Mika mematikan TV kamarnya dengan perasaan kesal. Lagi-lagi dia harus menuruti keinginan guilty pleasure-nya: menonton film drama keluarga. Episode entah keberapa dari serial 'Parenthood' telah selesai disiarkan, dan lagi-lagi dia hanya bisa menunduk sambil mencerna makna dari episode-episode tersebut, hal yang selalu dia lakukan setiap kali dia selesai menonton film tentang kehidupan keluarga.
Mika iri dengan semua kehidupan keluarga yang dicerminkan sebagai keluarga yang sempurna dan selalu menopang satu sama lain. Menurutnya, semua cerminan keluarga bahagia adalah salah satu konsep bullshit yang tidak pernah dia percaya. Hal-hal kecil seperti makan malam bersama hingga hal besar seperti piknik keluarga besar tidak pernah terbersit di otaknya. Ya, dia memang mempunyai orangtua, namun entah kenapa orang-orang yang sangat penting di kehidupannya itu terlihat sangat jauh dari pelupuk matanya.
Dia lahir sebagai anak tunggal, dua puluh satu tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit besar di Osaka, Jepang. Ibunya saat itu tengah menyelesaikan pendidikan S2-nya di bidang politik, maka Mika yang masih berada di dalam kandungan harus ikut dibawa ke Jepang. Sementara itu, ayahnya tetap di Indonesia, memfokuskan dirinya pada bisnis tambangnya yang sedang berada di atas angin. Sekitar tiga tahun kemudian, Mika dibawa pulang oleh sang ibu, karena beliau sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya di sana. Tapi apa yang dia lihat? Ayahnya telah memperistri seorang wanita lain, dan saat itu tengah mengandung seorang anak perempuan. Itu adalah saat terakhir Mika melihat ayahnya, karena orangtuanya langsung bercerai beberapa saat kemudian dan ibunya memenangkan hak asuh Mika.
Hubungan ayahnya dengan ibunya semakin renggang. Terakhir kali Mika melihat ayahnya, kira-kira saat ulang tahunnya yang ke enam, dimana ayahnya datang secara diam-diam dan memberikannya hadiah berupa jam tangan Mickey Mouse. Itu adalah turning point bagi Mika, sebuah peristiwa yang membutakannya akan kehangatan sebuah keluarga sampai sekarang.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, Mika semakin tumbuh besar dan berkembang menjadi seorang remaja skeptikal yang tidak mempunyai terlalu banyak teman. Beranjak remaja, hubungannya yang semula akrab dengan sang ibu, menjadi semakin menjauh. Mika jarang bertemu ibunya, demikian pula sang ibu tidak berusaha sama sekali untuk memperhatikan Mika, padahal mereka masih tinggal dalam satu atap. Luka itu semakin menyayat hati Mika, membuat hatinya semakin membatu untuk mempercayai adanya kehangatan keluarga. Luka itu masih saja terpatri dalam hatinya sampai sekarang, dan selalu sakit, tidak pernah kering, tidak pernah sembuh.
Sekarang Mika sudah berusia dua puluh satu tahun, dan komunikasi antara dia dan ibunya tidak berubah seperti kemarin. Mika pernah berusaha membangun komunikasi dengan ibunya, namun sepertinya itu usaha sia-sia. Salah satu usahanya adalah percakapan saat makan pagi, dimana Mika selalu berusaha bangun pagi sekali agar bisa menemani ibunya makan sebelum ke kantor.
"Hari ini mau ngapain aja, Bu?"
"Ke kantor."
"Ooooh... Gitu. Nanti makan siang bareng, yuk? Ada restoran Jepang enak di Senayan - "
"Ibu nggak bisa, Mik. Ada rapat lunch sama klien nanti siang. Mungkin nanti malem kita bisa makan sama-sama."
"Beneran ya Bu?"
"Iya, beneran."
Sampai malam hari, ibunya tidak menepati janjinya itu. Meninggalkan Mika termenung sendirian di meja makan dengan spaghetti Bolognese yang telah dia masak sendiri pada sore harinya. Spaghetti Bolognese, makanan kesukaan Ibunya - terakhir kali dia berbicara tentang makanan favoritnya. Begitu terus setiap hari, membuat lubang di hati Mika semakin besar dan luka semakin perih.
