Sunday, September 12, 2010

Two Sisters & A Wedding Ring


Wajah Ray berubah cerah ketika dilihatnya seorang wanita semampai memasuki Picturesque. Siang itu kafe tidak begitu ramai sehingga Ray kehabisan bahan observasi untuk meredam kebosanannya. Rabu ini, seperti ratusan Rabu sebelumnya, Ray dan kakaknya janjian makan siang di Picturesque, kafe favorit mereka. Sang kakak, Adelaine, merupakan seorang editor majalah wanita yang terkenal di Jakarta. Sejak Ray lulus SMA, ia memutuskan untuk tinggal terpisah dari kakaknya untuk melatih kemandiriannya. Karena tidak memungkinkan bagi Ray dan Adelaine untuk sering-sering bertemu, maka mereka menyepakati 1 hari dalam seminggu untuk makan siang bersama, menceritakan hidup masing-masing selama seminggu belakangan.

Wajah Adelaine tampak berseri ketika ia melihat Ray, si adik, sudah duduk manis di tempat favorit mereka; meja yang menghadap jendela. Dengan gestur anggun, ia meletakkan tote bag-nya di atas meja dan memeluk Ray erat.

"Rayninditha, Rayninditha... kamu gak bisa pake rok ya sehariiii aja?"

"Yahelah males deh ah, aku kan kemana-mana naik bus. Repot ah kalo pake rok. Kalo Mbak mau beliin mobil sih gak apa-apa", cibir Ray kecut.

Adelaine tertawa kecil menanggapi cibiran adiknya.

Ray memperhatikan kakaknya, diam-diam merasa iri. Adelaine selalu memiliki charm tersendiri, bahkan untuknya. Gestur Adelaine yang anggun tampak natural dan tidak dipaksakan; sama halnya dengan gestur berantakan yang melekat pada dirinya. Kadang-kadang ia memprotes kedua orangtuanya, kenapa ia diberi nama Rayninditha? Nama itu bisa disingkat menjadi Ray, sebuah nama yang sangat cowok. Nama Adelaine, jika disingkatpun akan menjadi sebuah nama cewek, nama yang sangat cewek. Tapi tentu saja, protes itu hanya bisa ia teriakkan dalam hati karena kedua orangtuanya sudah tiada sejak ia duduk di bangku TK. Neneklah yang kemudian merawat ia dan Adelaine sampai Adelaine bekerja. Sejak itu, gantian Adelaine yang merawat ia dan Nenek.

Selain Nenek, tidak ada yang memanggilnya Ditha. Semua berpendapat nama Ray sangat cocok untuknya, mengingat tindak-tanduk Ray yang memang sangat maskulin. Alih-alih melawan stereotipe dangkal itu, Ray malah menurutinya. Awalnya hanya dibuat-buat, namun semakin natural seiring waktu berjalan. Ray mengeluh dalam hati, sedikit menyesal. Diperhatikannya Adelaine yang masih sibuk memilih menu, lalu memutuskan untuk memulai pembicaraan.

"Eh mbak, apaan tuh?", tanya Ray penasaran, sepasang matanya mengarah ke jari manis Adelaine. Sebuah cincin sederhana tersemat manis di jari manisnya.

"Oh ini, baru aku mau bilang ke kamu, Ray...", sahut Adelaine, wajahnya tersipu.

"Tunangan?", selidik Ray curiga, berharap jawabannya ‘bukan’.

Adelaine mengangguk.

"Teganyaaaa! Aku bahkan belum pernah ketemu pacarmu, Mbak!", sentak Ray merengut.

"Lah, kamunya kan sibuk terus. Sabtu ini deh, kamu bisa gak, Ray?"

"Bisa bisa aja deh kayaknya. Aku free kok."

"Akhirnya bisa juga kamu. Kadang-kadang aku heran deh, yang editor majalah tuh sebenernya kamu atau aku sih? Kok sibukan kamu", protes Adelaine.

