Tuesday, November 16, 2010

Tukang Pos Rasa Cinta

“Kalo jatuh cinta bisa simpel, dunia ini pasti udah mau ke akhirat.”  Kara duduk di depan Asa dengan tampang sunut. Gadis itu setengah membanting handphonenya di atas meja, meletakkan gelas plastik berisi orange juice dan menyodorkan botol air mineral pada Asa. Saat itu jam istirahat di SMA Bangsa 2, dan Kara baru kembali dari kantin, membeli minuman dingin untuk mencegahnya dan Asa dehidrasi di siang yang terik ini. Heran, Jakarta makin lama serasa di gurun pasir.

“Perumpamaan kamu kok susah dimengerti yah?” tanya Asa tanpa menoleh dari buku yang sedang dibacanya.

“Dimana-mana ribet Sa, kalo fall in love sama seseorang. “ kata Kara. “Kadang seneng, kadang sedih. Hari ini ge-er, besok berasa kayak orang bego.”

Asa mengangkat wajahnya mendengar ucapan Kara dan menatap wajah bete sahabatnya. Tidak biasanya si cewek bawel itu hilang mood dalam urusan cinta-cintaan. Biasanya tiada hari tanpa kicauan riang Kara tentang gebetan-of-the-year-nya, Noel.

“Udah cape ngejar Noel?” tanya Asa cuek.

Kara mengerutkan alisnya, menempelkan dagunya di meja dan menatap lurus ke depan. Sekilas bayangan sosok Noel yang sudah setahun ini dikejarnya melintas di benaknya. Sosok yang hangat dengan wajah yang riang, selalu dikelilingi teman-temannya dan selalu tersenyum lembut pada Kara setiap kali pandangan mereka bertemu di kantin, atau saat Kara berjalan menuju lab Fisika di depan kelas Noel, atau di lapangan saat kelas Noel melewati jam olahraganya, atau di banyak kesempatan lainnya saat mereka sengaja-tapi-nggak sengaja (100% strategi Kara) bertemu. Sosok kakak kelas tiga yang tinggi, bergaris wajah oriental yang khas dan tampan dengan kulit gelap karena hobinya berolahraga di ruangan terbuka, serta senyumnya yang lembut. Kara memejamkan matanya.

“Aku nggak cape, Sa.”

Selagi Kara melamun dengan imajinya tentang Noel, Asa sudah kembali asyik membaca buku Lost Symbol nya Dan Brown. Untuk sesaat, Kara menyesal juga minggu lalu membelikan si kutu buku ini hadiah iseng-iseng. Lihat. Sekarang cowok itu sudah tidak memperhatikan keadaan dunia sekitarnya termasuk kesejahteraan hati sahabatnya sendiri.

“Emang kenapa sih Ra? Tiba-tiba kok bete? Kamu bukannya biasanya nongkrongin Noel di bawah?” Asa akhirnya menyadari tatapan mengancam Kara, lalu mengalihkan pandangannya dari buku demi keselamatan dirinya.

“Tadi aku liat dia jalan sama temen sekelasnya di kantin.”

Asa membuka tutup botol air mineralnya dan menenggaknya sedikit, kemudian memasang tampang menunggu penjelasan lebih lanjut dari Kara. “Terus?” tanya Asa. Kara tampak enggan memberi penjelasan lebih lanjut dan setengah pikiran Asa masih di Lost Symbol, jadi cowok itu kurang menangkap arah pembicaraannya kini dengan Kara.

“Terus ya udah.”

“Terus kamu bete?”

“Iya terus aku bete.”

“Karena?”

“Aaah! Udahlah, Sa. Percuma, ngomong sama kamu. Kamunya juga nggak ngerti!” Kara bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kelas Asa.

“Hei, Ra!” Asa menyambar handphone Kara yang tertinggal di atas meja dan setengah berlari menyusul cewek itu. Kara sudah hampir sampai di depan kelasnya ketika Asa berteriak, “Kara Sugondo, handphone kamu resmi milik aku sekarang!”

“Bodoo! Ambil aja tuh handphone, paling ntar sore kamu disamperin Kevin.”  balas Kara tanpa menoleh ke arah Asa. Omong-omong, Kevin itu kakak Kara dan sebenarnya tidak ada gunanya juga Kara mengancam Asa dengan nama kakaknya. Wong kakaknya itu teman main Asa. Anak-anak di sepanjang lorong lantai dua SMA Bangsa hanya bisa tertawa melihat Asa dan Kara. Bagi mereka ini kejadian hari-hari. Kalau ada satu hari saja dimana Asa dan Kara anteng, tanpa ribut-ribut, itu sudah peringatan akan terjadi sesuatu yang tidak baik di sekolah mereka. Asa mengacak-acak rambutnya. Setengah hati rasanya geli melihat tingkah Kara, setengahnya lagi kesal kenapa juga jadi dirinya yang diomel-omeli oleh si bawel satu itu? Saat bel masuk berbunyi, Asa akhirnya memasukkan handphone Kara ke dalam saku celananya dan berjalan memasuki kelas.