Tak sadar Mika menangis dalam lamunannya, butir-butir air mata yang telah lama dia curahkan setiap kali dia memikirkan kehidupan keluarganya. Rumah untuknya bukan tempat yang hangat, hanya sekedar tempat untuk melindungi diri dari hujan dan panas. Tidak ada kehangatan disitu, tidak ada komunikasi yang pantas disitu. Hanya ruang-ruang kosong yang menunggu untuk diisi, sofa-sofa empuk yang menunggu untuk diduduki.
Saat Mika membuka matanya sehabis menangis, dia tertegun melihat apa yang ada di lantai tempat dia bersimpuh sejak tadi. Sebuah jam tangan Mickey Mouse pemberian ayahnya tergeletak disitu. Mika sendiri tidak sadar akan keberadaan jam tangan mungil itu sejak tadi. Jam tangan yang sudah tidak muat lagi di tangannya, jam tangan yang merupakan hadiah terakhir dari ayahnya. Dan tiba-tiba jam tangan itu membawa pikirannya melompat melewati ruang dan waktu ke masa lalu, masa kecil Mika. Dimana semuanya tampak begitu sempurna dan rapi.
Mika bisa melihat dirinya terjatuh di pekarangan depan rumah akibat terantuk batu. Dia menangis melihat luka yang lumayan dalam di lututnya. Yang dia bisa lakukan hanya menangis, menunggu bantuan. Saat itu kira-kira Mika berusia tujuh tahun. Saat ia menangis, tiba-tiba sebuah tangan hangat merengkuh lengannya lalu menggendongnya, disertai ucapan hangat, "Kamu kenapa, Nak?" Itu adalah suara ibunya.
Beberapa saat kemudian, Mika melihat Mika kecil sedang diobati lukanya dengan obat merah, oleh ibunya sendiri. Sang ibu meneteskan beberapa tetes obat merah ke luka Mika, membuatnya meringis sedikit. Kemudian dia membalut luka Mika dengan plester lalu mengecupnya pelan. Kemudian dia berkata, "Ibu nggak bakal ngebiarin Mika lebih sakit dari pada ini. Kalo Mika sakit, panggil Ibu, ya?"
Kemudian Mika merasa terseret ke lubang waktu yang membawanya ke waktu saat dia berusia lebih kecil lagi, kira-kira usianya sekitar enam tahun. Ya, saat ulang tahunnya. Dia bisa melihat Mika kecil duduk sendiri di tempat tidur, beberapa jam sebelum pesta ulang tahunnya dimulai. Pintu kamarnya diketuk dari luar, lalu seseorang yang tampak begitu familiar masuk ke kamar Mika. Ayahnya.
"Ayah," Mika tersenyum sambil memeluk ayahnya. Ayahnya hanya bisa tersenyum pahit, kemudian melepaskan pelukan Mika. Ada sedikit rasa buru-buru dari cara dia melepaskan pelukan anaknya.
"Selamat ulang tahun ya Mika sayang. Semoga Mika panjang umur, pinter-pinter di sekolah, jadi anak baik, denger-dengeran sama kata-kata Ibu..." Ayahnya mengecup dahi Mika. Kemudian dia merogoh kantong kemejanya lalu menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Mika seraya berkata, "Ini hadiah buat kamu, Nak. Semoga kalo kamu lihat ini kamu bisa inget sama Ayah."
Mika kecil membuka kotak itu, lalu tersenyum lebar melihat jam tangan Mickey Mouse berwarna merah - tokoh kartun favoritnya. Begitu dia mau kembali memeluk ayahnya sambil mengucapkan terima kasih, beliau sudah bergegas menuju pintu kamar Mika kemudian hal berikutnya yang Mika tahu, dia tidak pernah bertemu ayahnya lagi.
Satu detik kemudian, Mika merasa dirinya kembali menjejak ke tanah. Dia membuka matanya, lalu melihat jam tangan mungil itu tetap ada di genggamannya. Dia tersenyum melihat jam tangan kecil itu. Mungkin semuanya akan membaik, pikirnya. Dia hanya perlu menunggu dan bersabar lebih lama.
Jam tangan kecil Mickey Mouse mengajarkannya satu hal: keluarga bahagia itu selalu ada.
"Family is just accident... They don't mean to get on your nerves. They don't even mean to be family, they just are." -Marsha Norman
Forever yours: Judy Wilhelmina
No comments:
Post a Comment