Jarum jam kembali melangkah dalam jarak beberapa milimeter. Aku masih berbaring nyaman ditemani balutan selimut dan tumpuan bantal. Semuanya sudah gelap, semuanya sudah terlelap, tapi mata ini masih menatapi ponsel yang tergeletak tanpa distraksi di sampingku.
Ada yang mengatakan bahwa menaruh ponsel tepat di samping kepala akan menimbulkan kanker otak ataupun penyakit lainnya yang memiliki judul “Merusak Kerja Syaraf” – entah aku pernah membacanya di majalah kesehatan apa. Jujur saja, aku bukan korban media – aku lebih suka mencari tau kebenaran dengan mata kepalaku sendiri. Jurnalis bisa berkata A, reporter berkata B, yang punya berita berkata C, ibu-ibu tetangga tukang gosip berkata D, semuanya berbeda. Kesimpulannya, aku tidak akan percaya tentang artikel “Merusak Kerja Syaraf” itu dengan mudah. Asalkan Dongeng tidak berkata hal yang sama. Dia cerewet – atau ceria, begitulah ia lebih suka untuk dideskripsikan. Dongeng punya 1001 cara untuk berdalih dan beralasan ketika berbuat salah, Dongeng menebarkan 1001 rayuan dan ajakan agar seulas senyum kembali muncul ke permukaan, Dongeng juga memiliki 1001 cerita yang tidak pernah habis. Terang saja namanya Dongeng, dia bertugas untuk bercerita. Dia pencerita.
Kita ambil contoh, kemarin. Dongeng bercerita bahwa ia punya mimpi untuk menjadi peramu berbagai jenis penemuan baru. Meracik cairan hijau kebiruan yang punya dampak besar bagi dunia – bisa membuat perang Irak tergagalkan, membangkitkan inflasi di Yunani, serta membuat kutub utara tidak tenggelam. Aku hanya tertawa mendengarnya. Dongeng memang selalu punya pikiran-pikiran di luar garis kewarasan manusia biasa. Dia berdalih bahwa ia hanya ingin berangan-angan, tapi Dongeng tetaplah manusia. Bagiku, dia bukan manusia. Dia seperti peramu yang membuat jampi-jampi mimpiku. Kalau Dongeng menceritakan tentang sesuatu yang menakutkan, mimpiku pasti akan jadi seram. Kalau Dongeng menceritakan tentang buih-buih masa kecil, aku pasti bermimpi tentang masa-masa dimana congklak menggantikan blackberry dan lompat tali lebih menyenangkan dibandingkan MacBook. Dongeng yang membuat aku bermimpi. Dia membuatku harus melompat dari hawa gelap berstempel realita.
Si ponsel yang pendiam itu akhirnya asyik berjoget. Sedetik sebelum meraihnya, aku hanya mengambil nafas. Pukul 10, pasti orang yang sama. Aku mengangkatnya.
“Halo?”
“Malam 1002.”
Aku kembali tersenyum. Pernahkah kalian mendengar seseorang mendongeng? Dalam bayangan, suaranya pasti terdengar empuk seperti penyiar radio. Membuat kita terbuai. Tapi pendongeng terbaik yang aku kenal, sangat berbeda! Dongeng selalu mencetuskan nada dingin yang sama sekali tidak toleran.
“Malam 1002.” Aku mengulangi. “Arabian Nights?”
Ada yang mengatakan bahwa menaruh ponsel tepat di samping kepala akan menimbulkan kanker otak ataupun penyakit lainnya yang memiliki judul “Merusak Kerja Syaraf” – entah aku pernah membacanya di majalah kesehatan apa. Jujur saja, aku bukan korban media – aku lebih suka mencari tau kebenaran dengan mata kepalaku sendiri. Jurnalis bisa berkata A, reporter berkata B, yang punya berita berkata C, ibu-ibu tetangga tukang gosip berkata D, semuanya berbeda. Kesimpulannya, aku tidak akan percaya tentang artikel “Merusak Kerja Syaraf” itu dengan mudah. Asalkan Dongeng tidak berkata hal yang sama. Dia cerewet – atau ceria, begitulah ia lebih suka untuk dideskripsikan. Dongeng punya 1001 cara untuk berdalih dan beralasan ketika berbuat salah, Dongeng menebarkan 1001 rayuan dan ajakan agar seulas senyum kembali muncul ke permukaan, Dongeng juga memiliki 1001 cerita yang tidak pernah habis. Terang saja namanya Dongeng, dia bertugas untuk bercerita. Dia pencerita.