 

***

Lagu Get Low milik DJ Ezra sudah berbunyi kurang lebih empat kali dan Asa makin membenamkan bantal ke kepalanya. Ketika lagu itu berbunyi lagi untuk ketujuh kalinya, Asa akhirnya menyerah dan tanpa membuka mata, tangannya mencari-cari benda apapun itu yang mengeluarkan suara berisik di dekat telinganya. Untuk sesaat, Asa mengutuki bebunyian itu. Namun kemudian ia menyadari bahwa itu bukan ringtone handphonenya. Asa (dengan amat kesal) akhirnya duduk di tempat tidurnya dan saat melihat benda persegi panjang berwarna putih dengan layar berkedip-kedip di meja di samping tempat tidurnya, dia baru ingat kalau handphone Kara masih dipegangnya dan sekarang benda itu bernyanyi-nyanyi dengan luar biasa berisiknya. Asa meraih handphone itu dan membaca nama ‘KeBrot’ berkedip-kedip di layar.

Asa ngakak. KebBrot? Kevin Gembrot? Keterlaluan Kara. Cowok itu kemudian menekan tombol hijau di HP Kara dan masih sambil tertawa, ia menempelkan benda itu di telinganya.

“Asa?”

Tawa Asa berhenti seketika saat mendengar suara Kara di ujung telepon.

“Ra? Itu kamu bukan sih?”

“Sa, aku ke rumah kamu ya?”

Asa terdiam sejenak. Suara Kara terdengar seperti habis menangis. “Iya Ra, ini aku turun ya.”

“Oke”.

Dan telepon ditutup. Asa mengambil kacamata dari atas meja dan mengenakannya. Pasti ini soal Noel, pikir Asa. Lucu juga, Kara tidak pernah seserius ini mengejar seseorang sebelumnya. Biasanya cewek itu cepat bosan dalam hitungan bulan. Tapi dengan Noel, sejak mengaku terang-terangan pada Asa kalau dia kepincut dengan si kakak-kelas-dengan-senyum-lembut itu pada hari ketiga bersekolah di SMA Bangsa, Kara belum pernah menyebut kata ‘bosan’.

“Mas Asa, Mas Asa. Ada Non Kara Mas.” suara Bik Suki dan ketukan pelannya di pintu kamar Asa membuyarkan lamunan cowok itu dengan cepat. Asa membuka pintu kamarnya. “Mana Kara, Bik?”

“Di taman belakang Mas. Non Kara matanya kayak abis nangis.”

Asa tidak berkata apa-apa lagi. Ia menepuk bahu Bik Suki dan berlari menuruni anak tangga di rumahnya. Rumah Asa dan Kara memang ada di kompleks yang sama. Mereka sudah bersahabat sejak masa ospek SMP empat tahun yang lalu dan karena itu, kedatangan Kara ke rumahnya sudah seperti kedatangan saudara sendiri. Orang rumah Asa sangat mengenal Kara dan begitu pula sebaliknya. Asa membuka pintu geser di ruang keluarga, yang langsung membawanya ke taman kecil hasil rawatan tangan Ibu yang telaten. Kara sudah duduk di favorite spotnya di bawah pohon.

“Hei, kamu kenapa Ra? Bik Suki sampe nanyain kamu loh.” Asa duduk di sebelah Kara.

“Maaf ya Asa.” Kara menunduk menatap kedua tangannya.

Asa mengerutkan keningnya dengan bingung. “Untuk?”

“Tadi kan ngomel-ngomel sendiri di sekolah. Ninggalin HP pula.”

“Itu kan biasa.” kata Asa setengah tertawa.

“Tadi aku... entah kenapa liat Noel jalan sama temen sekelasnya itu di kantin....” Kara terdiam sebentar. “Itu sebenernya sahabatnya Sa.” lanjut Kara lagi.

Asa mengangguk. “Iya kayaknya kamu udah pernah cerita. Siapa ya namanya? Epi bukan?”

“Aku punya feeling ngga enak aja kalo kayanya mereka nggak sekedar sahabatan.” Air mata mengalir di pipi Kara. “Dan ternyata emang bukan. Epi is officially Noel’s girlfriend. Liat statusnya di FB tadi siang.” Kara benar-benar menangis sekarang. “Tau nggak sih Sa? Rasanya selama ini aku ge-er aja Noel senyum selembut itu ke aku. Sebenernya mungkin itu emang standar senyumnya ke semua orang. Yang paling nusuk rasanya yah Sa, kalo mungkin senyumnya ke si Epi pasti lebih lembut lagi. Selama ini aku ngejar bayangan aja.” Kara membenamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya dan menangis tanpa suara. Hanya bahunya yang bergetar yang memberitahu Asa kalau gadis itu akan menangis sekeras-kerasnya kalau saja dia bisa.

