Tuesday, June 29, 2010

Sebuah Lensa yang Berbicara


Hidup sebagai fotografer bukanlah hal yang mudah. Memang, kelihatannya memang sangat simpel; hanya berteman dengan sebuah kamera dan berbagai jenis lensa dari yang kecil sampai yang besarnya mengalahkan kamera itu sendiri, namun sebenarnya kehidupan sebagai fotografer sangat lebih dari itu. Seorang fotografer bukan hanya menjalankan tugas asal potret sana-sini, namun seorang fotografer harus mampu membahasakan foto jepretannya. Seorang fotografer harus mampu mengalirkan foto jepretannya ibarat sebuah cerita, memampukan orang lain membaca makna dibalik obyek-obyek yang dia ambil.

Sejujurnya menurutku seorang fotografer adalah salah satu pekerjaan tersulit yang pernah ada di dunia, karena dia harus mampu menyorot dunia lewat sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Dan asal kuingatkan saja, itu sangat tidak mudah.

Halo. Namaku Yudhis - dan aku adalah salah satu fotografer freelance yang bertebaran di sekitar Jakarta, lebih khususnya di Jakarta Selatan.

Ketertarikanku di dunia fotografi dimulai sejak aku kecil, mungkin sekitar saat aku berusia tujuh tahun. Saat itu Ayah memberiku sebuah kamera polaroid sebagai hadiah ulang tahun, lalu beliau berpesan agar aku bisa menggunakan kamera itu dengan baik, mengingat harga mencetak foto polaroid saat itu tergolong mahal. Dengan bersemangat aku langsung menekuni kamera mungil itu, mulai memotret berbagai hal, lalu mencetak hasil-hasilnya menggunakan uang jajan yang aku tabung, ditambah dengan uang dari Ayah. Lama kelamaan koleksi foto buatanku mulai bertambah banyak dan kualitasnya semakin bagus, karena aku selalu membawa kamera polaroidku kemana-mana. Hal itu terus berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA, dan aku memutuskan untuk menjadi fotografer. Untung sang Ayah tidak cerewet dengan keputusanku, dia bilang selama cita-citaku halal maka dia akan terus mendukungku, apapun cita-citaku itu.

Dukungan moral dan material dari Ayah membuatku menjadi seperti sekarang. Walaupun aku tidak dikontrak oleh perusahaan manapun, namun ada saja orang yang mau menggunakan jasaku. Mulai dari foto pre-wedding, foto produk, sampai foto untuk yearbook SMP dan SMA. Aku belum berpikir untuk membangun sebuah perusahaan jasa fotografi, karena aku merasa masih cukup mampu untuk meng-handle semua pekerjaan dan deadline yang dibebankan para klien kepadaku. Nanti jika aku merasa sudah cukup berpengalaman untuk membangun sebuah perusahaan jasa fotografi, baru aku akan memperluas sayapku lebih lebar lagi.

*

Hari Pertama

Hujan. Sial! Sudah satu jam lebih hujan mengguyur daerah Grogol, sudah satu jam lebih aku berdiri tak bergeming di halte TransJakarta yang disesaki puluhan manusia, dan sudah satu jam lebih pula belum ada bus yang datang untuk membawaku pulang ke Pejaten. Aku mengelap keringat yang berjatuhan dari dagu, sebuah aktivitas yang sudah aku lakukan berulang kali sejak halte ini dipenuhi calon penumpang bus. Awalnya halte ini memang tidak panas karena belum banyak calon penumpang, namun bus tak kunjung datang, menjadikan halte sempit ini menjadi seakan kurang oksigen. Aku mencoba untuk mencari ruang agak luas, namun tidak bisa. Maju kena, mundur kena. Aku hanya bisa menghela nafas panjang sambil berdoa dalam hati agar paling tidak, ada sebuah bus (mau kosong mau penuh, aku tidak peduli) yang bisa membawaku keluar dari halte sumpek ini.

Lima belas menit berlalu, namun tetap saja aku belum beranjak dari tempatku berdiri tadi. Malahan calon penumpang semakin banyak, dan kebanyakan dari mereka sedang mengumpat. Ya, mengumpat tentang ketepatan waktu bus yang dimiliki pemerintah kota Jakarta - bus yang (katanya) bisa menjadi solusi kemacetan yang menjadi masalah nomor satu di kota besar ini.
"Gimana sih, mana nih busnya!"
"Ngomongnya biar nggak macet... Bohong banget sih... Ini mah namanya nambah macet..."
"Uh! Seandainya tadi gue bener ngikut si Rosa naik taksi! Pasti nggak usah desek-desekan kayak begini kan!"
Telinga tajamku mendengar satu demi satu umpatan dan keluhan calon penumpang yang bernasib sama denganku. Ya, sejak tadi sih sebenarnya aku juga mau mengumpat, tapi aku malas. Toh semua umpatanku sudah diwakilkan mereka, karena aku persis merasakan apa yang mereka semua rasakan.