Ray menjawil hidung kakaknya, jahil. Adelaine hanya geleng-geleng kepala, pasrah menanggapi kejahilan adik semata wayangnya itu.

***

Dering bel yang khas terdengar dari pintu kafe. Sesosok wanita dengan kaos dan kemeja jins yang seluruh kancingnya terbuka dan lengan tergulung memasuki kafe itu dengan gayanya yang biasa: urakan.

Gadis itu menyipitkan mata, melihat seorang cowok duduk di bangku yang sudah ia pesan sejak Rabu kemarin. Bangku itu adalah bangku favorit ia dan kakaknya. Tanpa bertanya pada waiter, Rayninditha menghampiri cowok yang menduduki bangkunya tersebut, namun terkejut setengah mati begitu mendapati wajah cowok itu: wajah yang sangat familiar – kelewat familiar, malah! – wajah yang sangat familiar dan mendominasi masa SMA-nya.

"Ezra?!"

Cowok itu terkejut, dengan gugup merapikan jasnya.

"...Rayninditha?", ucap cowok itu pelan, setengah tidak percaya.

"Ngapain kamu disini?!", balas Ray galak, siap-siap menelan cowok itu dalam kemarahannya.

Sebelum cowok itu sempat menjawab, sebuah suara ringan yang anggun memecah atmosfir menegangkan itu: Adelaine sudah datang.

Adelaine mengamati wajah Ray yang tampak murka dan wajah Ezra, tunangannya, yang tampak terkejut setengah mati.

"Kamu kenal Ray?", tanyanya pada Ezra, lalu mendekat, mengecup kedua pipi tunangannya.

"Dia kakak kelasku dulu, Mbak", jawab Ray pelan, berusaha meredam emosinya.

Ia tidak mau mengacaukan acara perkenalan ini, tidak setelah mengingat betapa bahagianya wajah Adelaine saat menunjukkan cincin pertunangannya Rabu kemarin.

...sekaligus mantan pacarku, batin Ray kesal. Mantan pacar brengsek yang seenaknya meninggalkanku keluar negeri selama 3 minggu lalu memutuskannya via telepon – semua dilakukan Ezra tanpa ada penjelasan apapun!

Intinya, sejak saat itu Ray bersumpah tidak akan pernah memaafkan cowok pengecut yan sudah seenaknya walk-out dari hidupnya begitu saja.

Satu-satunya alasan Ray tidak memberitahu Adelaine adalah karena ia malas berurusan dengan kakaknya saat itu; kakak yang selalu perfect dan dielu-elukan semua orang, kakak yang membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.

Namun sekarang, ia sangat menyesal karena tidak sempat bercerita tentang Ezra pada kakaknya. Kalau iya, bukan cowok ini yang bakal dinikahi kakaknya; tapi cowok lain! Cowok yang tidak meninggalkan seorang cewek dengan entengnya seperti Ezra!

Ray cepat-cepat mengusir pikiran konyol itu.

That won't change anything. Adelaine would still marry that jerk if she ever knew my story, batin Ray, berusaha menenangkan diri.

"...Ray aktif di berbagai organisasi sosial, Ja, makanya kamu baru bisa ketemu dia sekarang", ucap Adelaine, tertawa renyah. Ia mengelus lengan adiknya dengan sikap suportif.

Ray mengerling sekilas ke arah Ezra untuk mengetahui reaksi cowok itu.

Kalem.

Memuakkan!

Kaki Ray mendadak gatal menendang kaki Ezra yang berada tak jauh dari kakinya.

Gaya sekali Ezra sekarang, cibir Ray dalam hati. Kemeja (mungkin Zegna, atau merek lain yang memuat 6 buah angka nol di belakangnya) setelan jas hitam yang orang urakan sepertinya pun tahu bahwa jas itu bukan jas murahan. Jahitannya rapi, permukaannya licin dan terkesan mewah. Belum lagi wangi parfum yang menguar dari badan Ezra; makin jelas bahwa cowok ini bukan lagi Ezra yang ia kenal saat SMA: sama-sama urakan sepertinya (walaupun ia benci mengakui ini: Ezra jauh lebih rapi darinya).

