Thursday, August 5, 2010

Garis Akhir

Somehow, I forget one thing. When you are ready to love someone, you must ready to be hurt by the one you loved. In short, broke up. Or sweeter, we can say, letting go.

Nggak, misalkan lo adalah salah satu perempuan yang seperti itu - yang memulai relationship... apa yang bisa kita sebut? Pacaran, HTS-an, TTM-an, whatsoever. Intinya, mungkin lo sama seperti gue. Atau mungkin gue sama seperti kalian semua. Gue lupa, bahwa suatu hari, semuanya harus punya akhir. Bahwa di saat gue memulai, gue juga harus mengakhiri. Kapanpun, dimanapun... siapapun.

Kadang gue berasa tolol banget. Gue mendengar banyak lagu mellow tentang cinta yang indah, semuanya akan membuat kamu merasa berbunga-bunga. Jah. Mimpi apa gue semalam kalau andai saja, cinta itu beneran ada. Cinta yang ala putri salju, Cinderella, maupun Sleeping Beauty. Cinta untuk selama-lamanya.

Bukan keinginan Christopher untuk berpisah dan meninggalkan gue. Bukan keinginan gue untuk kangen dan kepingin dia ada di samping gue lagi. Sejak dulu, gue nggak pernah mengira kalau hanya Chris yang ada waktu gue menangis. Hanya Chris yang bisa menyanyikan lagu favorit gue setiap kali gue bosen. Dan waktu ia pergi, gue hanya bisa menghitung.

Menghitung berapa hari yang gue sia-siakan tanpa bisa menghargai keberadaan dia. Menghitung berapa langkah yang ia ambil untuk menyusuri jalan di balik punggung gue, pergi menjauh. Menghitung jam-jam yang menguap waktu gue sendirian seperti ini. Gue nggak pernah takut sendirian, gue nggak pernah takut menghitung. Tapi entah kenapa, sekarang gue jadi benci matematika sejak tau bahwa gue sudah berhasil mengitung sesuatu yang fatal. Gue berhasil menghitung berapa kali gue sudah menyakiti Chris dan menyusahkannya. Bahkan di saat gue hanya tinggal sendiri, gue masih menyesalinya.

***

Riby.

Gue selalu kangen dia, setiap hari. Setiap hari, wajah dia selalu terbayang-bayang di pikiran gue. Setiap hari, gue masih berharap bisa mendengar kata-kata yang membuat hari gue selalu lebih baik, "Tomorrow will be better". Setiap hari, gue masih berharap dia mengirim pesan singkat yang isinya cuma "Kangen :(". Tapi itulah. Hal-hal kecil konyol yang bikin gue merasa makin tersiksa.

Silly little things we are.

Man, apa yang gue pikirkan? Punya pacar itu seperti melakukan hal yang sia-sia. Pernahkah lo berpikir, satu-satunya cara supaya nggak sakit hati adalah dengan tidak jatuh cinta?

Terkadang aneh - dan lucu, kalau dipikir, kenapa satu-satunya hal yang kita cintai juga menjadi satu-satunya hal yang menyakiti kita, dan bukan hanya perih standar. Tapi luka dalam. Yang bekasnya nggak hilang walau dalam 7 jahitan.

Actually I should know that everything will be heartache, especially when her back was turned on me.

Gue sempat berpikir; kalau memang gue sayang sama Riby, kenapa rasanya harus sakit melihat dia pergi? Dan rasa sakit yang sama juga muncul ketika dia ada. Di saat dia nggak ada, gue mencari-cari. Di saat dia ada, gue benci untuk menyadari bahwa gue masih peduli akan keadaan dia. Dan herannya, why do I care?

Why do I care if she catch a little flu? Why do I care if she talk about her busyness and how exhausted her schedule? Why do I  care if she express her gloomy face? Why do I care if she scared of tests? Why do I care if she need a place to hide? Why do I care if she doesn't have a secret-keeper?

And why do I care if she doesn't care about me?

***

Kalimat di atas terngiang-ngiang terus di dalam kepala gue.

Bukan salah siapa-siapa kalau gue nggak bahagia. Bahagia bukan tujuan akhir dari para manusia, happiness is a way of life. Dan bukan salah siapa-siapa kalau perpisahan gue dan Chris membuat gue nggak bahagia. Salahkah? Cih, By, sampai kapan sih lo masih mau mangkir dari kesalahan lo...

Kenapa akhiran dari sebuah hubungan nggak bahagia? Jelas, yang namanya putus itu pasti nggak menyenangkan. Kenapa kita putus? When everything matters, the only thing you want to do is giving up. And I forgot how to be getting though. Gue lupa bahwa sebelum gue memutuskan untuk putus, gue dan Chris sudah pernah menempuh berbagai aspek bersama dalam kadar yang lebih berat dari apatisme dan kejenuhan - 2 faktor yang membuat kita putus. Dia gerah dengan segala kesibukan gue, dan gue menuntut terlalu banyak perhatian. Sekanak-kanakkan itu. Sebodoh itu.

