Sunday, July 11, 2010

Rintik-Rintik



Photos By : Irma Fadhila


Harus bersabar seperti apa sih gue? Setiap hari, selalu saja seperti ini. Capek lama-lama! Susah banget deh orang ini diomongin. Kadang ngebete-in, kadang menghibur. Ck!


40 menit sudah Camisha menunggu di depan tempat lesnya. Makhluk Tuhan yang selalu berada di sampingnya tidak kunjung datang. SMS sudah ia kirim lebih dari 10 kali, telepon sudah ia coba lebih dari 20 kali. Namun, tidak ada balasan ataupun telepon yang diangkat.


To: Ghian

Ghi, gila lo di mana? Cepat ke sini! Udah sepi!!


Hari sudah gelap, udara dingin menyelimuti kulit Camisha yang lembut. Tidak ada siapapun di sekitar tempat les biolanya, karena kebetulan ia mendapatkan giliran les malam. Ia ingin Ghian segera datang, menjemput dirinya, dan membuat dirinya merasa aman dan nyaman.


I wish I could drive...


Tidak lama kemudian, Ghian datang bersama Honda CRV-nya. Ia berusaha untuk keluar dari mobil dan memohon maaf kepada Camisha yang sudah masuk mobil terlebih dahulu tanpa mendengarkan penjelasan Ghian.


“Camisha yang cantik, pintar, baik, rajin menabung, rajin membantu orang tua, maafin gue ya? Gue juga nggak nyangka banget kalau ternyata jalanan macet. Serius deh, Jakarta is unpredictable!” Sambil mobil dijalankan, Ghian meminta maaf kepada Camisha dengan mimik yang serius. Sementara, Camisha masih memasang wajah kesalnya sambil memasang seatbelt.


“Ah, lo gimana sih Ghi? Capek tadi gue nungguin lo, 45 menit! Bayangin! Tempatnya sudah sepi, gelap. Untungnya gue masih dilindungi sama Tuhan supaya nggak ada orang jahat tiba-tiba muncul di depan mata gue tadi. Tapi ya kalau macet memang mau diapakan lagi sih, susah, susah!”


Camisha lucu banget kalau lagi ngomel-ngomel, menggemaskan.


“Hmmm, ya sudah, tenang tenang. Maaf lagi ya?”


“Nggak tahu ah, seharusnya kan lo berangkat lebih pagi kalau sudah tahu keadaan Jakarta seperti itu, Ghi. Gue mau tidur saja, ngantuk banget!” Camisha langsung mengambil bantal favoritnya yang berwarna merah dan memang Ghian sengaja belikan untuknya jika ia ingin tidur di mobil Ghian. Bantal itu ia senderkan ke jendela mobil.


Enak banget gerimis. Makasih Tuhan, sudah mengirim gerimis di malam hari yang mengesalkan. Setidaknya, gerimis membuatku merasa lebih lega. Tidur di dalam gerimis memang indah.


15 menit berlalu, sepertinya Camisha sudah terlelap dalam mimpinya. Ghian memandangi wajah Camisha dengan penasaran. Ia sengaja mencuri-curi waktu di dalam kemacetan Jakarta, karena hanya itulah kesempatan Ghian untuk mengelus kepalanya pelan, lembut, dan berhati-hati.


Setelah menempuh 45 menit perjalanan, akhirnya Ghian berhenti di sebuah restoran dim sum yang terkenal di daerah Barito. Ia ingin membuat Camisha merasa aman dan nyaman apabila sedang berada di sampingnya.


“Cam, bangun, bangun, bangun.” Ghian menepuk pundak Camisha pelan dan hati-hati.


“Eh? Sudah sampai di rumah gue emangnya?” Camisha masih setengah memejamkan mata, pertanda masih ngantuk dan ingin segera meraih kasur di kamarnya.


Nope. Coba saja lihat, kita lagi di mana.”


Camisha merapikan poninya yang berantakan menutupi mata karena tidur tadi. Ia membuka matanya perlahan-lahan untuk mengetahui keberadaannya sekarang.


“Ya ampun! Dari tadi pas gue nungguin lo jemput, restoran dim sum ini sudah membayang-bayangi pikiran gue! Gila. Lo tetap dan selamanya akan jadi sahabat gue yang paliiiiing baik, yang nggak akan bisa gue lupakan!” Camisha refleks memeluk Ghian sebagai tanda terima kasih seorang sahabat sejati. Namun, Ghian merasa seperti tersetrum oleh kata-kata dan pelukan Camisha yang baru saja terjadi.


Gue selamanya hanya akan jadi sahabat lo Cam? Nggak bisa lebih? Kenapa lo nggak pernah ngerti apa yang gue rasakan? Gue selalu mencoba untuk membuat lo tersenyum dan senang setiap hari. Ternyata gue memang tidak memiliki kesempatan. Life is pathetic.