Tanganku kemudian sibuk merogoh HP dari saku celana. Ketika aku mau menelepon rumah, tiba-tiba batere HP-ku habis. "Sial banget gue hari ini!" umpatku dalam hati sambil kembali memasukkan HP ke saku celana yang sama. Karena bosan (batere HP kosong = tidak bisa meng-update status Twitter atau nge-BBM orang), aku memutuskan untuk melihat orang-orang di sekelilingku.

Kebanyakan dari mereka adalah orang kantoran, jam segini memang jam keluar kantor. Mereka semua sepertinya sudah sangat lelah, ditambah lagi dengan bus yang tak kunjung datang. Dalam hati aku merasa kasihan kepada mereka, karena pasti mereka tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Bus TransJakarta pasti merupakan transportasi mereka sehari-hari, dan absennya bus seperti ini pasti akan menghambat laju transportasi mereka. Seorang ibu menggendong bayinya berdiri tak jauh dari tempatku. Yang ini lebih kasihan lagi. Si bayi sepertinya sangat kelelahan dan lapar, buktinya dia tak berhenti menangis, sementara si ibu dengan sabar menepuk-nepuk punggung bayinya, mungkin untuk membuatnya tertidur. Aku kembali melihat ke sekeliling ketika mataku menangkap sebuah figur yang menarik bagiku.

Seorang perempuan berambut pendek dengan pakaian casual menarik perhatianku.

Dari tempatku berdiri memang tidak terlalu jelas pakaian apa yang dia pakai, namun aku percaya dia mengenakan t-shirt warna kuning dan celana jeans. Dia menggendong sebuah tas ransel berwarna putih yang sepertinya tidak terlalu berat. Dengan cueknya dia membuat gelembung balon dari permen karet yang sedang dikunyahnya, mengingatkan aku akan tokoh novel Lupus, bedanya ini perempuan. Gaya rambutnya yang sangat unik membuat dia begitu kelihatan berbeda diantara orang-orang lain yang sedang ikut mengantri di halte ini.

Ingin sekali aku menyapanya, mungkin mengetahui sepenggal nama. Namun sepertinya hal itu sangat tidak mungkin terjadi, tidak mungkin terjadi ditengah-tengah halte dengan puluhan orang mengantre ini. Jadi kuurungkan saja niatku, sambil pelan-pelan berdoa dalam hati agar Tuhan dapat mempertemukan aku dengannya lagi.

*

Hari Kedua

Hari ini, aku akan pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di daerah Grogol (lagi, huh!). Ada sebuah pameran desain grafis yang dilaksanakan oleh salah satu universitas swasta di Jakarta, dan panitianya memintaku untuk menjadi fotografer di acara mereka. Sekitar jam 10 pagi, aku meluncur kesana, lagi-lagi dengan TransJakarta.

Acara pameran desain grafis ini dilaksanakan selama tiga hari. Setibanya aku disana, belum terlalu ramai, namun ada beberapa panitia yang sudah berdatangan dan sibuk mengecek ulang persiapan acara. Begitu aku datang, ketua panitia si Erna langsung menyalamiku.
"Pagi Mas! Cepet banget datengnya?" tanyanya dengan suara ramah.
"Iya dong, kan gue panitia juga. Masa datengnya ngaret sih?" jawabku sambil tersenyum kilat.
Erna kemudian pamit untuk kembali mengerjakan tugas-tugasnya, aku juga langsung mempersilahkannya karena dia memang terlihat sangat sibuk.

Dengan santai aku berjalan mengelilingi tempat pameran, ketika tiba-tiba aku melihat dia lagi. Gadis yang kutemui di halte TransJakarta kemarin. Rambut uniknya masih seperti kemarin, dan hari ini dia memakai polo shirt warna putih dan celana jeans acid wash. Lagi-lagi aku melihat dia sedang mengunyah permen karet. Dia berbalik menghadapku dan aku bisa melihat ID Card yang dikalungkan di lehernya. Ternyata dia adalah salah satu panitia acara ini! Entah mengapa jantungku langsung jumpalitan.

Tanpa sadar aku langsung berjongkok di lantai, mengeluarkan kamera dari tas kameraku, lalu mengarahkan fokus kamera kepada gadis itu. Dia berada agak jauh dari tempatku berdiri, jadi sepertinya memotret dirinya dalam mode candid adalah hal yang terbaik saat ini. Aku menempatkan jari telunjukku di atas tombol shutter lalu menekannya dalam kecepatan half-speed, mencoba mencari momen yang tepat sebelum benar-benar memotretnya karena aku tahu ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Dan... KLIK, dapat! Ekspresi naturalnya saat dia menoleh kepadaku. Aku langsung melihat hasil fotoku dari layar LCD kamera, dan tersenyum puas.