Kalau memang dia orang yang tepat - someone who we called as Mr. Right - kenapa jalan dari segala sesuatunya nggak mulus?

Gue nggak menuntut untuk akhir yang sempurna, gue hanya menginginkan akhir yang bahagia...

***

Happily Ever After Isn't Exist.

Lo berharap apa di jaman serba susah begini? Mau pacaran yang tiap hari dibawain bunga? Minta dibukain pintu? Minta dikasih ribuan kepingan cokelat Hershey's? Percaya nggak, kita para kaum cowok, lebih ahli dalam berkata-kata manis dibandingkan ngasih manisan. Nggak akan ada bukti nyata dari tingkah para pangeran negeri dongeng di kamus kami. Walaupun kami nggak pernah keberatan dipanggil Prince Charming.

Gue sempat berpikir kenapa kita harus menemukan orang yang salah sebelum mendapati orang yang benar. Dan siapa yang tau, kalau ternyata yang salah itu yang benar dan yang benar itu yang salah? Life surprises us. Masalahnya, menemukan orang yang salah itu membuat kita kadang nggak bisa menentukan mana lagi yang benar. Di samping itu, menjadi yang salah itu sakit. Menemukan orang yang salah itu sakit. Nggak ada remedial dalam kasus ini.

Gue nggak berharap banyak kok.

Selama bersama Riby, gue merasa bahagia. Gue berusaha membahagiakan dia, tanpa peduli apakah ia akan bahagia atau nggak. Dan ternyata, gue nggak pernah bisa berhasil benar-benar membahagiakan dia. Karena toh akhirnya dia pengin mengakhir kebahagiaan gue ini. Kalau memang dia sayang sama gue, kenapa dia tega menghapus kebahagiaan gue dengan pergi begitu saja?

Kalau gue sayang sama dia...
...Kenapa gue nggak merelakan dia pergi begitu saja supaya dia bahagia?...


...Atau sebenarnya perpisahan bukanlah garis akhir untuk membuat kita sama-sama bahagia?

***

"Kenapa akhirannya harus seperti itu ya?"
"Terserah pengarangnya dong," Balas Chris cuek sambil terus mengetik di laptop.
"Maksud gue, kenapa akhirannya 'gantung'?" Ucap Rebecca defensif. "Lo tau kan Chris, akhiran gantung nggak pernah menyelesaikan masalah?"
"Gue nggak mau menyelesaikan masalah."
Rebecca makin mangkel. "Chris! Lo jadi penulis idealis sedikit kenapa? Ngeselin banget..."
"You can finish the story," Chris beranjak pergi dari kursinya dan melirik ke arah Rebecca. "You are the main character. I'm not the god of myself. Destiny arranges the story, Riby."
Dengusan kesal Rebecca membuat Chris menoleh.

"Boleh jujur?"
"Go on."
"Gue nggak suka lo memakai kisah seperti ini untuk cerita bersambung lo," Riby duduk di tepi meja dan melipat tangannya, mimiknya serius. "Ini kan kisah pribadi. Dan udah lama banget."
"Gue nggak bisa melupakan hal yang gue sesali, By."
"Maksudnya?"
"Lo ngerti nggak sih kenapa gue membuat akhirannya gantung?" Tanya Chris, menatap Riby intens.
"Nggak."
"Karena kita berakhir seperti itu, gantung, endless - sementara nasib selalu mempertemukan kita. Lo tau artinya apa?" Chris menarik nafas panjang, berusaha mengutarakan segala unek-unek yang menahun di hatinya. "Nasib meminta kita untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Garis akhirnya harusnya nggak seperti itu, By. Nggak seperti ini. Nggak seharusnya kita meninggalkan satu sama lain. Buat apa nasib membuat kita bertemu lagi, kalau begitu?"

"Jadi mau lo apa?!"
"Tell me, you need to spell everything out. The truth, Rebecca!"
"I'm still learning, Chris..." Riby menghela nafas dan mencoba menghilangkan air yang mulai membasahi pelupuk matanya. "I'm still learning how to give..."
"Give what?"
"Give an ending." Riby menelan ludah. "Give a forgive for myself."
"That's it?"
"And give a love."
Chris menoleh dan terkesiap. Ia memandang Riby perlahan. "Then why you leave me?"
"If I ever hurt you, it's not my purpose or intention. Seriously, I gonna make my own mistakes. You either." Riby menelan ludah lagi, dan balas memandang Chris. "Sometimes I gonna miss you, but I still learning not to mess up. I'm not giving up... for a chance."
"Take yourself as much as you can, Riby. I know everything will be alright." Chris mencairkan suasana hening. Mereka kembali diam. Riby hanya bisa menatap Chris pasrah, dan tertunduk lagi. Sementara Chris melanjutkan mengetik paragraf akhir.

"Jadi apa akhiran ceritanya?"
"Lihat aja sendiri."
Riby menarik monitor laptop ke arahnya dan hanya membaca satu kalimat akhir yang membekas dalam di benaknya. Di otaknya. Terutama di hatinya.

"And they live happily ever after..."


1 comment: