Wednesday, September 29, 2010

Bila Sampai Waktuku


Mengingat bencana banjir tahun 2007 di Jakarta.
“Mau kemana, Yah?” tanya-nya pada si Ayah.
“Ayah mau turun ke kota, mengingatkan orang-orang tentang lingkungan yang harus dijaga.”
Si anak bingung, “Kota mana, Yah?”
“Jakarta”
“Ibukota Indonesia, negeri tercinta orang-orang?”
Si ayah mengangguk.
“Mengapa engkau sampai mau turun ke kota, Yah?” Apa nanti orang-orang tidak cemas, kebingungan, dan menderita, hanya bisa meratapi semua harta benda mereka yang hanyut terbawa olehmu?”
“Agar semua orang ingat betapa pentingnya lingkungan mereka, tidak menimbun sampah di sungai dan yang paling penting agar mereka ingat dan tahu akan kuasa Tuhan.”
“Apa Tuhan sudah mengijinkanmu turun ke kota, Yah?”
“Sudah, nak. Tadi malam, ayah berbincang lama pada-Nya dan Ia mengijinkan ayah untuk turun ke kota mengingatkan orang-orang.”
Si anak berpikir terus sambil menatap ayahnya. Si ayah tersenyum dan berkata, “Ayah akan kembali, nak. Tenanglah dan tunggu ayah disini. Jika kelak orang-orang masih berlaku sama, tidak menjaga lingkungan mereka, dan tidak ingat akan Tuhan, maka engkau harus mengikuti jejakku ini, engkau harus turun pula ke kota, melewati jalanan-jalanan besar ibukota, menyapu habis semua harta benda hasil kesombongan mereka, agar mereka segera sadar telah membuat alam marah."
“Tapi kapan, Yah?”
“Bila sampai waktunya nanti.”
Dan kemudian, si ayah pergi, ketika itu tahun 2002 dimana manusia-manusia selalu meninggikan ego mereka, menyombongkan harta mereka. Hari pertama si ayah turun menyapu habis jalanan-jalanan ibukota serta meninggalkan lumpur bagi mereka, rumah-rumah mulai terendam, kendaraan tidak dapat berjalan lancar dan ngebut seperti biasanya, aktivitas manusia-manusia ibukota mulai terganggu, mulanya terkena macet dan hujan lebat terus mengguyur mereka. Radio, televisi, dan media komunikasi lainnya berkejar-kejaran mencari berita tentang ayah yang turun ke kota.
Hari kedua, dasar ayah tak pernah puas. Ayah terus menyapu habis jalanan ibukota lainnya yang masih belum terjelajah olehnya, harta benda hanyut, mulai terdengar jeritan, tangisan, cacing-cacing di perut mereka berteriak meminta asupan makan agar dapat bertahan hidup, kendaraan-kendaraan semua mogok, aktivitas manusia-manusia berego tinggipun sudah benar-benar lumpuh, semua jalanan ditutup karena tidak memungkinkan untuk dilewati, penyakit-penyakit mulai berhamburan bebas dan hinggap di beberapa tubuh orang-orang, lumpur semakin menggenang dan Ayah terus meninggi agar manusia semakin jera dan berpasrah hingga berlutut menyembah Tuhan.
Radio dan televisi terus mengumandangkan lagu-lagu sedih dan duka sesuai tema ibukota, tetapi mengapa pemimpin-pemimpin negeri tetap tidur dan hanya bisa bertolak pinggang, tidak seperti artis-artis negeri yang mulai ikut serta membantu derita orang-orang, tak tahu ikhlas atau hanya ingin terlihat hebat. Hari ketiga, Ayah sudah puas akan hasil kerjanya, tapi air-air dan lumpur-lumpur ditinggalkannya masih tergenang, hanya di berbagai daerah saja yang sudah tidak tergenang. Ayah kembali. Si anak menyambut kedatangannya.
“Ayah sudah pulang?”
Si ayah hanya tersenyum dan mengangguk sambil menyapu peluh.
“Ayah letih, nak. Banyak jalanan telah Ayah sapu habis tanpa sisa, harta benda mereka telah ayah rampas, hanyut tak berbentuk lagi, telah banyak terdengar teriakan, jeritan juga tangisan mereka. Tapi mengapa pemimpin-pemimpin negeri masih saja diam, bertolak pinggang menyaksikan rakyatnya menderita?”
“Lalu mengapa Ayah tak melanjutkan lagi hasil kerja Ayah?”
