Tobey adalah seorang atlit. Atlit pelari yang terus berlari. Tak kenal lelah, walau peluh membasahi dirinya. Ia selalu menjuarai berbagai perlombaan. Selalu dan selalu juara 1. Belum lama ini, ia menjuarai lagi suatu perlombaan tingkat internasional. Bertanding melawan atlit-atlit dunia lainnya. Ketika bedil berbunyi seiiring dengan gemuruh penonton meneriakkan pahlawan mereka masing-masing.
Putaran pertama, Tobey berlari terus konsentrasi dengan lajunya sendiri. Masa bodoh orang lain. Putaran kedua, terus berlari melewati pelari-pelari lain satu persatu. Putaran ketiga, terus berlari, sudah saatnya peluh mengucur dari kulit kepala. Membasahi wajah. Tapi senang melirik saingan-saingan tertinggal jauh di belakang. Senyum menghiasi wajahnya. Ada juga yang indah selain peluh yang menetes. Entah senyum bahagia atau senyum licik. Putaran selanjutnya begitu seterusnya hingga yang terakhir. Putaran terakhir, dada membusung ke depan, leher mendongak ke atas, kaki berlari lebih cepat, tangan bergerak seiring menyeimbangi langkah kaki dan mata yang terus melihat ke depan, menunggu tibanya garis finish. Sepuluh meter, lima meter, tiga meter dan ya satu meter. Detik-detik menyambut teriakan penonton. Dan... FINISH. "Kyaaa...!!!" Teriakan para penonton memenuhi stadion. Itu adalah gambaran pertandingan terakhir Tobey.
Beberapa hari kemudian, Tobey menghadiri wawancara media olahraga. Sang wartawan mempersilahkan Tobey duduk di sofa merah empuk.
"Terima kasih atas kedatangan anda." Wartawan membuka pembicaraan.
"Tak masalah."
"Maaf, mau minum apa?"
"Mineral water."
"Hanya itu? Apa anda tidak mau kopi, teh, atau jus mungkin?"
"Maaf, kita bukan di cafe bukan?"
Wartawan diam. Menelan ludah. Wajahnya terlihat merah sama seperti matanya yang menandakan ia kurang tidur lantaran dikejar deadline. Maklum dunia wartawan. Dunia tanpa koma.
"Baik."
Tobey tersenyum.
"Langsung saja. Bagaimana perasaan anda ketika memenangkan kejuaraan tersebut?"
"Biasa saja."
"Mengapa?"
"Karena itu yang saya rasakan." Jawab Tobey.
Wartawan mengangguk. Entah mengangguk setuju atau mengangguk bingung.
"Bagaimana anda selalu menjuarai perlombaan-perlombaan yang ada? Apakah anda selalu berlatih setiap hari?"
"Tidak."
"Lalu?" Tanya wartawan lagi.
"Hanya berlari dan terus berlari tak kenal matahari. Mencari jati diri."
"Walau peluh telah menetes?" Tanya si wartawan.
Tobey tersenyum.
"Apa maksud anda dengan mencari jati diri?"
"Mewujudkan mimpi, menjalankan asa dalam suatu masa."
"Walau terkadang sering putus asa?" Wartawan bertanya lagi.
Tobey tersenyum.
"Apa anda bangga dengan diri anda sekarang ini?"
"Tidak."
"Mengapa? Bukankah anda seorang pelari hebat?"
"Status bukan sesuatu yang menjanjikan. Hanya papan nama dan jabatan yang dipaku pada dada. Sewaktu-waktu bisa dilepas."
"Lalu?"
"Karena masih banyak mimpi yang belum saya gapai."
"Mimpi?" Wartawan penasaran.
Kali ini Tobey mengangguk mantap.
"Apa gambaran anda tentang mimpi?"
"Maaf, mimpi bukan gambaran tapi sesuatu yang harus diwujudkan."
Wartawan mengangguk. Entah mengangguk setuju atau mengangguk lelah.
"The last question. Apa harapan dan keinginan anda ke depan?"
"Hanya berlari dan terus berlari tak kenal matahari. Mencari jati diri. Mewujudkan mimpi, menjalankan suatu asa dalam suatu masa."
"Walau terkadang sering putus asa?" Wartawan kembali menanyakan.
"Walau terkadang sering putus asa. Kewajaran setiap manusia."
Alat perekam dimatikan sang wartawan. Catatan kecil tentang sang pelari disimpannya baik-baik dalam tasnya. Penting!!! Bukan uang bukan emas. Bukan juga kefanaan. Hanya sedikit kutipan, "Hanya berlari dan terus berlari tak kenal matahari. Mencari jati diri. Mewujudkan mimpi. Menjalankan suatu asa dalam suatu masa."
Tobey tersenyum dan berbisik dalam hati.
"Ini yang ke-1000 kalinya, kawan."
Mereka berjabat tangan.
No comments:
Post a Comment