"Oh ya? Aktif di organisasi apa aja, Ray? Mungkin gue tau."

Suara Ezra mengalir untuk pertama kalinya setelah 5 menit percakapan dua arah tersebut didominasi oleh suara Adelaine yang chirpy dan tanggapan-tanggapan singkat dari Ray.

"Rayninditha, please", balas Ray dingin, seulas senyum manis terpampang di wajahnya.

Wajah Ezra seperti kehilangan warna. Ia memandang Ray tidak percaya.

Entah Adelaine tidak memperhatikan ketegangan samar tersebut atau ia tidak ingin acara chic luncheon ini berjalan kacau, perempuan itu menginterupsi,"Ezra kerja di bidang sosial juga, Ray. Dia yang nanganin kegiatan di Monas bulan lalu itu", sergah Adelaine, sepasang matanya menatap Ray dalam, seakan mengisyaratkan Ray untuk behave.

"Dari instansi apa, Ezra?", tanya Ray terpaksa.

"WeCare", jawab Ezra singkat.

Ray tersedak.

Mampus, cowok itu ternyata sponsor terbesar kegiatan di Monas bulan lalu! Kegiatan sosial yang melibatkan ribuan anak jalanan itu tergolong sukses, bahkan sampai masuk berbagai majalah saking suksesnya. Rapi, terorganisir dan menginspirasi, begitu pendapat sebuah koran ternama Ibukota.

Pada rapat minggu lalu, Ray mengangkat kisah kesuksesan instansi ini untuk memotivasi rekan-rekan kerjanya: mengelu-elukan kinerja tim WeCare yang aktif dan tanggap serta kerjasama mereka yang luar biasa. Ia sendiri hadir dalam acara tersebut. Begitu dekat ia bergelut dengan instansi ini, kok bisa-bisanya ia tidak mengenali Ezra dalam acara tersebut?!

Ray buru-buru menghabiskan makanannya, lalu meraih tasnya dengan cepat.

"Maaf Mbak, aku ada rapat dadakan. See you!"

Adelaine hanya bisa tergugu melihat sosok adiknya yang menghilang di balik pintu.

***

Sudah seharian Ray mengurung diri dalam kamar kosnya. Segala bentuk alat komunikasi ia matikan. Ia sedang malas berhubungan dengan dunia luar hari ini. Ia bahkan pura-pura tidur pulas ketika kakaknya datang mengetuk pintu kamar kosnya dengan ribut.

Ezra, Ezra, Ezra...

Mendadak Ray kangen masa-masa ketika nama Ezra masih Eja; diucapkan dengan asal dan tanpa nada penghormatan apapun. Masa-masa ketika cowok itu menimpuki kepalanya dengan gumpalan kertas kecil dari lantai 3 pada sebuah Senin pagi ketika ia dihukum lari 15 keliling lapangan oleh guru piket. Masa-masa ketika cowok itu memuji masakannya dengan tulus (padahal Cuma oseng tempe dan telur ceplok!). Masa-masa ketika Ray merasa seseorang akhirnya mengerti dirinya. Ray sengaja memilih sekolah yang berbeda dengan Adelaine. Pokoknya saat itu, yang terpikirkan olehnya adalah bagaimana cara kabur dari Adelaine; dari charm dan dominasi gadis itu terhadap kehidupannya.

...dan Ezra sangat mengakomodir kebutuhan Ray akan seseorang yang bisa ia percaya. Ezra menemani Ray, meminjamkan bahunya untuk ditangisi Ray, merelakan mobilnya hancur karena harus melewati jalan jelek setiap menjemput Ray malam Minggu.

Ezra yang sama urakannya dengan Ray entah kenapa terlihat lebih dewasa di mata gadis itu.

Ray memeluk gulingnya, menangis.

Ia mendadak kangen Ezra.