My pleasure, girl. Ayo ah kita turun! Gue sudah lapar banget nih! Pasti lo juga kan?”


Gue selalu tahu dan hafal kapan lo akan lapar, Cam. Lo memang susah ditebak, tapi menebak diri lo justru merupakan teka-teki paling indah yang pernah gue pecahkan. Gue senang bisa menjadi seseorang yang mengerti diri lo, luar dan dalam.


“Menurut lo? Gilaaaa, ga sabar gue mau melahap hakau!”


Camisha yang saat itu sedang menggunakan rok selutut bermotif bunga-bunga pink muda dengan t-shirt putih dan converse pink, berlari-lari kecil menuju restoran dim sum favoritnya, sambil menikmati gerimis di atas kulitnya yang lembut.


Ghian yang memang terkenal memiliki suara unik, refleks menyanyikan lagu “Singing In The Rain” oleh Frank Sinatra.


I´m singin´ in the rain

Just singin´ in the rain,

What a glorious feeling,

And I´m happy again.


Akhirnya mereka sampai di dalam restoran tersebut dan langsung mencari tempat duduk, karena saat itu kondisi restoran sedang ramai oleh pengunjung yang keluar dan masuk. Seorang pelayan memberikan mereka tempat duduk di pojok sebelah kanan yang dekat dengan akses untuk keluar menuju taman yang indah yang memang dikelola oleh restoran tersebut.


You sang that song! It was awesome. I love your voice!”


Only my voice, Cam? Not me?


Thanks Cam.. Ayo kita pesan pesan pesan! Terserah mau pesan apa saja, hari ini semua gue yang tanggung deh! Hitung-hitung menghapus dosa gara-gara telat jemput lo! Hehehe”


YEAH! All you can eat dong, Ghi? Maaf ya, kalap nih!”


No problem. Silahkan, silahkan nona…”


Ini yang membuat gue sangat menyayangi lo. Lo nggak pernah jaim, lo selalu bertingkah laku apa adanya. Gue nggak tahan, ingin mengatakan semuanya.


Mbak, mau pesan ya. Hacok, Hakau, Somay, Lo May Kay, sama Lumpia. Semuanya seporsi saja ya.” Camisha memesan dim sum yang begitu banyak kepada pelayan restoran tersebut.


“Hahaha gila lo Cam! Lapar berat nih, pasti!”


“Hehehe, maaf maaf. Tapi tenang aja kok, gue nggak habiskan semuanya sendiri. Makannya sharing saja gimana? Kan biar lebih seru tuh.”


“Siap buuuu..”


Anyway, gue minggu depan mau konser biola nih. Nonton yeee jangan lupa!”


Really? Gue pasti nonton, pasti! Gue akan tepuk tangan paling kencang dan motret lo paling banyak deh! Keep my promise! Hehehe..”


“Hahaha gila. Ternyata seorang Ghian memang sahabat gue yang paling baik!” Camisha sengaja menyenggol bahu Ghian dengan telapak tangannya.


Ghian tersenyum senang dan was-was mendengar pernyataan Camisha tersebut. Tetap saja, di mata Camisha, Ghian adalah sahabatnya. Sahabat. Tidak mungkin lebih dari itu.


“Dan paling NO-RAK! Hahahaha!” Camisha menambahkan kalimat yang sebelumnya terdengar belum selesai dengan pernyataan yang membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak di dalam restoran tersebut, sampai semua pengunjung restoran menengok ke arah tempat duduk mereka.


Setelah mereka saling tukar cerita, akhirnya pesanan dim sum datang dan diantar oleh pelayan yang sama, yang sebelumnya melayani mereka. Pelayan tersebut sangat kaget karena semua dim sum langsung ditarik oleh Camisha dan Ghian dan dimakan dengan sangat lahap.


I'm full!! Gila kenyang parah gue Ghi! Thank you ya..”


"My pleasure.. Gue juga kenyang banget nih.."


Camisha langsung menarik tangan Ghian untuk beranjak dari tempat duduk tersebut setelah Ghian mengeluarkan dua lembar 50 ribuan kepada pelayan restoran.


Ya ampun, seandainya lo menarik tangan gue bukan sebagai sahabat, Cam.


“Iyeee sama-sama. Where are we going, Camisha?”


I really want to feel the fresh drizzle outside. Gue mau jalan-jalan di taman. Mau ikut?”


Sure, yuk!” Ghian langsung berjalan di belakang mengikuti Camisha yang sudah berjalan menuju taman tersebut. Ia meremas-remas jarinya sendiri, tidak kuat untuk menahan semua hal yang telah ia tutupi selama beberapa tahun.


