Tuesday, July 13, 2010

Pulang dan Pergi


“Kenapa menangis?”
Suara menggemaskan yang terdengar bening, tidak ada aura dingin sama sekali. Ia tersenyum, giginya yang putih berderet rapi. Rambutnya yang sedikit ikal berwarna hitam terlihat klimis di bawah sinar matahari. Aku mengusap air mataku.
“Aku tidak punya teman,” Ucapku sesunggukan.
“Ah masa?” Matanya membulat lucu. Ia menarik tanganku, mengajakku berdiri. “Apa aku bukan temanmu?”

Aku mengusap mataku lagi. Lalu menggeleng. “Mamaku bilang, aku tidak boleh bicara dengan orang asing. Orang asing bukan temanku.”
Ia tertawa kecil dan menyodorkan tangannya. “Kalau begitu, akan aku buat aku tidak lagi menjadi orang asing.”
“Hah?”
“Hei, sudahlah jangan nangis lagi.” Ucapnya seraya menghapus air yang masih ada di pipi kiriku. “Aku Azra.”
Sesaat aku merasa ragu, tapi aku mengangguk kecil. “Aku Kendis.”
“Dengan begini aku tidak jadi orang asing kan?” Ia mengedipkan kedua bola matanya. “Mamamu mana?”
“Aku…” Aku menggigit lidah. “Aku nggak tau. Papa dan mama sudah nggak jelas keberadaannya. Mereka sering sekali pergi ke negara yang katanya punya tembok benteng lebih tinggi dari rumahku.” Ucapku sambil menunjuk tinggi rumah berpagar kayu di belakangku. Azra ikut mendongak, lalu melengos.
 
“Sama. Papa dan mamaku juga sering bolak-balik ke New York, ninggalin aku sendirian.”
“Mereka meninggalkan kita sendirian.”
Kami berdua terdiam. Tapi Azra dengan tiba-tiba menarik tanganku, berlari kecil menuju rumahnya.
“Kenapa, Azra?”
“Aku yakin aku nggak sendirian! Kita nggak sendirian!” Dengan buru-buru, ia membuka lemari birunya yang ukurannya 3 kali ukuran tubuh Azra. “Kemarin kakek membelikanku ini.”
Aku menatap benda berbulu cokelat lembut di tangan Azra. Aku hanya bisa bengong. “Teddy bear? Err… lalu apa hubungannya dengan kita tidak sendirian?”
 
“Di hari Teddy Bear sedunia, tidak ada satupun yang sendirian.” Ucap Azra mantap. Aku menatapnya ragu-ragu, tapi ia langsung menangkap maksudku. “Hei, aku sudah baca itu di koran. Tiap anak pasti akan ada yang menemani, mereka ke toko-toko dan makan es krim. Karena itu, aku rasa, kalau kita bawa terus teddy bear ini, kita berdua nggak akan sendirian.”
“Kamu yakin?” Tanyaku lagi. Kesimpulannya sesaat terdengar bodoh, tapi aku tidak mau menginterupsi binar bahagia di wajah sobat baruku ini.
“Yakin sekali, Dis. 100%.” Ia tersenyum sumringah. “Selama ada teddy bear ini, aku nggak akan sendirian. Soalnya ada kamu – kita berdua saling menjaga teddy bear ini. Karena itu, kita saling menemani ya?”
***

“Anjir. Dulu kok gue tolol banget ya.”
Aku hanya tertawa. Sebenarnya sulit untuk tertawa di saat seperti ini. Azra di hadapanku sudah bukan Azra yang sama seperti dulu, bukan Azra kecil 15 tahun yang lalu. Bukan Azra yang suka membawa teddy bear kemana-mana. Sekarang Azra di depanku sudah memakai kemeja putih dengan celana Ted Baker London versi terbaru. Wanginya sudah berbeda. Kalau dulu wangi Azra wangi minyak telon, kini minyak telonnya sudah di-upgrade menjadi Calvin Klein summer. Aku suka sekali baunya, seperti citrus segar dicampur mint. Dan dalam waktu dekat, aku akan mudah sekali kangen dengan wanginya itu.