Sekarang Asa merasa dirinya benar-benar harus kursus ‘penggunaan bahasa verbal yang baik untuk saat-saat yang buruk’. Karena sejujurnya, Asa bingung harus bagaimana menanggapi cerita sedih Kara hari ini. Dia sangat terbiasa dengan cerita-cerita riang si bawel, sampai lupa kalau saat-saat tertentu, seorang Kara juga bisa menangis. Asa akhirnya membiarkan Kara menangis tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin itu akan membuatnya lebih lega, pikir Asa.

“Ra, aku…” Asa memecah keheningan setelah kurang lebih sepuluh menit membiarkan Kara menangis. Kalau Bik Suki lihat, bisa-bisa malam nanti beliau menolak memasak untuk Asa. Nanti dipikirnya Asa yang menyakiti Kara, bocah kesayangannya.

Kara semakin dalam membenamkan wajah ke dalam lipatan tangannya. Isakan tangisnya sudah berhenti, tapi Kara belum mau keluar dari “persembunyiannya”.  Asa menghembuskan nafas perlahan. Cowok itu kemudian membelai kepala Kara dengan lembut. “Ra. Aku nggak gitu ngerti soal cinta-cintaan. Kan kamu ahlinya. Tapi emang seribet itu ya?” tanya Asa.

Kara tidak menjawab. Dia sedang tidak ingin bertukar filosofi dengan Asa sekarang. Serius nih, Asa benar-benar sahabat yang manis, tapi kadang-kadang dia sama sekali tidak peka dengan situasi Kara yang jelas-jelas sedang tidak dalam mood yang oke untuk diajak berdebat, bertukar filosofi, atau adu pandangan soal cinta.

“Kalo buat aku, ada di deket orang yang aku sayang, bisa ngeliat dia ketawa dan tau kalo dia menikmati hidupnya itu udah cukup banget loh. Kalo buat kamu, harus sampe dibales ya perasaannya?”

Kara mengangkat wajahnya perlahan. Kata-kata Asa kok entah kenapa menusuk hatinya. “Kamu ngerasa cukup, Sa? Dengan sebatas ngeliat dia ketawa? Lagian, emang kamu lagi suka sama siapa sampe bisa ngomong gitu?” Kara mengusap air mata dari mata dan pipinya.

Untuk sesaat, semburat merah mewarnai wajah Asa. “Makanya aku bilang aku nggak ngerti soal ini. Tapi sejauh ini—“

“Kayak apa Sa?” tanya Kara.

“Apanya?” Asa bertanya balik.

“Rasa yang kamu rasain.”

Asa menyandarkan bahunya ke batang pohon di belakangnya. “Rasanya lembut, tenang, menyenangkan.” kata Asa.

Kara membuka kedua matanya lebar-lebar. Ini kejadian langka dalam seribu tahun persahabatannya dengan Asa. Seorang Asa bicara soal perasaan. “Dan kamu nggak merasa perlu bilang tentang perasaan kamu ke seseorang itu?” tanya Kara.

“Nggak.”

“Kenapa nggak?”

“Ya nggak mau aja.”

“Kenapa nggak mau?”

Asa menatapi Kara. Sekarang cewek itu mulai kelihatan seperti anak kecil yang bertanya pada ibunya : ‘kenapa burung bisa terbang, bu? Karena punya sayap nak. Kenapa punya sayap? Karena diciptakan Tuhan. Kenapa Tuhan menciptakan sayap? Karena suka-suka Tuhan.’

“Karena buat aku, meskipun aku nggak ngomong sama dia, rasa itu pasti nyampe juga kok.”

“Ih. Nggak usaha.”

Asa menatapi Kara sejenak. “Nggak ngomong sama nggak usaha beda kan?” katanya sambil tersenyum lembut.

“Kalo rasa nya nggak nyampe-nyampe gimana Sa? Kan nggak ada tukang pos rasa cinta.”

Asa tertawa dan menepuk-nepuk kepala Kara. “Pasti nyampe, Ra. Aku percaya kalo tukang posnya itu akan nemuin jalan sendiri buat sampe di hati orang yang kita sayang. Nggak peduli orang itu punya perasaan yang sama ato nggak ke kita. Tukang posnya bukan nggak ada Ra, cuma nggak keliatan aja. Apalagi sama yang banyak dosa kayak kamu.” jelas Asa sambil tertawa lebar.

Kara menatap Asa dengan tidak percaya. “You’ve grown, you know.”

Sure, I can’t stay a little boy forever.”

“Asa.” Kara menempelkan kepalanya di bahu Asa. Aneh, berada di dekat Asa tidak pernah sehangat ini sebelumnya. Berada di dekat seorang cowok seingat Kara juga tidak pernah setenang ini, seingat Kara. Tidak ada rasa dag-dig-dug, tidak ada keringat dingin, tidak ada rasa menggigil. Hanya rasa yang lembut, hangat dan menyenangkan.

“Hmm?”

Thanks for being here.”

Asa tersenyum dan menempelkan pipinya di kepala Kara. Anytime, Ra. Semoga tukang posnya cepet nyampe di hati kamu.

No comments:

Post a Comment