Thursday, July 15, 2010

Panggung


“Kenapa kamu tidak pernah bisa membiarkan aku menguntai mimpi kita berdua?”
“Maaf, Galih. Tapi keadaan sudah berbeda. Kamu tidak mengerti, aku…”
“Dengarkan aku, Ratna,” Sosok di depannya menatapnya tajam. “Kamu, aku, kita berdua – seharusnya bisa bersama-sama. Andai kamu berani untuk menyambut uluran tanganku. Untuk apa kita harus bertemu kalau pada akhirnya kita tidak bisa bersatu?”
Sang Ratna terdiam. Terpaku menatapi bola mata hitam di hadapannya. Udara langsung terasa menggelitik dan menyapu nafasnya dengan mudah. Ia gemetar.
“Tidakkah kamu percaya takdir?”
“Eh, ya. Aku…”
 
CUT!
 
Assya mengerang gemas, melepas genggaman tangan Evan dan menoleh ke arah kursi-kursi yang ada di bawah panggung. Pak Fajar menggeleng-geleng lelah dan menatap Assya putus asa.
“Assya, ini sudah take ke-8! Sampai kapan kamu selalu lupa akan dialog di scene ini, sih?”
“Saya bukannya lupa, Pak!” Sergah Assya putus asa. Ia melirik ke arah kru syuting yang sudah menatapnya penuh harap – berharap Assya bisa dengan cepat menyelesaikan adegan konyol ini. Ini adegan mudah, untuk bintang teater seukuran Assya yang jam terbangnya sudah tahunan. Tapi kenapa ia tidak bisa berakting lancar?
“Rileks, Sya,” Ujar seseorang dari belakang tubuhnya. Tangan Evan menepuk punggungnya tegas, gestur yang sama setiap kali ia berusaha mendukung Assya. Di atas panggung teater, Evan bisa menjadi apa saja. Komedian, antagonis, freak, bahkan bisa menyaingi konyolnya romantisme Edward Cullen. Evan memang pemain watak, sayang sekali sampai sekarang ia selalu menjadi pemeran pengganti. Evan bukanlah pemeran Galih yang sebenarnya, dikarenakan pemeran Galih – Irzan – sedang di-opname di rumah sakit karena kecelakaan fatal, terpaksa Evan harus ada di sini. Menjadi pengganti Irzan. Menjadi Galih. Menjadi pasangan hidup si Ratna. Tak lain, Ratna itu adalah dirinya.
 
“Jangan dijadiin beban kalau memang lo lagi nggak bisa konsen. Ada masalah?” Tanyanya lagi. Aku melengos. Inilah Evan yang asli, di luar karir akting, ia tidak akan peduli apapun lagi. Evan di bawah panggung akan menjadi Evan yang disiplin dan profesional. Karena itulah, selama ini Assya hanya bisa diam saja menatapi sosok yang diperani Evan. Hanya bisa berharap suatu hari nanti Evan tidak hanya menjadi pemeran, tapi benar-benar seperti tokoh Galih yang rela mengorbankan apapun bagi Ratna.
 
Andai saja ia bisa menjadi Ratnanya. Ratna milik Galih. Assya milik Evan.

Break 10 menit! Semuanya, habis ini kita lanjut scene 15,” Pak Fajar menepuk kedua tangannya ke arah kru dan kembali menatap Assya. “Sya, ada apa sih dengan kamu?”
“Saya juga nggak tahu, Pak…”
“Maksud saya, kamu biasanya prima dan perfeksionis. Waktu Irzan masih berakting sama kamu, kamu sangat memukau. Kenapa sekarang jadi lesu begini?” Pak Fajar menatap Assya lagi, lalu tersenyum kecil. “Istirahatkan dulu mentalmu. Kehidupan teater membutuhkan fleksibilitas, Sya. Ingat itu.”
Assya hanya menunduk saja, bingung mau menjawab apa. Ia tahu, dirinya tidak profesional dalam kasus ini. Ia sadar bahwa Evan bukan hanya rekan aktingnya semata. Dan ia terus mengeluh karena hal itu.
“Berat ya, Sya?” Evan tersenyum lagi, menatapiku dengan mata yang menyipit. Assya suka sekali jenis tatapan Evan ini, mata Evan seperti tersenyum. Tatapannya keruh sekaligus hangat, membuatmu seringkali bertanya-tanya apa warna matanya hingga tampak keruh seperti itu. Assya baru tau beberapa hari yang lalu, mata Evan berwarna abu-abu.
 
