Tuesday, August 17, 2010

Catatan Seorang TKW

Nama saya Risma.

Saya seorang TKW, dan ini adalah cerita saya selama bekerja di Hong Kong.

Saya berasal dari sebuah desa kecil di daerah Jawa Barat. Umur saya masih 19 tahun saat pertama kali saya memutuskan untuk menjadi TKW alias Tenaga Kerja Wanita, bahasa halus dari 'pembantu rumah tangga di luar negeri'. Saya sangat ingat reaksi Ibu, Ayah dan Eyang saat mendengar keinginan saya untuk menjadi TKW.

"Ris, yang bener kamu mau jadi TKW? Ah, Ibu nggak ngasih ah! Kamu tau kan banyak TKW yang disiksa di luar negeri! Ibu nggak mau anak Ibu pulang-pulang udah babak belur bahkan pulang udah tinggal nama. Mending kamu tetep di kampung aja, Ibu kawinin sama Anto si tetangga sebelah!"

"Pokoknya sekali nggak boleh, tetap nggak boleh! Kamu ini bandel ya, Ris? Sudah, mending kamu bantu Ayah kerja di sawah, daripada kamu jadi TKW!"

Ya, begitulah kira-kira reaksi dari keluarga saya saat saya mengutarakan niat untuk menjadi TKW. Sebenarnya saya juga tidak mau jadi TKW. Impian saya setelah lulus SMA adalah melanjutkan sekolah, namun sayangnya orang tua saya tidak mampu membiayai saya sampai perguruan tinggi. Lulus SMA saja sudah untung. Saya terpaksa memilih menjadi TKW karena saya ingin bekerja, saya tidak mau menggantungkan nasib saya ke tangan orang tua, apalagi suami. Setelah lulus SMA saya sempat melamar kerja ke beberapa toko dan perusahaan, namun sayangnya tidak ada satupun yang diterima. Akhirnya saya memutuskan untuk menjadi TKW saja.

Satu tahun yang lalu, saya berangkat meninggalkan kampung tercinta saya di Jawa Tengah. Ayah sampai rela menghabiskan uangnya untuk membeli kambing dan melakukan upacara potong kambing bersama warga sekampung, untuk mendoakan saya. Saya memilih untuk bekerja di Hong Kong bersama teman seperjuangan saya, Asih.

Jika ditanya apa rasanya menjadi 'Pahlawan Devisa', saya akan menjawab "Biasa saja". Ya memang biasa saja, karena memang sebenarnya tidak ada satupun hal yang bisa dibanggakan dari menjadi seorang TKW, menurut saya. Selama di Hong Kong saya bekerja pada beberapa majikan. Banyak di antara mereka yang tegas, galak, namun ada juga yang baik dan menganggap saya seperti keluarga. Salah satu majikan yang baik dan merupakan majikan favorit saya selama saya bekerja di Hong Kong adalah seorang janda beranak satu bernama Nyonya Lim.

Nyonya Lim berusia sekitar 50 tahun, namun tetap masih terlihat cantik dan bugar. Dia mempunyai seorang anak perempuan berusia 25 tahun bernama Yvonne. Yvonne sudah mempunyai apartemen sendiri, namun kadang dia pergi mengunjungi ibunya. Nyonya Lim sendiri sudah bercerai sekitar 15 tahun yang lalu. Sebab musababnya saya tidak tahu. Yang jelas Nyonya Lim pernah berkata, "Risma, jangan butakan kedua matamu jika kamu mencintai seorang lelaki. Karena belum tentu lelaki yang kamu cintai itu juga mencintai kamu sepenuh hatinya." Jadi aku mengambil kesimpulan bahwa mantan suami Nyonya Lim tidak mencintai dia sepenuh hati saat mereka masih dalam satu keluarga.

Di Hong Kong, saya merasakan rasa nasionalisme yang luar biasa dalam. Mungkin karena masyarakat Indonesia di Hong Kong termasuk minoritas, dan kebanyakan dari mereka adalah sesama TKW, maka itu persahabatan antar TKW cukup ketat. Kami sering menghabiskan weekend bersama di Victoria Park, tempat kumpul TKW Indonesia. Disana, saya sering bertemu sahabat saya sejak di Indonesia yaitu Asih, yang bekerja pada keluarga konsulat Indonesia.

Di Hong Kong, saya merasakan rindu yang amat sangat luar biasa kepada Tanah Air. Saya ingat, pertama kali saya tiba di Hong Kong adalah pada saat peringatan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, tanggal 17 Agustus adalah sebuah hari yang biasa saja di Hong Kong. Tidak ada lomba panjat pinang, makan kerupuk, atau sekedar jalan-jalan yang diwarnai bendera merah putih. Saya merindukan anak-anak kampung saya yang berlarian di kampung dengan tubuh yang dilumuri oli bekas mengikuti lomba panjat pinang. Saya merindukan lapangan kampung yang tiba-tiba penuh dengan warga yang bersemangat mengikuti lomba-lomba tujuhbelasan.

Tinggal di negeri orang dengan status sosial yang cukup rendah juga membuat mind-set orang menjadi berubah terhadap negara sendiri. Mentang-mentang Indonesia terkenal dengan penyuplai TKW terbesar, jadi masyarakat Indonesia dianggap sebelah mata di negeri orang. Justru itu membuat saya semakin bersemangat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara kepulauan yang memiliki lebih banyak kekurangan daripada kelebihan.

Saya akan berjuang untuk menjadi seorang Pahlawan Devisa yang bisa membawa nama harum bangsa di negeri orang.

Saya akan berusaha untuk memberikan kesan yang baik terhadap Indonesia kepada orang-orang dari negara lain.

Saya akan menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki seribu kelebihan, sama seperti jumlah pulau-pulaunya yang tidak terhitung lagi.


Forever yours: Judy Wilhelmina

No comments:

Post a Comment