“Tuhan berbisik kepadaku, nak. Ia bilang sudah cukup. Biar nanti engkau yang menggantikanku.”
Si anak mengangguk dan berjanji untuk menggantikan tugas Ayahnya.
Setelah sang Ayah selama beberapa hari telah turun ke kota dan lama kelamaan kota semakin membaik keadaannya karena peringatan dari Tuhan. Waktu terus berlalu, manusia-manusia kembali melakukan pembangunan-pembangunan untuk negeri tercinta agar terlihat kualitasnya di negeri asing. Tuhan terus memantau dari atas ditemani alam. Setahun, dua tahun sudah terlihat banyak lagi gedung-gedung berdiri tegap. Tuhan tersenyum dan menatap kasihan kepada alam. Dalam hati-Nya ada sepenggal pertanyaan dan harapan. Akankah alam kehilangan tempatnya lagi untuk hidup dan membuat alam lagi-lagi naik pitam? Tuhan menunggu. Manusia-manusia berego tinggi pun semakin menjadi-jadi, tak jera-jeranya mereka, padahal sudah diingatkan oleh banjir yang menimpa mereka.
Lima tahun sudah, Tuhan akhirnya kembali memanggil, kali ini di tahun 2007. Ia memanggil si anak.
“Turunlah ke kota sebagai janjimu kepada Ayahmu dulu.”
“Apa yang harus aku lakukan bila sampai di kota nanti, Tuhan?”
“Buatlah seperti Ayahmu dulu, tapi lebih adil lah sekarang, jangan pandang buluh mereka, buat mereka jera akan kerjamu.”
“Baik, jika itu yang Kau kehendaki.”
Si anak turun ke kota, mulai menyapu jalanan besar ibukota, menutupnya dengan air dan menggenanginya dengan lumpur. Hari pertama, keadaan seperti dulu ibukota yang tergenang banjir, rumah-rumah mulai terendam, kendaraan tidak dapat jalan ataupun ngebut lagi, aktivitas manusia-manusia ibukota terhambat dan lagi-lagi media komunikasi terus berkejar-kejaran mencari berita tentang turunnya si anak ke kota.
Hari kedua, si anak terus melewati gang-gang kecil, semua tempat terkecil sekalipun dilewatinya, ia meninggi hingga di berbagai daerah mencapai 2 meter lebih ketinggian air, terdengar teriakan, jeritan, tangisan mereka, cacing-cacing berteriak kelaparan, terlihat tenda-tenda pengungsi, wabah penyakit mulai keluar.
Hari ketiga, karena melihat sang pemimpin negeri terus diam tak mengambil tindakan. Si anak teringat akan perkataan Ayahnya dulu tentang para pemimpin negeri yang hanya bertolak pinggang melihat derita rakyat, ketika itu si anak tetap meninggi sehingga aktivitas manusia-manusia ibukota lumpuh total.
Hari keempat, ia mengambil tindakan yang tak terduga, menggenangi istana kepresidenan. “Inilah waktunya, Yah.” si anak menggumam. Para penjaga istana panik, padahal hanya tergenang sebatas mata kaki, belum setinggi dada orang dewasa seperti daera lainnya, mungkin bila itu terjadi Pak Presiden dan Pak Gubernur sudah pindah ke luar negeri.
Hari kelima, si anak belum puas, bahkan ia menewaskan beberapa orang. Tak tega sebenarnya, tapi agar mereka jera, itu harus. Artis-artis pun mulai membantu menyumbang sembako untuk orang-orang seperti 5 tahun lalu. Sudah terlihat jalanan di berbagai daerah tidak tergenang lagi.
Hari keenam, ada beberapa daerah yang masih terendam dan ada juga yang sudah surut. Tuhan berbisik, “Besok hari terakhirmu, nak.”
Hari ketujuh, hari terakhir tugas sang anak. Letih juga dan ia kembali.
“Maaf Tuhan, aku menewaskan hamba-hamba-Mu.”
Tuhan tersenyum, “Mungkin ini juga untuk kebaikan mereka agar ingat akan Aku dan alam.”
“Terima kasih, nak. Jika kelak manusia kembali berego tinggi, aku akan mengutus lagi anakmu penerusmu nantinya.”
“Baik, Tuhan. Aku akan mengingatkannya pada anakku nantinya.”
Dan semoga tidak ada lagi manusia-manusia tamak, berego tinggi, sombong, hanya memamerkan harta benda mereka.


No comments:

Post a Comment