“Sedikit. Mungkin gue kecapekan,” Ucap Assya setengah berbohong. Selain menjadi tokoh utama di teater Galih dan Ratna ini, Assya juga harus syuting FTV dan film layar lebar tentang romantisme di hari yang bersamaan. Belum lagi jadwal pemotretan, wawancara, press conference, media coverage, dan konco-konconya yang ngejubileh banyaknya. “Tapi gue seneng kok dapet peran di Galih dan Ratna!” Kata Assya buru-buru sebelum Evan mengecapnya sebagai orang yang nggak fokus. Hey, those are the obligations in my job. I don’t want it anyway.
“Nggak nyesel kan akting bareng gue?”
“Nggaklah. Nggak akan nyesel.”
“Hehehe. Padahal gue baru pemula. Kalau dibandingin lo, jam terbang gue masih jauh…”
“Pemula apanya?” Assya melotot pada Evan. “Lo itu pemain watak termuda paling bagus yang pernah gue temuin!”
 
“Makasih,” Balas Evan kalem lalu menunduk, memandangi lantai kayu yang ia duduki. Kakinya menggantung di pinggiran panggung, Assya ikut duduk tepat di sebelah Evan dan menatapi kursi berbahan velvet warna merah yang terhampar di hadapan mereka. Segenap kursi kosong seakan menyihir mereka berdua untuk terus dibuai skenario berjudulkan teater.
“Kenapa lo suka akting, Sya?”
“Kenapa?” Ulang Assya heran. “Akting memang hobi gue. Gue merasakan ada yang spesial di saat lo diijinkan menjadi orang lain walaupun hanya sebentar. Gitu aja sih. Cuma gue sebel aja sama urusan publikasi akting itu sendiri. Mulai dari wawancaralah, harus sok jaimlah, cari muka sama medialah. Males!”
Evan mengulum tawanya, membiarkan suasana kembali hening. Ia menghela nafas.
I hate to keep use these masks.
What… masks?
“Topeng ini, Sya,” Kata Evan penuh tekanan. “Saat kita harus menjadi orang lain di atas panggung. Membiarkan hidup kita disesuaikan dengan suatu plot. Gue merasa… kok aneh ya? Di realita, gue sudah membiarkan hidup gue diatur oleh lingkungan. Lingkungan gue mengecap mana yang baik dan mana yang buruk, tanpa ada yang mendengar pendapat gue. Kenapa di atas panggung gue juga harus begitu? Harus menjadi orang yang nggak gue sukai, menghidupi hidup yang nggak gue sukai, bahkan…” Evan menelan ludah. Lalu ia memejamkan matanya. “…Mencintai orang yang nggak gue cintai…

Assya ikut-ikutan menelan ludah. Ia seakan mendengar penderitaan berat yang tertelan oleh Evan sejak lama, suaranya begitu pedih. “Lalu kenapa lo terus mau ada di panggung?”
“Ada beberapa alasan.”
“Apa?”
“Nggak bisa gue sebutin, Sya.”
“Ck. Nggak asyik lo, Van,” Balas Assya bercanda. “Kenapa?”
“Mungkin karena lo?”
Assya tersedak. “Kenapa gue?”
“Gue seneng aja. Masih ada juga pemain teater berdedikasi yang sangat enjoy dalam memainkan perannya. Mau jadi pohon kek, mau jadi domba kek, mau jadi tokoh utama kek… Lo terlihat selalu menyukainya, Sya. Lo nggak peduli, selama itu panggung. Gue iri sama lo… gimana lo bisa menemukan ‘topeng’ lo yang tepat di atas teater. Gue kepengin begitu, menjadi sosok yang gue inginkan, tapi ternyata gue nggak bisa menemukannya di sini. Gue merasa gue sudah salah jalan. Dan gue nggak tau lagi harus kemana.”
 
