Tuesday, July 13, 2010

Pesan Seorang Ibu


Zeva sudah membongkar semua tasnya seharian ini, namun barang yang ia cari belum dapat ditemukan juga. Ia sampai frustasi, semua barang-barang kacau berantakan berserakan di kamarnya yang sempit.

Ia berlari-lari ke tempat cucian dan menjemur pakaian. Menurutnya, bisa saja barang yang sudah ia cari dalam jangka waktu seminggu ini masih terselip di kantong celana yang sedang dicuci atau dijemur. Namun, ia tidak menemukan benda kesayangannya tersebut. Ia hanya bisa diam, kecewa.

Akhirnya ia kembali ke kamar tidurnya untuk mencari barang tersebut. Kadang, barang itu bisa berada di kolong tempat tidur atau ternyata tertutup oleh bantal-bantal yang menumpuk di atas tempat tidur Zeva.

“Zevania!!!! Ibu sudah ingatkan kepada kamu berkali-kali, ya! Pertama, kamarmu ini sudah sempit, sumpek, panas, kalau kamu kacaukan kamarmu dengan barang-barangmu yang menumpuk ini, mau jadi apa kamar ini?”

Baru saja Zeva mau membuka mulut, tetapi Ibu tidak memberikan kesempatan Zeva untuk berbicara. Ia merasa sedikit kesal, karena Ibu memaharinya, bukan membantunya untuk mencari barang tersebut.

“Tunggu! Ibu belum selesai bicara. Kamu harus sopan ya sama orang yang lebih tua!”

“Hmmmm.. Zeva mengerti, Bu.” Zeva menatap langit-langit kamarnya yang baru saja ia cat sebulan yang lalu dengan warna merah marun. Ia menginginkan suasana kamar seperti studio di bioskop, namun apa boleh buat, hanya dinding yang dapat ia cat agar terkesan seperti di bioskop, karena ia tidak memiliki cukup banyak uang untuk mendekor ulang kamarnya.

“Tatap mata Ibu jika sedang bicara, Zeva.”

“Ini sudah, Bu.” Zeva langsung menatap mata Ibu dalam-dalam.

Sebenarnya, Zeva takut menatap mata Ibu. Zeva takut.

“Yang kedua, kenapa kamu harus mencari barang yang memang sudah hilang? Kenapa kamu harus selalu sibuk mencari barang itu? Kamu tentu bisa sukses tanpa barang itu, Nak!!!” Ibunda Zeva berbicara dengan setengah teriak karena sudah habis kesabarannya dalam menasihati Zeva yang tidak pernah bisa mengerti.

“Bu, Zeva juga sudah jelaskan berkali-kali, barang itu sudah melekat di hati, pikiran, dan tubuh Zeva. Tanpanya, Zeva tidak akan bisa se-sukses sekarang. Besok Zeva sudah mulai lomba, bayangkan! Pasti Zeva akan kalah, Bu..” Zeva tertunduk lemas di ujung tempat tidur yang sudah dipenuhi oleh tas-tasnya.

“Terserah kamu ya Zevania Putri. Terserah kamu. Terserah!” Ibu kehabisan kata-kata dan meninggalkan kamar Zeva dengan langkah yang lambat.

Ya ampun.. Kamu di mana? Aku membutuhkanmu, Chi. Aku nggak bisa sukses tanpa Achi.

Pada malam hari, Zeva duduk di kursi taman belakang, mengayun-ayunkan kakinya yang kurus. Ia sudah setengah depresi, dari tadi tidak makan, tidak tidur, karena pena kesayangannya yang ia beri nama Achi, tidak dapat ia temukan. Padahal menurutnya, ia bisa selalu menang lomba membuat cerpen, puisi, karya tulis, itu semua karena Achi, pena keberuntungan.

Zeva, putri sulungku, maafkan Ibu.

Akhirnya Ibu menghampiri Zeva di taman belakang, duduk di sampingnya, dan membelai rambut Zeva yang keriting dan halus. Ibu menarik nafas dari hidung sedalam-dalamnya dan membuangnya melalui mulut.