Camisha berdiri di tengah-tengah lapangan yang dikelilingi rumput-rumput dengan bunga kecil dan merasakan rintik-rintik air dari gerimis di sekujur tubuhnya. Ia berputar-putar di tempat, mencoba menghirup tanah dan rumput yang basah.


Does it feel great?” Ghian memecah keheningan yang sedang Camisha nikmati di bawah gerimis malam Jakarta.


Camisha mengangguk dan langsung berputar-putar di sekeliling taman lagi, seperti yang sebelumnya ia lakukan. Ghian sudah mengerti Camisha, ia senang melakukan hal ini. Namun, Camisha belum pernah menikmatinya seperti malam ini, begitu khusyuk dan niat.


Sepertinya gue harus berbicara pada Camisha malam ini. Gue sudah nggak tahan, nggak kuat untuk memendam semuanya. Semuanya keterlaluan.


“Cam.. Gue mau ngomong dong. Penting.” Ghian mengikuti gerakan Camisha di bawah gerimis dan langsung menarik tangan Camisha agar dapat berbicara 4 mata dengannya. Semuanya tetap terjadi di bawah gerimis.


“Hmm..?” Camisha masih tidak peduli, namun ia mengikuti perintah Ghian untuk menatap matanya.


“Cam, you’re not here. Please, I need you. Jangan kacangin gue dong, it’s important.”


Just tell me, Ghian.” Camisha memainkan rambutnya yang sudah basah dan melemparnya seakan rambutnya adalah kertas.


I love you, Cam.”


Yeah I know. I love you too..”


What?!”


As best friend, right? I will always love you Ghi..” Camisha langsung memeluk Ghian erat, a friendly hug yang berlangsung sangat lama.


But I love you in a different way. You know, I really mean it.” Mereka masih berpelukan erat, masih pelukan sahabat. Ghian sadar, sepertinya ia telah mengeluarkan kata-kata yang salah dari mulutnya.


Ghian…. Sahabat gue….. Ternyata….


Camisha tersentak. Terkejut dengan pernyataan Ghian yang membuat sekujur tubuhnya lemas. Ia langsung melepaskan pelukan tersebut dan berjalan mundur sambil menatap Ghian tidak percaya. Mulutnya masih terbuka, tidak tahu ingin mengatakan apa, speechless.


“Cam. Gue nggak perlu tahu jawaban lo, nggak apa-apa kok. Gue… Cuma ingin mengatakan yang sejujurnya. Gue nggak kuat menahan ini semua. Kita masih bisa sahabatan seperti biasa.... Gue berharap seperti itu.” Ghian mengatakannya dengan mimik serius dan kelihatannya ia menyesal dan merasa bersalah.


“Lo gila Ghi. Lo gila. Gue appreciate dengan semua yang telah lo lakukan buat gue, tapi ini sama saja dengan lo mengkhianati persahabatan kita, Ghian. Gue nggak menyangka, sumpah.” Camisha tertunduk lemas di sebuah pojokan dengan bangku taman di sampingnya.


“Maafin gue Cam.. Gue tahu gue salah.” Ghian mencoba untuk menatap Camisha yang tidak menghiraukan dirinya.


Please, lo jangan ngomong apa-apa lagi. Gue nggak tahan. Thanks for today, I really have to go.” Camisha mengambil tasnya yang ia titipkan di restoran dim sum tersebut dan langsung pulang menggunakan taksi yang kebetulan sedang berhenti di depan sana.


Ghian benar-benar tidak mengatakan apa-apa lagi, tidak menghentikan Camisha, ataupun mengejarnya. Ia tahu sifat Camisha yang tidak pernah ingin diganggu. Ghian tahu semua mengenai Camisha, terlalu tahu, sampai-sampai ia tidak memperhatikan batas sebuah persahabatan.


Segalanya berlalu seperti gerimis, rintik-rintik hujan. Ada saat di mana suatu kejadian terjadi dengan cepat atau lambat, jatuh perlahan-lahan, seolah takut untuk mengungkapkan. Seperti gerimis. Ada juga saat di mana suatu kejadian harus berhenti, entah dengan baik atau buruk, seperti gerimis. Dimulai dan diakhiri dengan gerimis. Perkenalan dimulai di depan sekolah saat rintik-rintik hujan turun, dan semuanya diakhiri di taman saat rintik-rintik hujan mulai membentuk hujan yang sesungguhnya.


Taksi berwarna biru muda tersebut hilang dari pandangan Ghian. Ia menyesal dan merasa kehilangan. Ia hanya bisa berdoa dan berharap agar Camisha baik-baik saja tanpa dirinya.



-Irma Fadhila

No comments:

Post a Comment