Tuesday, June 22, 2010

"Boleh menangis, tapi jangan lama-lama ya..."


Dunia Ara serasa runtuh.
Sudah 6 bulan sejak kematian Ibu. Dengan dalih ingin mendinginkan kepala, ia pamit pada editor dan rekan penerbit untuk pergi ke Bali (setidaknya itu yang mereka tahu). Tapi lihatlah kini, sudah 6 bulan berlalu dan Ara masih saja Ara 6 bulan yang lalu: kusam, lelah, dengan gaya hidup layaknya zombie. Kotak-kotak bekas makanan delivery bertebaran di meja kopi depan TV. Ara mengerling malas pada tumpukan kotak itu, lalu memutuskan untuk menikmati sore di teras. Gadis itu membuka pintu teras, tercekat melihat sebuah kursi malas di sebelah kanan. Kursi yang dulu sering diduduki Ibu. Airmata Ara menetes lagi, ia jatuh terduduk. Entah berapa jam ia bertahan dengan posisi itu, menangis habis-habisan seakan besok kiamat.

Dunia berubah gelap di mata Ara.

***

"Kamu boleh nangis, Ara, tapi jangan lama-lama ya..."
sebuah bisik lembut mengalun di telinga Ara. Gadis itu membuka mata dan melihat segalanya dengan jelas; matahari sore yang bersinar hangat, sepeda merahnya, serta... Ibu.
"Kenapa?", tanya Ara dengan suara bergetar, airmata mengalir deras di pipinya.
Ibu menyenderkan sepedanya di pohon terdekat sebelum ia menghampiri putri semata wayangnya tersebut.
"Karena menangis itu perlu, Ara. Kamu jatuh dan berdarah; itu pasti terasa sakit sekali. Menangis terkadang meringankan rasa sakit itu."
Senyum Ibu mengembang, lalu wanita itu mengambil tempat; duduk disamping Ara sambil memeluk kedua lututnya. Persis seperti pose Ara ketika mendengarkan dongeng pengantar tidur yang dibacakan Ibu setiap malam.
"Lalu kenapa aku harus berhenti? Kalau aku terus menangis kan, rasa sakit itu pada akhirnya akan hilang!", seru Ara setengah protes.
Ibu tertawa, tangannya membelai kepala Ara penuh sayang.
"Rasa sakit itu tidak akan pernah hilang, Ara. Menangis meringankan rasa sakit itu, bukan menghilangkannya. Kamu harus berhenti karena dunia tidak akan peduli pada rasa sakitmu. Hidup akan terus berjalan tanpa peduli kamu sakit atau tidak. Kalau kamu terus menangis, kamu akan tertinggal oleh dunia. Tertinggal oleh hidup. Dan pada akhirnya, di penghujung hari... kamu akan menyesal karena kamu menghabiskan waktumu untuk menangisi rasa sakit, bukan malah berhenti dan mencari obat untuk rasa sakitmu."
Ibu mengecup pucuk kepalanya, lalu berjalan menuju sebuah pohon rindang yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Sosok itu berdiri tegak disamping sepeda Ara, memegangi setangnya sambil tersenyum lembut.
Ibu tidak mengatakan apa-apa, tapi Ara tahu betul makna senyuman Ibu. Ara bangkit, menghapus airmatanya, lalu kembali duduk di sadel sepeda.
"Siap?", tanya Ibu ceria. Ara mengangguk, lalu mulai menggenjot sepedanya dengan sekuat tenaga, berusaha bergerak maju sambil menjaga keseimbangannya. Suara Ibu terdengar begitu jauh, namun gaungnya masih terdengar jelas di telinga Ara.

"Kamu boleh nangis, Ara, tapi jangan lama-lama ya..."

***

Sepasang mata Ara mengerjap. Langit bertaburan bintang terhampar luas di atasnya. Sejenak gadis itu terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
Mimpi? Tapi kok rasanya begitu nyata...
Ara meraba dahinya, terkaget-kaget sendiri menyadari ada sesuatu yang menempel disana. Perlahan ia mencabut benda itu, lagi-lagi terkejut.
Benda itu adalah sebuah band-aid berwarna merah dengan motif ceria khas anak-anak.
Band-aid yang disematkan Ibu saat Ara terhempas dari sepedanya dan dengan suksesnya nyemplung ke got pada sore hari itu; sore hari seminggu setelah Ara berulang-tahun, sore dimana sepeda merah itu baru berusia 2 hari.

Sore dimana Ibu menanamkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang baru saja disadarinya hari ini.
***

Terdengar 3 ketukan di pintu rumahnya. Ara mengintip dari jendela, tampak sesosok cowok dengan sebuah kado yang cukup besar menanti dengan sabar di depan pintu.
"Alex?"
Sepasang mata bulat Ara menatap sosok itu, heran bercampur terharu.
Alex nyengir lebar ketika dilihatnya Ara membukakan pintu untuknya, tampangnya awut-awutan. Sesuatu yang tidak pernah Alex lihat selama 6 tahun mereka bersahabat dan selama 2 bulan terakhir sejak mereka resmi berpacaran.
"Pencerahan ya, mau membukakan pintu buatku?", goda Alex santai. Ini kali kelimabelas ia menghampiri Ara selama 6 bulan terakhir, mencoba menghibur Ara. Empatbelas kali sebelumnya berakhir dengan penolakan, bahkan ketika Alex bersikeras menginap di garasi rumah Ara.
Ara hanya tersenyum, membawa kado itu masuk.

"Ra?"
"Ya?"
"Kamu boleh menangis sepuasmu, Ra... tapi jangan lama-lama ya," ucap Alex lembut, mengecup sebelah pipi Ara.
Ara tersentak mendengarnya.
"I know, someone just told me that."

Ditulis oleh: Azrina Perwitasari

No comments:

Post a Comment