Tuesday, July 6, 2010

Would you?



Katya
Pintu kamar gue menjeblak terbuka. Gue mengerjap-ngerjap, meraih weker merah di samping meja.
Astaga, ini jam 4 pagi...
...oh crap, I have a wedding to attend today.
...not as a guest, but as the bride.
CRAP.
Gue cepat-cepat bangun dari tempat tidur sebelum si bawel Ladya, kakak gue, mencecar gue tanpa henti.
"Cepat mandi, Kat! Mbak Sofie udah nunggu tuh di ruang tamu," ucap Ladya singkat sebelum meninggalkan kamar. Mbak Sofie adalah seorang sahabat keluarga mereka merangkap hairdresser keluarga.
Gue beranjak malas menuju kamar mandi, melihat pantulan dirinya sendiri di kaca -- mata sembap (hasil menangis satu jam yang berlanjut ke acara nonton bola diam-diam karena Ladya bisa menghajarnya kalau tahu ia nekat begadang H-1 sebelum pernikahannya), rambut kusut, ekspresi wajah muram.
Gue ini mempelai wanita macam apa sih?
I'm supposed to be happy and all smiles at my own wedding day, for God's sake!

Girindra
Saya rasa ini pertama kalinya saya berhasil bangun lebih dulu sebelum weker saya berbunyi. Jelas saja begitu, karena saya tidak tidur semalaman.
Hari ini saya menikah.
Saya akan memulai hidup berdua dengan Katya dalam waktu kurang dari 4 jam. Katya, wanita yang saya cintai. Yang membuat saya berjanji dalam hati untuk mencintai dia selamanya.
...yang membuat saya sadar bahwa pekerjaan saya bukan segalanya. Masih ada banyak hal indah dalam hidup yang bisa saya nikmati... Katya adalah salah satunya dan Katya yang menunjukkan hal itu pada saya.
Saya tidak pernah merasa sebahagia ini. Katya memberi definisi baru pada kata 'kebahagiaan'... dan saya berterimakasih untuk itu. Saya berterimakasih untuk Katya.
Sepertinya dia memang ditakdirkan untuk mendampingi saya, mengajarkan saya bahwa hidup itu tidak berpusat pada tender-tender yang saya menangkan; pada proyek yang berhasil saya kerjakan; pada prestasi apapun yang saya capai dalam pekerjaan saya.
Hidup jauh lebih besar dan lebih bermakna.


Ranudia
HP gue bunyi tepat jam 4 pagi. Nama Katyusha tertera di LCD. Gue mengernyit heran sebelum menekan tombol 'yes' di HP.
"RANUUU! I'M GETTING MARRIED TODAY!!!", jerit Katya di ujung telepon.
Rasanya seperti mendengar Vuvuzuela dibunyikan tepat di kedua kuping lo.
"Iya iya, gue gak pikun kali. I'll be there in 2 hours kok."
God, this is just too much.
Gue baru berhasil tidur 2 jam yang lalu dan sekarang gue dibangunkan paksa oleh sahabat cewek gue yang mengalami kepanikan menjelang hari pernikahannya.
Oh, koreksi. Di hari pernikahannya.
"Ranuuuu...", rengek Katya nyebelin, tapi kali ini suaranya mulai melembut.
Waduh, bahaya nih.
"Kat?"
Tidak ada sahutan. Sesekali terdengar suara sesenggukan.
...Katya menangis.
Selama bertahun-tahun gue sahabatan sama Katya, cuma 2 kali gue pernah liat dia nangis: pas orangtuanya meninggal dan ketika Ladya memaksanya memakai gaun baby-doll pink (warna yang paling ia benci), padahal ia tampak cantik dalam balutan gaun itu... oke, gue mulai melenceng.
"Kat, this isn't harder than playing soccer. All you get to do is exchanging vows, that's all."
Bukannya berhenti, tangis Katya malah makin jelas terdengar.
Mampus, salah ngomong!
"Masalahnya Nu... I don't think I want to spend the rest of my life with Girindra. This just doesn't feel right."
Yeah, the only thing that would feel right is when I'm the groom, Kat, not Girindra.
"Aduh, kemana aja lo 2 tahun belakangan? Kalo nyesel sekarang, telat tau nggak sih? You should go, Kat... this wedding will be the most right thing you've ever done in your life. Trust me."
"Kalo nggak? Gue salahin lo ya Nu?" suara Katya di seberang sana mulai terdengar santai.
"That won't happen. I'm always right, Katyusha. Sana gih siap-siap, wipe those tears okay? I'll be there, front row!"
Katya tertawa lalu menutup telepon setelah mengucapkan terimakasih.
...dan sekarang, gue yang merasa ingin menangis.

Katya & Ranu
Ijab qabul sebentar lagi akan dilaksanakan. Kedua mempelai duduk berdampingan dalam balutan baju adat berwarna putih. Ranu mengarahkan kameranya, hendak membidik momen krusial itu... namun tiba-tiba ia merasa berat. Sesak.
Ranu mundur perlahan meninggalkan pernikahan itu. Menaruh kamera dalam tasnya, ia melajukan motornya menjauh dari gedung tempat pernikahan berlangsung.
Menjauhkan diri dari Katya.

