Wednesday, July 14, 2010

Senar-Senar Gitar


Husein menatap gitar miliknya dengan tatapan lesu. "Kenapa senarnya bisa putus lagi sih?" pikirnya kesal. Dia sedang duduk di bawah pohon rindang di kawasan Taman Suropati di suatu sore yang dingin setelah hujan. Tanah di sekitarnya masih becek, dan air masih menetes-netes dari dedaunan pohon di atas kepalanya. Kursi taman yang dia duduki juga sebenarnya masih lumayan basah, namun dia membutuhkan tempat duduk agar dia bisa beristirahat sejenak sambil membetulkan senar-senar gitarnya. "Gimana gue bisa beli senar baru lagi, nih?" keputus-asaan kini melandanya.

Husein adalah seorang pengamen jalanan yang berasal dari Cirebon. Percayalah, awalnya menjadi seorang pengamen bukanlah cita-citanya. Berbekal ijazah SMA, Husein berangkat dari Cirebon ke Jakarta untuk mengubah nasib. Tadinya dia sempat bekerja sebagai cleaning service di sebuah mall besar di Jakarta, kemudian di-PHK. Lalu dia menjadi pramusaji di restoran cepat saji, kemudian dia dipecat karena difitnah rekan sekerjanya. Sudah enam bulan dia menggantungkan hidupnya sebagai seorang pengamen bus kota, dan syukurlah, pekerjaannya itu paling tidak bisa memberikannya jatah makan sederhana tiap hari. Walaupun dia terpaksa tidur di emperan toko setiap malam, dikejar-kejar preman atau satpam, mendapat tatapan sinis dari orang-orang di kendaraan yang ditumpanginya, namun selama dia bisa makan, maka dia masih bisa bersyukur.

Gitar di pangkuan Husein, yang senar-senarnya sekarang putus ini, adalah gitar yang selalu menemaninya sejak dia berada di Cirebon. Gitar ini merupakan hadiah kelulusan dari almarhum Ayahnya, dua bulan sebelum Husein memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Ayahnya membeli gitar ini dari sebuah toko loak di Pasar Cirebon, namun gitar itu sudah seperti Fender Starcaster untuk Husein. Siapa sangka gitar yang awalnya hanya menjadi alat penghilang sepi kini menjadi sumber satu-satunya penyambung nafkah Husein di Jakarta.

Husein memandang ke langit. Cuaca dingin yang sedari tadi menyergap tulangnya, kini sudah berganti menjadi lebih cerah. Air yang sedari tadi menetes dari ujung dedaunan pohon juga tidak terasa lagi di kepala Husein. Lelaki muda itu kemudian berdiri dari bangku taman yang sedari tadi didudukinya, lalu dengan langkah lunglai dia berjalan keluar dari Taman Suropati. Pikirannya melanglang buana, tanpa mempedulikan kemana kakinya membawa dirinya. Satu fokus Husein: dia harus membetulkan senar gitarnya hari ini. Jika tidak, besok dia tidak bisa bekerja, dan dia tidak akan bisa makan sepanjang hari.

Dengan langkah lunglai, Husein memutuskan untuk berjalan lurus ke arah Jalan Surabaya. Jalan Surabaya adalah jalan yang cukup terkenal dengan toko-toko barang second. Mulai dari koper hingga vas-vas bunga dan cermin-cermin antik, mereka jual. Bahkan sampai ke piringan hitam dan kaset-kaset lama, semua dijual dengan harga super miring. Husein hanya bisa berdoa, semoga disana ada toko alat musik bekas dan mereka menjual senar gitar. Berapapun harganya akan Husein beli dengan uang lima belas ribu Rupiah yang ada di kantong celananya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Husein tiba di Jalan Surabaya. Matanya langsung memicing, mencari-cari toko yang menjual alat musik bekas. Sejauh mata memandang, yang dilihat Husein kebanyakan adalah toko tas dan koper bekas, cermin bekas, barang-barang antik, dan toko kaset bekas. Tak putus-putusnya dia berdoa agar menemukan toko alat musik bekas, kalaupun ada.

Saat dia sedang pusing-pusing mencari, tiba-tiba matanya menangkap sebuah toko kecil dengan beberapa gitar yang dipajang didalamnya. Dia segera menyeberang jalan lalu masuk ke sebuah toko kecil yang sepi itu. Ternyata itu benar-benar sebuah toko alat musik, seperti yang sudah diperkirakannya. Beberapa gitar akustik digantung di atas toko, sedangkan di dindingnya terdapat beberapa rak yang menjual harmonika, ukulele, pianika dan alat-alat musik kecil yang bekas.

Seorang bapak-bapak, kira-kira berusia 50-an, dengan celana jeans panjang dan kaos biru kotak-kotak mendatangi Husein. "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanyanya ramah.

"Ya... Bapak jual senar gitar, nggak?" tanya Husein penuh harap.

Bapak itu kemudian berjalan masuk ke rak-rak dalam, tangannya merogoh-rogoh sesuatu. "Ada Mas. Mau yang bagus apa yang biasa?"

"Yang biasa aja Pak," jawab Husein, khawatir dengan uang pas-pasannya. Tak lama kemudian, Bapak itu menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Husein sambil berkata, "Ini dua puluh ribu harganya. Nggak ada yang lebih murah lagi."

Husein mendesah. Hatinya langsung kebat-kebit. Uang di kantongnya hanya ada sebesar lima belas ribu rupiah. Itu juga belum untuk makan. Jika Husein merelakan seluruh uangnya untuk membeli senar gitar ini, sudah pasti dia tidak akan bisa makan malam. Namun akhirnya dengan perhitungan yang panjang, Husein memutuskan untuk berkata jujur. "Saya pengamen, Pak. Uang di kantong saya cuma ada lima belas ribu. Saya butuh beli senar, soalnya senar gitar saya putus semua," ujarnya sambil menunjukkan gitar dengan senar yang putus semua kepada si pemilik toko.

"Kamu butuh kerjaan?" tanya si Bapak pemilik toko to the point.

Husein terbelalak. "I... iya Pak. Enam bulan lalu saya dipecat dari pekerjaan terakhir saya. Selama itu juga saya jadi pengamen. Ba... bapak nawarin saya kerja?"

"Sebenernya iya. Saya baru ditinggal orang saya seminggu yang lalu, katanya dia mau kawin di Brebes. Sekarang saya nggak punya siapa-siapa lagi buat bantuin saya jaga toko. Kamu mau, jaga toko saya?"

"Ma... Mau Pak, mau banget Pak!" Husein sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi selain "Mau". Betapa inginnya dia bekerja lagi. Walaupun itu sebagai penjaga toko barang bekas saja dia sudah sangat bersyukur. Matanya berbinar-binar. Dia sudah membayangkan akan menjaga toko alat musik bekas pemilik Bapak murah hati ini, dan dia sudah membayangkan bahwa dia akan tekun bekerja.

Bapak murah hati itu mengulurkan tangannya. "Saya Pak Amir. Mulai besok kamu bisa kerja disini ya, siapa nama kamu?"

"Husein Pak, Husein!" jawab Husein sumringah sambil menjabat tangan bos barunya. Dalam hati, dia sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah dipertemukan dengan salah satu orang baik di dunia ini. Orang baik yang tidak memandang rendah seorang pengamen.



Forever yours: Judy Wilhelmina

No comments:

Post a Comment