“Zeva.. Ibu tahu, kamu pasti bisa melalui lomba menulis cerita pendek besok dengan lancar. Tanpa Achi tentunya. Pena itu hanya pena biasa, Nak. Bukan pena keberuntungan yang selalu kamu bangga-banggakan. Yang menjadikan hasilnya luar biasa adalah karena hati dan pikiranmu. Karena kamu yang selalu menulis dengan hati, dan disatukan dengan pikiran pastinya."

Ibu menarik nafas dalam-dalam lagi dan melanjuti kata-katanya yang belum selesai.

"Kamu tidak boleh putus asa. Ibu yakin, kamu pasti bisa, kamu pasti sukses. Jangan sampai dirimu ditimpa oleh sugesti-sugesti yang kadang tidak masuk akal. Kamu harus bisa bersugesti bahwa kamu sukses tanpa Achi. Tolong ingat dan pegang kata-kata Ibu ya, Nak..” Ibu menghela nafas dan langsung meninggalkan Zeva sendirian di taman yang masih memikirkan kata-kata Ibu.

Sepertinya yang Ibu katakan ada benarnya juga. Ya Tuhan, tolong hamba-Mu ini..

Pada hari berikutnya, Zeva ke lokasi lomba diantar dan ditemani oleh Drea, sahabatnya. Drea selalu menenangkan Zeva yang sedari pagi tidak yakin dan takut dalam menghadapi lomba. Zeva tidak merasa percaya diri tanpa Achi yang biasanya ia jepit di bajunya.

“Sudahlah Zev... Dengarkan kata-kata nyokap lo, kalau lo itu pasti bisa! Semangat dong! Masa cuma gara-gara si Achi, lo jadi lemas gini..”

“Hmm.. Nggak tahu deh, Dre. Gue bingung. Mohon doanya aja, ya..”

“Pastinya.. Sudah, sana masuk ke dalam. Lombanya sudah mau mulai, tuh!”

Akhirnya Zeva yang saat itu mengenakan blouse berwarna putih dan jeans biru, masuk ke dalam ruangan lomba menulis cerita pendek. Drea hanya bisa menatapnya dari belakang dan berdoa agar semuanya dapat berjalan dengan baik-baiksaja dan tentunya, lancar.

Di dalam ruangan, Zeva berpikir banyak. Awalnya, Ibu tiri yang ia kira galak dan ternyata memang galak, sangat menyayangi Zeva. Buktinya, Ibunda tiri Zeva memberikan nasihat yang sangat berarti bagi dirinya pada malam hari itu.

Setelah panitia lomba mengumumkan syarat dan ketentuan lomba, akhirnya diberitahu bahwa tema untuk lomba menulis cerita pendek kali ini bebas, sehingga Zeva dapat mendedikasikan sebuah cerita untuk Ibu tirinya.

Zeva ingin menulis mengenai kata-kata dari Ibu yang akan selalu Zeva ingat, mengenai percakapan mereka kemarin, dan mengenai betapa baiknya seorang Ibu kepada seorang anak, sekalipun itu bukan anak kandungnya.

Ibu, Zeva yakin kalau Zeva bisa menang. Bukan karena pena keberuntungan, tapi karena cinta dan kasih sayang Ibu. Kekuatan yang Ibu berikan tadi malam, benar-benar membangunkanku, bahwa mimpi yang sedang aku kejar, pasti semua karena usahaku, karena aku menulis dengan hati.

Sementara, di balik jendela rumah mungil, terdapat seorang Ibu yang sedang duduk di sofa berwarna coklat dan mendoakan anaknya yang sedang mengikuti lomba menulis cerita pendek. Tidak lama kemudian, Ibu ini mengambil telepon genggamnya dan mengetik suatu pesan yang akan dikirim.


To: My Princess

Zevania, Ibu tahu, kamu tidak lahir dari rahim Ibu, tapi kamu adalah satu-satunya permata yang paling berharga bagi Ibu. Ibu ingin masa depanmu menjadi jauh lebih baik, maka dari itu, Ibu harus sedikit keras dan melakukan sesuatu yang kedengarannya memang menyakitkan. Di masa depan nanti, hanya realita yang dapat kita jalankan. Semua pena yang kamu gunakan, pasti merupakan pena keberuntunganmu, Nak. Semoga kamu dapat memenangkan lomba kali ini dengan hasil yang baik, begitu pula untuk kesempatan- kesempatan berikutnya.

Cium sayang,

Ibu


-Irma Fadhila

No comments:

Post a Comment