Kita ambil contoh, kemarin. Dongeng bercerita bahwa ia punya mimpi untuk menjadi peramu berbagai jenis penemuan baru. Meracik cairan hijau kebiruan yang punya dampak besar bagi dunia – bisa membuat perang Irak tergagalkan, membangkitkan inflasi di Yunani, serta membuat kutub utara tidak tenggelam. Aku hanya tertawa mendengarnya. Dongeng memang selalu punya pikiran-pikiran di luar garis kewarasan manusia biasa. Dia berdalih bahwa ia hanya ingin berangan-angan, tapi Dongeng tetaplah manusia. Bagiku, dia bukan manusia. Dia seperti peramu yang membuat jampi-jampi mimpiku. Kalau Dongeng menceritakan tentang sesuatu yang menakutkan, mimpiku pasti akan jadi seram. Kalau Dongeng menceritakan tentang buih-buih masa kecil, aku pasti bermimpi tentang masa-masa dimana congklak menggantikan blackberry dan lompat tali lebih menyenangkan dibandingkan MacBook. Dongeng yang membuat aku bermimpi. Dia membuatku harus melompat dari hawa gelap berstempel realita.
Si ponsel yang pendiam itu akhirnya asyik berjoget. Sedetik sebelum meraihnya, aku hanya mengambil nafas. Pukul 10, pasti orang yang sama. Aku mengangkatnya.
“Halo?”
“Malam 1002.”
Aku kembali tersenyum. Pernahkah kalian mendengar seseorang mendongeng? Dalam bayangan, suaranya pasti terdengar empuk seperti penyiar radio. Membuat kita terbuai. Tapi pendongeng terbaik yang aku kenal, sangat berbeda! Dongeng selalu mencetuskan nada dingin yang sama sekali tidak toleran.
“Malam 1002.” Aku mengulangi. “Arabian Nights?”
“Kamu nggak tidur?”
Aku mengernyit. Tidak biasanya ia bertanya seperti ini.
“Memang sudah waktunya?”
Terdengar desahan. “Jujur ya, aku sudah ngantuk. Dan tidak ada inspirasi.”
“Silakan, tidur duluan.”
“Kamu saja.”
“Kamu aja deh.”
“Kamu.”
“Sumpah, kita kayak anak ABG. Berapa sih umur kita?” Aku tergelak.
“20, dan memang ABG.”
“Apa?”
“Aku Belum Gocap.”
“Jayus!” Semburku dalam tawa. “Apa yang harus kita ceritakan?”
“Aku menyesal punya nama Dongeng.” Gumamnya. “Setelah 1001 cerita yang aku ceritakan, aku tidak punya apa-apa lagi.”
“Hmm… ada yang belum pernah kamu ceritakan? Kamu cerita tentang sejarah penjuru dunia, politik, ekonomi, kampus, pendidikan, kesehatan, masalah sosial, semuanya lebur dalam sajian fiksi manis. Tapi aku belum pernah dengar yang termanis.”
Ia terkekeh. “Memang aku harus cerita tentang semut yang rajin mengerubungi gula?”
“Cuma ada satu dongeng yang belum pernah aku dengar.”
“Apa?”
“Tentang Dongeng.”
“Silakan, tidur duluan.”
“Kamu saja.”
“Kamu aja deh.”
“Kamu.”
“Sumpah, kita kayak anak ABG. Berapa sih umur kita?” Aku tergelak.
“20, dan memang ABG.”
“Apa?”
“Aku Belum Gocap.”
“Jayus!” Semburku dalam tawa. “Apa yang harus kita ceritakan?”
“Aku menyesal punya nama Dongeng.” Gumamnya. “Setelah 1001 cerita yang aku ceritakan, aku tidak punya apa-apa lagi.”
“Hmm… ada yang belum pernah kamu ceritakan? Kamu cerita tentang sejarah penjuru dunia, politik, ekonomi, kampus, pendidikan, kesehatan, masalah sosial, semuanya lebur dalam sajian fiksi manis. Tapi aku belum pernah dengar yang termanis.”
Ia terkekeh. “Memang aku harus cerita tentang semut yang rajin mengerubungi gula?”
“Cuma ada satu dongeng yang belum pernah aku dengar.”
“Apa?”
“Tentang Dongeng.”
Sejenak hening menguasai pembicaraan. Aku sempat berpikir bahwa telepon sudah terputus. Mengingat hari sudah larut, siapa tau kerja satelit provider juga ikut memejamkan mata. “… Halo?”
“Tentang… Dongeng?”
“Ya.”
“Dongeng dengan huruf besar pada ‘D’?” Ia mendesah. “… Aku?”
“Ya.”
“Apa yang mau kamu dengar?”
“Apa ya?” Kini aku ikut bingung. “Bagaimana kalau kamu… menceritakan tentang apa yang kamu dengar sebelum tidur?”