“Hey, Van,” Assya menepuk pundak Evan lembut. “We never know which direction we should take until we’ve taken one step ahead.
Mata Evan mengerjap lambat, menatapi wajah bulat di depannya yang menatapnya berbinar. Assya sudah mengerti arah pembicaraan Evan tadi, Evan sudah tidak betah berada di atas teater. Ia merasa ini bukanlah cita-citanya. Harapannya akan teater sudah salah besar, berbeda dengan Assya yang merasa teater adalah hidupnya. Assya tersenyum sedih.
“Lo akan keluar?” Tanya Assya. “Janganlah, Evan. Jangan biarin panggung Indonesia kehilangan aktor berbakat kayak lo.”
It doesn’t matter where we take this road. Someone’s gotta go, right?
Why?” Tanya Assya lagi. Tenggorokannya terasa perih. “Apa karena teater sudah mengecewakan lo? Membiarkan lo kesasar selama beberapa tahun tanpa bisa menemukan apa yang lo harapkan? Panggung nggak sejahat itu, Evan. Believe me!
Theatre never dissapoint me, Assya. Never,” Balas Evan yakin. Ia menggenggam jemari kecil Assya hangat. “Selama lo masih ada di atas panggung, gue nggak akan pernah merasa dikecewakan. Lo yang sudah mengajarkan hal berharga sama gue, walaupun hanya dalam topeng kita masing-masing, dalam karakter peran masing-masing, di atas panggung tipuan itu. Tapi momen-momen gue sama lo terasa asli, Sya. Gue nggak tau lo berpendapat apa, hanya saja gue merasa keadaan yang terjadi di antara kita berdua bukanlah panggung lagi.”
 
Terdengar suara grasa-grusu di belakang mereka, tapi Evan tidak peduli. Ia menarik nafas panjang, “This stage let me know you better. And I love it. I love to see the way you act on the stage. Damn, wish there’s a way that I can make you understand…
So…” Assya merasakan pelupuk matanya mulai basah. “Are you leaving?
Evan hanya tersenyum. Ia melepas genggamannya dan menepuk rambut Assya pelan. “I wish this scene can make you understand, Sya… I wish we can live through our own stage for real.
“Ayo semuanya!” Teriak Pak Fajar membuyarkan intemezzo di antara mereka berdua. Assya melengos dan menghapus air mata yang ada di pipinya. Evan juga membalikkan badannya, berusaha menghilangkan rasa tidak relanya untuk meninggalkan Assya sendirian. “Masuk scene 15 dalam hitungan ketiga. Siap? 1, 2, 3… action!”
 
“Aku nggak pernah menduga kalau akhirnya akan begini…” Galih menatap Ratna dengan tatapan sendu. “Kenapa kamu nggak pernah bilang sebelumnya?”
“Aku nggak pernah tau kemana takdir akan membawa kita, Galih!” Balas Ratna miris. “Kamu kira… semuanya nggak berat? Jangan tanya aku bagaimana dan mengapa aku masih mau mencari kamu walaupun kita sudah berpisah. Aku nggak pernah tau kemana jalan akan membawa aku. Aku hanya bisa berjalan… Sampai bertemu kamu…”
Galih terpaku di tempatnya. Menunduk lunglai menatapi Ratna tanpa ada cercah harapan baru. “Ternyata semuanya nggak bisa disesuaikan dengan skenario kita ya, Ratna…”
“Aku tau itu, Galih…” Ratna berbisik pelan. Ia terduduk, bertumpu pada kedua lututnya, menatapi lantai dengan lesu. “…Aku tau…
“Aku hanya bisa berharap kita bisa ketemu lagi, suatu saat, entah dimana. Yang jelas…” Galih mendeham kecil. “Kamu nggak akan sendirian. Aku janji. Aku orang paling berbahagia yang pernah diberikan kesempatan untuk jatuh cinta sama kamu. Semoga kamu juga bahagia ya?

Ratna masih terduduk, sementara Galih berbalik dan menghilang ke belakang panggung. Assya mulai merasakan air mata mulai menetes lagi membasahi wajahnya.
 
“…Jangan pergi…”
 
CUT!
 
