Friday, July 16, 2010

Filosofi Nasi

Salam

Nasi putih, dikonsumsi oleh lebih dari 500 juta jiwa di Asia Tenggara sendiri.
Mulai dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan
seterusnya.

Sebuah makanan dasar yang memenuhi kebutuhan karbohidrat kita, berwarna putih,
berbentuk lonjong yang imut mengundang selera makan, rasa nikmat memberi kepuasan
batin dan lahiriah. Tetap sedap jika dikonsumsi bersama lauk-pauk lain mulai dari tumis daging, sayur cah kangkung yang menggoda, telur goreng, tempe, tahu, bahkan sampai makanan mewah bak steak, babi panggang (maaf teman-teman muslim, tapi anda sekalian tahu bahwa saya sangat menyukai makanan yang mengandung babi), dan masih banyak lagi.
Nasi pun bisa dimasak sedemikian rupa menjadi sebuah santapan yang bisa dinikmati semua kalangan dimulai dari pemulung hingga presiden: nasi goreng, nasi kuning, nasi telur, nasi mentega, nasi gila, nasi kucing, dan masih banyak lagi.

Satu lagi kehebatan nasi yang saya berhasil pelajari sewaktu saya bertualang ke Jogjakarta bersama Ayah saya: Nasi, di manapun, kapanpun, dalam situasi apapun, bisa mengumpulkan sekelompok orang asing dalam sebuah meja makan dan melupakan perbedaan mereka dengan menikmati nasi dan makanan yang tersedia. Nasi itu hebat ya?
Tetapi, jika kita pikirkan bersama, sebutir nasi itu memiliki sebuah cerita tersendiri yang bisa kita ambil sebagai sebuah pelajaran hidup.

Semua itu dimulai dari tanaman padi... yang dipanen oleh para petani setelah menguning, dan dipukuli ke sebuah papan agar bulir-bulir padi itu bisa rontok dan dikumpuli. Setelah dikumpuli bulir-bulir padi yang rontok tersebut, mereka akan dibawa dan dituang kedalam sebuah lesung untuk sekali lagi, dipukuli oleh alu-alu. Bulir-bulir padi ini akan lepas dari kulitnya dan akan berubah menjadi butir-butir beras. Setelah itu, semua itu akan dikumpulkan, dikarungi dan dijual sebagai beras siap masak.
Nah, sekarang mari kita bayangkan jika beras itu adalah jati diri kita masing-masing. Dimulai dari awal pertumbuhan... pada saatnya akan 'menguning'-matang dengan seiiringnya waktu. Pematangan ini pun tergantung dari kondisi tanah, yang bisa kita artikan kondisi lingkungan di mana kita tumbuh. Namun, ini pun juga bisa menjadi pelajaran, jika memang bibit padi itu sebuah bibit unggul, maka ia pun akan tumbuh dengan baik.
Setelah 'matang' maka kepribadian beras itu dicoba. Dibanting dari batang utamanya,
mungkin ini bisa kita artikan ketika kita, sebagai remaja atau sebagai seorang individu, 'dilepas' untuk merantau di dunia nyata. Setelah kita semua 'lepas' dari batang utama kita, yaitu orang tua kita, maka kita dihentak, di'alu' oleh kenyataan dunia. Setelah bulir-bulir padi itu lepas dari sekamnya, bisa kita artikan sebagai semua topeng dan apapun yang menutupi jati diri kita yang sebenarnya 'terpecahkan' atau 'terkupas' dan menunjukkan apa buah, apa inti sebenarnya.
tetapi hati-hati, karena terkadang sekam itu terlihat gemuk dan padat,
namun bisa saja kosong, atau berisi beras yang busuk.

Beras itu pun siap masak dan siap untuk disantap.. Coba pikirkan bahwa semua ujian dan semua cobaan itu akan berhasil pada akhirnya akan menjadi sebuah pencapaian yang berarti bagi kita. Sebuah hasil akhir yang sangat memuaskan, yang sangat nikmat yang adalah diri kita sendiri.
Satu hal lagi yang kita semua bisa petik dari nasi adalah, nasi adalah nasi.
Dari mana pun, nasi Jepang, Nasi Indonesia, Setra Ramos, Rojolele, Pandan Wangi,
apapun, jika dimasak akan menjadi nasi. Nasi goreng, nasi kuning, nasi kucing, apapun bumbunya, apapun warnanya, apapun rasanya bahan dasarnya adalah nasi.
Begitu pula kita manusia. Bagaimanapun kita menghias diri, menutup diri, menolak diri, membuat diri kita 'pedas', 'asin', 'asem', 'manis' (ramai rasanya), kuning, putih, coklat, merah kita adalah diri kita sendiri. Kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa kita diciptakan sebagai kita sendiri.

Janganlah membuang waktu dengan mencoba menjadi makanan lain jika
kamu memang diciptakan sebagai beras.
Jadi intinya, kita adalah diri kita sendiri. Di manapun kita berada, siapapun kita ini, peganglah teguh jati diri kita karena itu adalah kekuatan kita.

Jadilah sebuah bibit unggul, yang akan membuat sepiring nasi yang nikmat disantap di piring kehidupan ini.


Raka Siga Panji Pradsmadji

No comments:

Post a Comment