“Ha-ha. Lucu sekali. Yang aku dengar hanyalah seorang bawel di ujung sana yang merengek minta didongengi. Padahal orangnya benci sekali kisah-kisah fiksi.”
Tawaku pecah mendengar sindirannya. “Ayo, ceritakan.”
“Cerita ke 1002.” Ia memulai. “Tentang Dongeng. Dongeng menghabiskan waktunya seharian untuk membaca beberapa jenis buku. Dia sering dikata-katai sebagai indeks perpustakaan dan pemimpi kelas kakap. Setidaknya, siapa yang ingin diceritakan di zaman teknologi seperti ini? Legenda sudah tidak berlaku, fiksi hanya dijadikan selingan, sementara dongeng tradisional tak lagi pujaan anak-anak kecil.”
“Aku masih mau mendengarkan.” Potongku.
“Mungkin kamu satu di antara seribu.” Dongeng menggumam. “Tapi Dongeng punya satu cerita yang selalu dirahasiakan. Dongeng yang tidak bisa dianggap dongeng biasa. Jadi ceritanya seperti ini, ada seorang pemuda yang dianggap tak waras. Separuh hidupnya hanya dihabiskan dengan mengobrol bersama buku, menceritakan tentang keluh-kesahnya. Satu hari ia bertemu dengan seorang pembenci fiksi.”
Aku hanya terkekeh. “Apakah itu aku?” Tubuhku segera mengambil ancang-ancang bersantai dan mendengarkan kisah 1002 milik Dongeng. “Terus?”
“Dalam gelap, pemuda itu membicarakan tentang keberadaan thumbelina maupun peri-peri pada si pembenci fiksi. Gadis realistis mau saja mendengarnya, tidak pernah membenci dinamika mimpi si pemuda.”
“Dongeng, kalau itu aku sudah hafal ceritanya. Setiap malam mereka membuang pulsa dan membuat provider untung karena teleponan selama satu jam. Pernah sampai pukul satu dini hari ketika si pemuda bercerita tentang parodi para koruptor.”
Terdengar hening yang dihiasi suara angin. Ia menarik nafas. “Andai saja si realistis tau kelanjutan dongengnya.”
Aku mengernyit, tidak menangkap missing link dalam kalimatnya. “Apa?”
“Pemuda itu sebenarnya membuat cerita hanya karena ingin mendengar tawa si gadis.” Ucapnya serius. Suara Dongeng sangat dalam dan tegas, membuatku jadi tertegun sendiri. “Aku hanya ingin membuatnya bisa tidur dengan tenang, terlelap dan ‘menghilang’ sementara dari realita yang lebih sering membuatnya terpuruk dan menangis dibandingkan semakin kuat.”
“Aku…” Bibirku hanya bisa mengucapkan satu kata. Satu kata yang tidak bisa mendeskripsikan. Dalam diam, aku hanya menggeleng tidak habis pikir. Maksud Dongeng apa?
“Dongeng hanya kiasan indah untuk satu lantunan perasaan, Mel.” Ucap Dongeng lembut. “Membuat kehidupan kamu jadi lebih indah, aku hanya ingin menjadi sebuah keindahan dalam hidup kamu.”
“Dongeng…” Aku ikut memelankan suara. “… Aku sudah menjadi milik orang lain. Kalau Aaron tau, dia akan…”
“Aku tau.” Potong Dongeng. Ia hanya berucap lirih. “Karenanya, aku sudah bilang bahwa ini hanya dongeng, Mel. Aku tidak pernah bisa membuatnya menjadi nyata. Aku pendongeng, semua yang keluar dari ucapanku hanyalah cerita. Termasuk pengakuan ini.”
Aku terkesiap. Belum pernah ada orang yang bisa melontarkan kata-kata sesedih itu padaku.
“… Walaupun rasa ini nyata. Pemuda itu mencintai gadis realistis. Tapi semuanya hanya dongeng.” Terdengar suara lengosan yang berat. “… Lupakan saja ceritaku malam ini ya, Mel? Selamat tidur. Mimpi indah ya.”
Telepon terputus. Aku sudah mencoba memejamkan mataku rapat-rapat, tapi yang muncul hanyalah wajah Dongeng. Dalam gelap, ini pertama kalinya aku berharap banyak akan sebuah kisah fiksi. Berharap The Odyssey maupun Giant Causeaway bukanlah legenda.
Aku berharap dongeng ke-1002 tadi bukanlah dongeng.
“Dongeng dengan huruf besar pada ‘D’?” Ia mendesah. “… Aku?”
“Ya.”
“Apa yang mau kamu dengar?”