“Seriusan, Dis. Dulu gue ngomong gitu sama lo?”
“Serius.”
“Sekarang gue ngerti, kenapa itu teddy bear masih gue suka bawa-bawa sampai sekarang,” Azra manggut-manggut dan bersandar pada kursi. “Jadi karena itu juga, lo ngajak gue keluar? Karena ini hari teddy bear sedunia?”
Kebetulan ini hari teddy bear sedunia. 9 September,” Ralatku cepat. “Makanya karena itu juga, lo gue ajak ke iBox, BlackBerry store, Periplus, dan Cold Stone Ice Cream Store. Semua kesukaan lo, treat on me. Dan masa lo masih berpikir kalau itu cuma gara-gara hari teddy bear sedunia?” Aku mendecak kesal. “Kalau iya, berarti lo memang benar-benar tolol.”
Wajah Azra clueless. Aku hanya ikut diam, mencoba mengerti bahwa sahabatku ini memang nggak pernah mudah mengerti akan maksud dan ketentuan yang berlaku (Eh, kok jadi kayak provider). Azra menggeleng kecil, “Dik, jangan bilang…”

“Jangan panggil gue ‘Dik’.” Ucapku tajam. “Nama gue Kendis. Bukan adik.”
“Ya ampun, Dis. Dari dulu kan lo udah gue anggap adik kesayangan gue. Masa nggak boleh?”
“Za, gue juga nggak pernah manggil lo pakai ‘Kak’ kan?”
“Emang. Makanya. Dasar nggak sopan, udah tau masih bau kencur. 3 tahun lebih muda juga.”
“Demi apa deh, Za. 3 tahun lebih muda, dan lo bilang gue bau kencur? Mending gue bau kencur atau kunyit dibandingin bau minyak telon!”

Azra hanya tertawa, tawanya menandakan ia senang telah berhasil membuatku naik darah. Aku mendengus kesal, membiarkan tawanya yang membahana itu larut dalam hening kembali.
“Dis…” Azra menghela nafas. “Ka… Oke, salah. Gue nggak pengin mengerti kenapa lo melakukan ini. Traktir makan, nonton film kartun yang biasanya lo sebel, menghabiskan satu hari dengan nungguin gue – which mean, this is really an unproductive day for you.”
Then why you don’t want to understand?
“Jangan bilang sama gue, ini karena besok gue harus pergi?”
Aku menggigit bibirku gemas. Ya, memang itu. Apa lagi? Dalam waktu 24 jam, Azra harus ke Toronto untuk memulai hidupnya sebagai mahasiswa. Dan siapa yang akan rela melepas kepergian Azra hanya dengan sebuah kata ‘Goodbye’ begitu saja? Even goodbye isn’t enough. Even farewell isn’t enough. Even…

“Lah, kok lo malah nangis sih, Dik?”
“Jangan panggil gue adik!” Aku mendesis kesal. Buru-buru aku menghapus titik-titik air yang ada di pipiku. “Cuma kelilipan kok.”
“Halah, lo kira gue kenal lo cuma seumur jagung apa, Dis. Kelilipan jidat lo. Yah kalau lo mau nangis ya nangis aja…” Azra menelan ludahnya. Tangannya mengetuk-ngetuk meja gelisah. “Engg…”
Aku mendongak, menatapnya ingin tahu. “Apa?”
“Apa apanya?”
“Apa maksud ‘eng’ lo tadi? Mau ngomong apa lo?”
“Eng itu, artinya gue lagi mikir…”
“Ya nenek-nenek juga lagi tau. Mikir apa?”
“Gue mikir…” Azra mendeham dalam seraya membenarkan posisi kemejanya. Gestur pemuda satu itu terlihat tidak tenang. “Kenapa ya rasanya berat banget?”
“Berat? Berat apanya? Berapa kilo?”
“Bukan dodol. Males banget ya lo, gue mau ngomong serius dibecandain. Ehm, maksud gue, kenapa ya rasanya berat banget buat ninggalin Jakarta?”
“Yah, biasalah itu, Za. Kapan sih nggak berat?”
“Kenapa rasanya berat banget buat ninggalin lo?”
“Yah, itu… What?

