Sunday, September 12, 2010

Tulolonna* dan Media

Di kota-kota besar termasuk Makassar, jika kita keluar jalan-jalan apalagi di jalanan utama pasti akan menemukan spanduk, poster, billboard, dan lain sebagainya yang menampilkan wajah tokoh-tokoh penting atau selebritas. Bahkan di lorong-lorong kecil dan buntu pun ada. Sepertinya kita ini menghuni sebuah kota yang mirip majalah komersil. Pindah ke jalan lain seperti pindah ke halaman lain. Penuh jejalan konsumerisme.

Di media-media tersebut juga selalu ada tulisan yang sengaja dipasang untuk mengajak siapa pun memenuhi tujuan si pembuat dan si pemilik. Dan anak mudalah yang kerap jadi target utama sekaligus ‘korban’ yang menguntungkan, karena kaum merekalah biasanya yang paling banyak serta paling mudah ‘ditelan’, sadar atau tidak sadar. Kan katanya, anak muda itu suka dengan hal-hal baru, penasaran dikit pengen coba!

Ironisnya, di kota yang terkenal dengan keindahan sunset Pantai Losari-nya ini praktis tidak ada media yang menyediakan ruang bagi para anak mudanya (tulolonna) untuk bisa berkarya dengan betul-betul merdeka. Jadi semacam hampir tidak ada kontrol sebagai penyeimbang.

Memang, ada beberapa koran lokal yang menyediakan rubrik husus setiap minggunya untuk membahas dan mengangkat ragam tema yang bersentuhan dengan kehidupan para tulolonna. Namun hanya menyentuh yang permukaan saja dan sudah banyak berserakan di sinetron-sinetron layar kaca, seperti masalah-masalah percintaan, sekolah, dan lainnya dengan bahasa-bahasan yang dangkal. Seperti membaca majalah anak tapi topiknya anak muda. Seakan-akan kita, tulolonna Makassar ini pemikirannya belum berkembang dan hanya suka membicarakan hal-hal remeh temeh seperti itu. Bukankah ini penghinaan terhadap perkembangan intelektualitas kita? Padahal, di sekolah kita sudah kenyang dengan buku-buku pelajaran serta ujian-ujian yang bahasanya tinggi-tinggi dan terkadang kita tidak tahu apa artinya.

Intinya, berita-berita tersebut sama sekali tidak mewakili ‘suara’ sebagian besar tulolonna. Coba saja keluar jalan-jalan sambil mengamati kehidupan tulolonna lain di luar sana. Atau kalau tidak mau jauh-jauh, tanya ke diri sendiri dan jawab sendiri dengan jujur, benarkah apa yang kita pikirkan dan rasakan sudah seperti yang ada di media-media itu? Yang notabene, pembuat dan pengelolanya adalah orang-orang yang usianya sudah tidak muda lagi dan punya kepentingan. Kepentingannya bisa saja karena deadline yang mendera sehingga tidak ada waktu untuk mengangkat sisi lain kehidupan tulolonna yang lebih humanis (karena butuh porsi waktu untuk meneliti lebih lama) atau kepentingan-kepentingan lainnya.

Selain itu, kota Makassar dan tulolonna kerap dicitrakan dengan pencitraan ‘kasar’. Berita-berita mengenai demo yang rusuh, aksi lempar batu, dan semacamnya seakan sudah jadi tontonan yang wajar dan selalu dicari para konsumen berita. Bahkan ada wartawan (orang Makassar pula) yang digaji oleh stasiun televisi swasta di Jakarta dengan tugas pokoknya hanya memberitakan segala bentuk kriminalitas dan kekecauan yang terjadi di Makassar. Sungguh teganya!

Berita-berita tersebut secara otomatis, sadar atau tidak sadar membentuk kepribadian dan sikap tulolonna Makassar yang cenderung konsumtif, hanya doyan bergaya. Juga tidak memicu daya kritis, tidak menambah pengetahuan, kecuali hanya memperparah sikap sinisme dan skeptisisme terhadap kotanya sendiri, dan lebih suka mengiblat gaya anak muda Jakarta yang katanya, “gue eeetoh geeeol geeela” J(oke ini mungkin sedikit berlebihan, haha).

Seakan-akan identitas mereka sebagai anak muda asli dan lahir di tanah Makassar sudah nyaris punah. Seakan-akan tidak ada yang spesial, istimewa, dan keren kalau mereka berbicara bahasa Makassar. Disangkanya ngomong Makassar, ngomongnya tukang becak. Sungguh disayangkan!

Pertanyaan selanjutnya, apakah memang sudah tidak ada tulolonna Makassar yang kreatif, berwawasan luas, punya ide-ide brilian, pokoknya punya talenta dan kualitas jempolan untuk berkarya, entah itu bagi dirinya sendiri (tapi alangkah lebih sempurnanya jika karyanya bermanfaat bagi orang lain), keluarganya, atau bagi kotanya? Masa sih, dari sekian banyak tulolonna di Makassar tidak ada yang punya kualitas itu? Saya berani jamin, pasti ada! Pasti!


*) = anak muda, bahasa Makassar.


by: Fikry Yathir

No comments:

Post a Comment