“Apa ya?” Kini aku ikut bingung. “Bagaimana kalau kamu… menceritakan tentang apa yang kamu dengar sebelum tidur?”
“Ha-ha. Lucu sekali. Yang aku dengar hanyalah seorang bawel di ujung sana yang merengek minta didongengi. Padahal orangnya benci sekali kisah-kisah fiksi.”
Tawaku pecah mendengar sindirannya. “Ayo, ceritakan.”
“Cerita ke 1002.” Ia memulai. “Tentang Dongeng. Dongeng menghabiskan waktunya seharian untuk membaca beberapa jenis buku. Dia sering dikata-katai sebagai indeks perpustakaan dan pemimpi kelas kakap. Setidaknya, siapa yang ingin diceritakan di zaman teknologi seperti ini? Legenda sudah tidak berlaku, fiksi hanya dijadikan selingan, sementara dongeng tradisional tak lagi pujaan anak-anak kecil.”
“Aku masih mau mendengarkan.” Potongku.
“Mungkin kamu satu di antara seribu.” Dongeng menggumam. “Tapi Dongeng punya satu cerita yang selalu dirahasiakan. Dongeng yang tidak bisa dianggap dongeng biasa. Jadi ceritanya seperti ini, ada seorang pemuda yang dianggap tak waras. Separuh hidupnya hanya dihabiskan dengan mengobrol bersama buku, menceritakan tentang keluh-kesahnya. Satu hari ia bertemu dengan seorang pembenci fiksi.”
Aku hanya terkekeh. “Apakah itu aku?” Tubuhku segera mengambil ancang-ancang bersantai dan mendengarkan kisah 1002 milik Dongeng. “Terus?”
“Dalam gelap, pemuda itu membicarakan tentang keberadaan thumbelina maupun peri-peri pada si pembenci fiksi. Gadis realistis mau saja mendengarnya, tidak pernah membenci dinamika mimpi si pemuda.”
“Dongeng, kalau itu aku sudah hafal ceritanya. Setiap malam mereka membuang pulsa dan membuat provider untung karena teleponan selama satu jam. Pernah sampai pukul satu dini hari ketika si pemuda bercerita tentang parodi para koruptor.”
Terdengar hening yang dihiasi suara angin. Ia menarik nafas. “Andai saja si realistis tau kelanjutan dongengnya.”
Aku mengernyit, tidak menangkap missing link dalam kalimatnya. “Apa?”
“Pemuda itu sebenarnya membuat cerita hanya karena ingin mendengar tawa si gadis.” Ucapnya serius. Suara Dongeng sangat dalam dan tegas, membuatku jadi tertegun sendiri. “Aku hanya ingin membuatnya bisa tidur dengan tenang, terlelap dan ‘menghilang’ sementara dari realita yang lebih sering membuatnya terpuruk dan menangis dibandingkan semakin kuat.”
“Aku…” Bibirku hanya bisa mengucapkan satu kata. Satu kata yang tidak bisa mendeskripsikan. Dalam diam, aku hanya menggeleng tidak habis pikir. Maksud Dongeng apa?
“Dongeng hanya kiasan indah untuk satu lantunan perasaan, Mel.” Ucap Dongeng lembut. “Membuat kehidupan kamu jadi lebih indah, aku hanya ingin menjadi sebuah keindahan dalam hidup kamu.”
“Dongeng…” Aku ikut memelankan suara. “… Aku sudah menjadi milik orang lain. Kalau Aaron tau, dia akan…”
“Aku tau.” Potong Dongeng. Ia hanya berucap lirih. “Karenanya, aku sudah bilang bahwa ini hanya dongeng, Mel. Aku tidak pernah bisa membuatnya menjadi nyata. Aku pendongeng, semua yang keluar dari ucapanku hanyalah cerita. Termasuk pengakuan ini.”
Aku terkesiap. Belum pernah ada orang yang bisa melontarkan kata-kata sesedih itu padaku.
“… Walaupun rasa ini nyata. Pemuda itu mencintai gadis realistis. Tapi semuanya hanya dongeng.” Terdengar suara lengosan yang berat. “… Lupakan saja ceritaku malam ini ya, Mel? Selamat tidur. Mimpi indah ya.”
Telepon terputus. Aku sudah mencoba memejamkan mataku rapat-rapat, tapi yang muncul hanyalah wajah Dongeng. Dalam gelap, ini pertama kalinya aku berharap banyak akan sebuah kisah fiksi. Berharap The Odyssey maupun Giant Causeaway bukanlah legenda.
Aku berharap dongeng ke-1002 tadi bukanlah dongeng.
***
Oleh: Kezia Gabriella Agusta
No comments:
Post a Comment