***

Dua bulan kemudian...

“Kamu cantik banget.”

Adelaine menahan napas ketika melihat sosok adiknya dalam balutan baju berwarna hijau terang tersebut.

Ray merengut.

“Apaan sih Mbak, ini kan Cuma kebaya pager ayu! Gak perlu heboh deh!”, gerutu Ray galak.

“Ya abis jarang-jarang kan ngeliat kamu kayak gini. Setahun sekali juga kebagusan”, goda Adelaine.

Ray tidak menanggapi, memandang lurus ke arah kaca, mempersiapkan diri untuk kalimat terberat yang akan ia ucapkan hari itu.

“Mbak, may I have a word with the groom, please?”

Adelaine melotot heran. Sejak kejadian di Picturesque dua bulan yang lalu dimana Ray dengan seenaknya kabur dari chic luncheon yang sudah susah payah diusahakannya – tidak pernah lagi Ray mencoba berkomunikasi dengan Ezra. Adelaine menganggap ini sebagai aksi ngambek Ray karena baru dikenalkan pada Ezra setelah mereka bertunangan, jadi ia tak ambil pusing. Bahwa sekarang Ray memiliki inisiatif untuk mengobrol dengan Ezra adalah hal yang patut dianggap sebagai kemajuan, maka tanpa banyak protes, Adelaine memanggil Ezra ke dalam ruangan fitting lalu meninggalkan mereka berdua setelah sebelumnya memperingatkan waktu ngobrol mereka hanya 10 menit.

“Ray, gue bisa jelasin semuanya...”

“Gak perlu”, potong Ray cepat, menatap sepasang mata Ezra dalam-dalam.

Bodohnya ia, ternyata selama ini ia masih belum bisa melupakan Ezra – hal yang baru ia sadari ketika melihat Ezra untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun lewat di Picturesque... sebagai calon suami Adelaine, kakaknya.

“Gue gak mau denger lo ngecewain Adelaine. Gue sayang banget sama dia. Gue...”, Ray tidak melanjutkan kalimatnya, terisak.

Ezra tercekat, tidak tahu harus melakukan apa. Dengan canggung ia merangkul Ray erat, berharap itu dapat meredakan isakan Ray yang kini makin terdengar.

I admire you for always being strong, Ray. Where does all that courage go now?”

Ray mengangkat wajah, nyengir – tak peduli kalau cengirannya (dengan wajah full make-up seperti itu) akan kelihatan tolol di mata Ezra.

It’s still here, but it’s hiding for a while. Anyway, like I’ve told you before... don’t hurt Adelaine, or else I’ll smack you down”, ucap Ray terbata-bata.

Sebenarnya ia masih ingin menangis. Masih ingin melakukan hal menye-menye lainnya karena Ezra akan merangkulnya lagi seperti itu untuk menenangkannya.

By the way, the reason why I left you was because... I was about to ask you to be my wife, but I couldn’t.”

Wajah Ray pucat mendengar pernyataan Ezra.

Why couldn’t you? Lo tau gue bakal bilang iya, Ja.”

Because you deserve better than me. I always pray for you to find a better replacement, Ray. Semoga lo cepet-cepet nemuin ‘orang itu’ ya, Ray. Someone who didn’t left you and broke up with you via telephone and didn’t say a word about it. Someone but me.”

Ray tertawa, menonjok lengan Ezra pelan.

Welcome to the family, Eja. Let’s help each other from now on, shall we?”

Ezra mengangguk.

Pintu terbuka. Adelaine memandang mereka berdua dengan tidak sabar.

“Kalo kamu kelamaan disini, Ja, aku nikah sama siapa nanti? Dan siapa yang akan aku jodohin ke temen-temenku, Ray? Buat apa punya adik secantik ini kalo gak dipamerin?”

Ketiganya tertawa, melangkah keluar.

All was well, batin Ray dengan senang. Seperti kata-kata terakhir di buku Harry Potter, all was well.



No comments:

Post a Comment