinya, mencari nafkah untuk cucu-cucunya, juga memberikan rujak terbaik untuk pelanggannya.
17-an kali ini Reina lanjuti dengan mengantar Ibu penjual rujak ke rumahnya untuk berkunjung dan membantu pekerjaan rumahnya. Ia tinggalkan Denis mematung sendirian di sekitar Monas, yang tidak tahu mau mengungkapkan apa.
Malam harinya, Denis menyapa Reina di MSN dan mengajaknya chat.
Den: Rei kok lo tinggalin gue tadi?
'Na: Karena gue kecewa sama lo.
Den: Kecewa kenapa?
'Na: Awalnya gue terharu lo berjuang mati-matian demigue, tapi setelah melihat kejadian dengan Ibu tadi, sepertinya gue salah. Lo ga berani berjuang dan rela berkorban untukmeminta maaf ataupun membantu Ibu itu.
Den: Is that a big deal for you?
'Na: Yeah. Maaf, Den. Tapi ternyata gue salah menilai lo.
Den: Sebenarnya dari tadi pagi gue ingin bilang kalau gue sayang sama lo Rei.
'Na: ..........
'Na: Awalnya gue juga pengen bilang seperti itu, tapi semuanya telah berubah dengan cepat Den, gue nggak bisa ngomong apa-apa ke lo.
Den: Rei.. Gue masih bisa berubah.
'Na: It's hard for me to give someone another chance. I'm disappointed.
Den: Ya sudah. Tapi semangat kemerdekaan gue selalu ada setiap hari, Rei. Gue nggak akan menyerah. Tunggu saja.
-Irma Fadhila
No comments:
Post a Comment