Akhirnya aku mendapatkan sebagian kecil dari dirinya yang bisa kulihat lekat-lekat sebelum aku tidur setiap malam.

*

Hari Keempat

Aku tahu, sudah dua hari aku tidak meng-update berita tentang pertemuanku dengan gadis mungil ini. Kami memang tidak pernah bertemu selama acara pameran desain grafis kampusnya. Aku sibuk dengan pekerjaanku, dan dia juga sepertinya sibuk dengan urusan ticketing (kutanya kepada Erna, namanya Sasha, dia koordinator bidang ticketing). Justru tugasku sebagai fotografer membuatku lebih punya banyak kesempatan untuk mengabadikan dirinya dalam lembaran-lembaran foto. Tentu saja dalam mode candid, tidak mungkin aku tiba-tiba mendatanginya lalu meminta izin untuk memotretnya.

Yang jelas, hari ini adalah hari terakhir pameran desain grafis, dan aku merasa cukup puas dengan hasil foto-foto buatanku selama tiga hari terakhir ini. Bahkan Erna bilang aku adalah seorang fotografer freelance yang cukup berpengalaman, dan lagi-lagi dia mengutarakan ide membuat perusahaan jasa fotografi. Lagi-lagi aku menolak dan lagi-lagi menyebutkan alasanku yang sepertinya sudah semakin klise dan semakin basi dilekang waktu. Erna hanya mengedipkan sebelah matanya lalu berkata, "Ntar gue tanya Sasha deh, mau nggak dia jadi partner bisnis lo! Kalo dia mau, lo bikin usaha fotografi beneran ya, Dhis?" Sial! Keki aku dibuatnya.

Sekarang aku sedang duduk bersantai di Starbucks' Coffee, menyeruput segelas dingin Caramel Javachips. Dengan santai aku meluruskan kaki, menyeruput kopi pelan-pelan sambil mengevaluasi hasil foto dari layar LCD kameraku. Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari belakang, "Maaf... Lo Yudhis ya?"
Aku menoleh dan agak terhenyak menemukan pemilik suara itu, yaitu si gadis mungil yang telah kusukai sejak pertama kali aku melihatnya di halte TransJakarta.
"I... Iya... Gue Yudhis. Ada apa ya?" tanyaku berusaha tenang. Padahal sih sebenarnya jantungku sudah kebat-kebit! Ratusan pertanyaan mulai muncul di benakku. Jangan-jangan dia tahu aku memperhatikannya sejak kemarin. Yang lebih parah, jangan-jangan dia tahu aku memotretnya diam-diam!

Sasha, gadis mungil itu tersenyum ramah. "Gue Sasha," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Yudhis," jawabku sambil menjabat tangannya. Sepertinya tanganku agak dingin saat kami bersentuhan. Ah, masa bodoh lah.
Sasha duduk di kursi depanku, tangannya menggenggam satu gelas Caramel Macchiato. "Em... Lo fotografer acara pameran kampus gue kan?"
Aku mengangguk. Pertanyaan berikutnya...
"Gue cuma mau bilang, you did a great job," dia mengembangkan sebuah senyum. Sebuah senyum hangat yang menghapus kegelisahan hatiku.
"Oh... makasih," jawabku gugup sambil menyeruput minumanku.
Melihat wajahnya dari dekat membuatku semakin gemas. Sasha adalah gadis mungil dengan wajah lucu dan gaya rambut yang ekstrim. Sepertinya dia lebih cocok berambut panjang ikal seperti gadis-gadis kuliah pada umumnya, namun aku suka gayanya yang tidak peduli akan stereotipe. Dia tetap kelihatan manis dan cantik dengan gayanya sendiri.
"Emm... Gue denger-denger dari Erna, lo fotografer freelance, ya?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Tiga bulan lagi kakak gue nikah. Gue bisa minta nomer telepon lo nggak? Kayaknya dia lagi nyari fotografer buat foto pre-wedding, dan kayaknya hasil foto lo lumayan bagus," ujarnya to the point.
Tanpa ragu-ragu aku langsung mengeluarkan dompet dari saku celanaku, lalu mengambil selembar kartu nama dan menyerahkan kartu nama kecil itu ke tangan mungilnya. "Oh, ini kartu nama gue," ujarku sambil menyerahkan kartu nama itu kepadanya.
Sasha tersenyum kecil sambil beranjak dari kursi yang sedari tadi didudukinya. "Oke," ujarnya riang. "Sampe ketemu nanti ya, Yudhis!" Lalu dia pergi keluar dari Starbucks' Coffee.

Aku tersenyum simpul sambil memerhatikan sosok gadis mungil itu keluar dari Starbucks' Coffee. Mungkin sebuah foto akan mengubah semuanya.


Forever yours: Judy Wilhelmina

No comments:

Post a Comment