***

Senggolan kecil di lengannya mengembalikan Katya ke dunia nyata. Girindra sudah melaksanakan ijab qabul-nya dan sekarang giliran Katya.
Andai Ranu yang berada di sebelahnya, senggolan kecil ini tidak perlu terjadi.
Ranu.
Betapa ia selalu menaruh harapan pada mereka. Betapa ia selalu berharap mereka berdua akan duduk berdampingan di depan penghulu. Tidak pernah ada Girindra dalam harapan Katya.
Ranu seharusnya tidak duduk di baris terdepan, sibuk dengan kameranya, menangkap momen bahagia Katya. Ranu seharusnya berada disampingnya, berada dalam foto.
"Saya... tidak bisa terima. Maaf."
Katya bangkit, dengan mantap meninggalkan kerumunan. Meninggalkan Girindra, penghulu, kakaknya, dan ribuan tamu yang terpaku.

***
"RANU! BUKA PINTUNYA!"
Sebuah gedoran di pintu membangunkan Iraz dari tidur lelapnya.
Mata Iraz mengerjap-ngerjap. Kok suara itu terdengar seperti suara Katya... tapi mana mungkin? Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, Katya saat ini pasti sedang duduk berdampingan dengan Girindra di dalam mobil yang akan membawa mereka ke... urgh, Ranu malas melanjutkan khayalannya.
Gak mungkin. Ini pasti mimpi.
Iraz memasang kuping dengan seksama, dan suara itu hilang.
Tuh kan bener bukan Katya. Gue emang salah denger.
Ranu hendak tidur lagi ketika gedoran di pintu kembali terdengar.
"Ranu!"
Kali ini tidak mungkin salah, karena suara itu terdengar begitu jelas di telinga Ranu.
Ranu berjalan sempoyongan menuju pintu, berharap setengah mati ketika pintu itu terbuka, benar-benar Katya yang ia lihat; bukannya kuntilanak yang menyamar jadi Katya dan menerkamnya begitu pintu terbuka.

...dan ternyata, benar-benar Katya. Berdiri di depannya, masih memakai baju adat yang ia pakai ketika acara pernikahan berlangsung tadi pagi dengan wajah yang kelihatan kusut namun begitu bahagia. Ranu tak percaya, benar-benar tak percaya.
"Kenapa... lo disini?"
"Karena bukan lo yang disamping gue tadi pagi. Gue nggak mau kalo bukan lo."

Ranu tersenyum lembut. Kalimat itu begitu sederhana tapi terdengar begitu sempurna di telinganya. Katya balas tersenyum.

***

"So I guess I'm doing the wrong thing ya, Nu...", Katya membuka percakapan.
"Why so?", tanya Ranu ingin tahu.
"Because you said the wedding would be the most right thing I've ever done in my life. Ingat gak?"
Ranu memutar bola matanya, tertawa kecil. Saat ini, dunia benar-benar terasa milik mereka berdua. Secangkir kopi di tangan masing-masing, duduk berhadapan di meja makan sambil menikmati rintik hujan diluar; masing-masing handphone tidak diaktifkan -- surga ternyata tidak terasa begitu jauh.
"Puhlease, kamu kan gak tau makna dibalik kata-kata itu."
Mata Katya membulat, ingin tahu.
"Emang apa?"
"Itu sarkasme! Kamu kan nyaris gak pernah melakukan hal yang aku anggap benar... jadi aku berharap kamu juga mengambil keputusan yang salah," jawab Ranu terus-terang, agak tersipu.
Katya tertawa, tidak percaya. Kaget dengan Ranu yang bisa juga jadi cheesy.
"Well, the falling star just granted your wish. Happy now?"
"Couldn't be happier."



Girindra
Sudah berjam-jam saya duduk di bangku ini, di taman ini, dengan pakaian yang saya kenakan di hari (yang seharusnya menjadi) hari terbahagia dalam hidup saya. Seharusnya saya duduk disini bersama Katya, mendiskusikan hal-hal yang kami suka; mendengarkan Katya membahas buku favoritnya atau gantian ia yang mendengarkan saya membahas tender yang saya menangkan seminggu sebelum hari ini.
...tapi kenyatannya, saya duduk disini sendirian.
Saya mematikan HP sejak saya berada disini. Saya tidak ingin orang-orang itu mengganggu saya, mengasihani saya karena wanita yang saya cintai memutuskan untuk tidak menghabiskan sisa hidupnnya bersama saya.
...tapi entah kenapa, saya mengerti.
Saya mengerti alasan Katya. Saya sakit hati, tapi saya mengerti.
Saya selalu bisa melihat cinta di mata Katya setiap kali ia bertemu Ranu.
Saya tahu Katya mencintai saya, tapi cintanya pada Ranu jauh, jauh lebih besar.
Dan saya tidak mungkin bisa mendapat porsi cinta sebesar Ranu.

Dear Katya,
No need to apologize. I always wish you the best, give my regards to Iraz. Wish me luck finding your replacement, eh?

Sent.





No comments:

Post a Comment