Azra mengatupkan bibirnya. Ia kini malah sibuk sok nunduk-nunduk, pura-pura tidak mendengarkan ucapanku.
Hey, I beg you pardon.
“Nggak ada siaran ulang,” Balasnya gemas.
Seriously? Please-lah, Za…”
“Kenapa rasanya berat banget buat ninggalin lo?” Tanyanya lagi. Aku kini mendengar dengan jelas, dengan sangat jernih – nada suara Azra yang kalem tapi terasa miris. Aku menelan ludahku, ternyata bukan hanya aku saja yang merasakan hal serupa. “I want to stay here. I don’t want to leave. It’s hard to leave when I know that I should left someone precious behind.”
I don’t call it easy, either, Za. I know it’s hard…
“Tapi apa kamu mikir begitu juga, Dis?”
“GUE JUGA SEDIH, TOLOL!” Ucapku penuh urgensi. Azra sial! Dia bicara seakan-akan dia bisa mengerti perasaanku, padahal apa?! Selama ini Azra yang tidak pernah bisa sadar, tidak bisa mengerti…

…Bagaimana aku harus memendam rasa sayangku padanya, bukan hanya dalam hubungan kakak-adik, bukan dengan kondisi yang seperti ini…

Kami berdua terdiam lama. Yang terdengar hanyalah nafasku dan nafas Azra yang sama-sama penuh emosi. Aku memejamkan mata. Things won’t be this difficult if I can say the words those left on my lips. Things won’t be this hurt if you shouldn’t go away, Za… I will miss you, too much. Missing somebody is hurt, definitely.

“Makasih.”
“Buat?”
“Buat sedih,” Ucap Azra singkat. Ia kembali tenggelam dalam hening sebelum menarik nafas panjang. Dan berat. “Buat sedih karena gue pergi… Gue bakal kangen sama lo, Dis.”
What am I missing actually? I don’t have any clue, Za…” Aku menatapnya dalam. “Bahkan sebelum lo pergi, gue sudah merasa kehilangan sesuatu.”
Hey, I may go away, but it isn’t forever, is it?

Aku mengenggam tangannya erat. Aku benar-benar tidak ingin melepaskan orang berharga yang selama 15 tahun ini terus menemaniku, yang menjadi pengganti hari-hariku. Bagaimana aku bisa membiarkan dia pergi? Nanti siapa yang akan mengajari aku fisika? Siapa yang akan menemaniku nonton Toy Story ataupun How To Train Your Dragon? Siapa yang akan rela hujan-hujanan menjemput aku di sekolah? Rasanya ini nggak adil.

I’ll come back. I promise you,” Azra mengangguk yakin. “I’ll come back to my home. I’ll back when you’re ready to be my own home, always.
I don’t understand, Za…” Aku menggeleng lemah. “When you’re gone, everything will change! Don’t you realize it?
“Gue nggak pernah pergi, Kendis. Selamanya gue akan selalu pulang. Nggak akan bedanya gue pergi ataupun pulang. Bukankah gue selalu janji, untuk nggak membiarkan lo sendirian?”
“Tapi…”
“Dis, listen to me. Percuma gue pergi ke ujung dunia, percuma gue harus terbang sama keluar angkasa, pada akhirnya gue juga akan kembali ke sini. Sama lo. Kita berdua. Kemana gue harus pergi – dan pulang – sampai harus mencari-cari rumah baru yang megah tapi kosong kalau gue sudah memiliki rumah sederhana yang memberikan gue seluruh hal yang gue butuhkan?”
Mataku mengerjap tidak percaya. Samar-samar, aku melihat sebuah senyum lembut dan dewasa muncul di bibir Azra. Senyumnya sedih, tapi mimiknya berusaha tegar.

“Kemana gue harus pulang kalau rumah gue ada di sini, Dis?”
Aku tersenyum. Semuanya jelas. Azra mungkin akan pergi, tapi ia akan kembali. Ia pasti kembali. Selama aku masih terus menjadi tempat dimana ia berpulang. Azra nggak akan kemana-mana. Ia akan baik-baik saja…
“Wherever you go, come back soon.”
***


Kayaknya suasana sedih nggak harus digambarkan dengan hujan dan badai petir. Buktinya, hari ini cuaca cerah dan sang fajar nggak berhenti menghilangkan niatnya untuk bersinar. Hanya saja, kali ini aku bisa tersenyum. Walaupun memang tersenyum sambil menangis, tapi siapa yang peduli? Aku masih menatapi boneka beruang di hadapanku gemas. Serta sebuah secarik kertas berisi pesan singkat yang diselipkan di dalam pelukan beruang itu.
I think I’ll come back soon this year. Kalau gue sudah pulang nanti, kita nonton Harry Potter ya? Kendis boleh sedih, tapi jangan nangis ya, Dik? Kakak sayang kamu.
You know, you have brought me to the place where I’m belong, where I come from.

Take care ya, Azra…”

This story is dedicated to my own Bimosaka and Emil, two figures those now worth far away, but always close and exist in my heart. You're such my never ending inspirations.



No comments:

Post a Comment