Assya tersadar dari dunianya di atas panggung. Ia menoleh ke arah kru dan Pak Fajar yang sudah bersorak-sorai gembira. Lalu Assya menoleh ke arah belakang panggung – Evan sudah tidak ada di sana.
“Saya tau kamu bisa, Assya!” Ucap Pak Fajar bersemangat. “Hanya saja memang ada improvisasi sedikit. Saya bisa maklum. Baik kamu maupun Evan memang sama-sama kreatif! Saya salut!”
“Hahaha, iya makasih, Pak,” Assya tersenyum kaku. Ia menghapus sisa air mata yang masih membekas di wajahnya. Lalu matanya menatapi telapak tangannya yang kosong – tangan yang tadi digenggam Evan.
Sekarang aku tau apa yang dimaksud dengan ‘realita’. Dialog tadi… tidak ada satupun yang pura-pura, dusta, maupun berdasarkan skenario. Dialog yang begitu mengena. Aku yakin Evan juga merasakan hal yang sama…
Nothing wrong if you want to live in imagination, somehow reality hurts you too muvh. You can stay here, on the stage, with me. So, please? Come back here.
***

Jalanan Jakarta yang macet, seperti biasa. Evan menarik nafas gemas dan mulai memasang radio, mencari saluran yang bisa menyesuaikan playlist dengan mood-nya.
 
“Kembali lagi di ModFM! Di sini gue, Ryzxy bersama salah satu aktris naik daun yang akan kita wawancara, Mod fellows!”
“Hai semuanya, nama gue Assyarine Winata. Baru-baru ini, gue baru menjadi tokoh utama dalam pentas teater ‘Galih & Ratna’ di TIM.”
Suara ini. Assya. Evan jadi tersenyum sendiri, lalu memasang volume dalam frekuensi yang lebih besar.
“Wah, gue nonton tuh yang teater ‘Galih & Ratna’ itu. Waktu itu lo akting sama aktor bernama Marevanno ya? Habis promo ‘Galih & Ratna’ ini, lo akan ada proyek apalagi, Sya?”
“Gue rencananya mau main di film layar lebar yang ceritanya diadaptasi dari novel. Ini film layar lebar kedua gue setelah ‘Moonlight’. Jadi, wish me luck ya guys!”
“Keren banget sih penanjakan karir lo! Bisa tolong ceritain nggak ke kita-kita semua, sedikiiiit aja tentang film layar lebar lo ini?”
“Bisa. Mungkin udah beberapa dari kalian yang baca di internet, film ini bercerita tentang kehidupan dua orang pemain teater. Kisah suka-dukanya belajar akting, sampai kisah cinta behind the scene-nya. Bagaimana mereka memulai hubungan sebagai rival, hingga akhirnya saling jatuh cinta. Sampai akhirnya salah satu dari mereka harus mundur karena ada beberapa faktor…”
“Ceritanya agak-agak mirip dengan kehidupan karir lo sebagai pemain teater ya kalau gitu?”
“Iya, makanya gue enjoy banget. Apalagi gue juga suka pola ceritanya.”
“Kalau boleh tau, siapa aja sih orang yang andil di dalam film ini? Sama judul filmnya apa?”
“Judul filmnya itu ‘Panggung’. Kalau yang andil sih… banyak banget. Tapi dimulai dari pencetus idenya aja deh. Jadi nanti gue akan adu akting lagi bareng Marevanno. Dan sutradara serta produsernya film ini juga Marevanno sendiri.”
“Hebat, hebat. Kita semua salut ya, Mod fellows, sama penampilan Evan maupun Assya. Oke, kalau gitu ada pesen atau sesuatu yang mau disampein nggak? Atau request lagu?”
“Hmm… Request, boleh?” Tanya Assya ragu. “Gue mau request lagu One Day You Will-nya Lady Antabellum. Lagu ini… Gue persembahkan buat partner gue, Marevanno. Enjoy!

Evan hanya bisa bengong mendengar kalimat terakhir Assya. One Day You Will?
You feel like you’re falling backwards
Like you’re slippin’ through the cracks
Like no one would even notice
If you left this town and never came back
You walk outside and all you see is rain
You look inside and all you feel is pain
And you can’t see it now

But down the road the sun is shining
In every cloud there’s a silver lining
Just keep holding on (just keep holding on)
And every heartache makes you stronger
But it won’t be much longer
You’ll find love, you’ll find peace
And the you you’re meant to be
I know right now that’s not the way you feel
But one day you will

You wake up every morning and ask yourself
What am I doing here anyway
With the weight of all those disappointments
Whispering in your ear
You’re just barely hanging by a thread
You wanna scream but you’re down to your last breath
And you don’t know it yet

No comments:

Post a Comment