Rana mengulang kata sederhana itu berkali-kali, mengejanya dalam hati. SA-HA-BAT.
Kata itu sungguh sederhana; hanya terdiri dari 3 huruf vokal yang sama dan tersusun dari 7 abjad namun makna kata itu sungguh dahsyat, berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang bilang makna kata itu tidak akan cukup dideskripsikan walaupun bukunya setebal kitab Babad Tanah Jawi -- ada pula yang bilang makna kata itu sebenarnya sesederhana kata itu sendiri.
Buat Rana, makna kata itu juga sederhana, terdiri dari satu kata: Rahasia.
Rahasia, ya, rahasia. Sesuatu yang disimpan rapat-rapat, tersembunyi dalam senyum, tersembunyi dalam hati. Tersembunyi dalam setiap gelak tawa yang ia bagi bersama sahabatnya, tersembunyi dalam setiap tetes airmata yang sayangnya tidak pernah bisa ia bagi karena tetes airmata itu bukan untuk dibagi dengan sahabatnya... tetes airmata itu untuk sahabatnya.
Kereta mulai bergerak. Lajunya stabil dan cenderung membosankan. Siang itu gerbong kereta sepi sekali, saking sepinya penumpang di hadapan Rana sampai mengangkat kaki ke kursi dengan cueknya lalu selonjoran berbantalkan tas ransel yang ia bawa.
Pemandangan hijau yang ditawarkan di luar menghipnotis Rana. Entah sudah berapa kali Rana melewati ini, kereta yang sama, rute yang sama, pemandangan yang nyaris tidak berubah... tapi sensasinya selalu berbeda. Rana menyukai sensasi itu dan membencinya pada saat yang bersamaan.
Paradoks, seperti perasaannya pada si sahabat.
Kereta ini sudah banyak menyimpan perasaan Rana. Terkadang menyerap sisa tangis Rana yang tanpa sengaja jatuh. Sedikit bagian dari Rana sudah tertinggal dalam kereta ini, dan Rana sadar betul akan hal itu. Karena itulah Rana sayang sekali dengan kereta ini.
Sensasi yang ia rasakan kali ini sungguh luar biasa, berbeda seperti sensasi-sensasi yang ia rasakan dengan kereta, rute, serta pemandangan yang nyaris tidak pernah berubah -- sensasi ini terasa agak sedikit menyakitkan karena kereta ini membawanya pergi jauh dari si sahabat.
Pergi jauh untuk waktu yang lama. Dua kali ganti kalender.
Rana membesarkan volume iPod-nya, berharap ingar-bingar musik itu dapat membuatnya lupa.
Lupa bahwa sahabat dan rahasia itu saling berkaitan; dan itu menyakitkan sekali untuk Rana.
Selalu ada yang tidak bisa terucap dalam setiap perpisahan dengan si sahabat. Selalu ada 3 kata yang menggantung, yang tidak pernah bisa ia keluarkan selama sepuluh tahun belakangan. Selalu ada sesuatu, isyarat, ekspresi wajah... yang gagal diterjemahkan si sahabat.
Selalu.
Gadis itu menerawang ke luar jendela.
...dan orang bilang kamu pintar, Raz, batinnya sedih.
Si sahabat, Iraz namanya. Cowok itu adalah psikolog terhebat yang Rana tahu. Terhebat karena cowok itu bahkan tidak pernah menyentuh hal-hal berbau psikologis tapi ia dapat dengan cepat menebak perasaan Rana. Menebak apa yang ada di pikiran gadis itu, melanjutkan kalimatnya yang terputus, menginterpretasikan hal-hal absurd yang selalu berseliweran di pikiran Rana tapi tak dapat ia ungkapkan secara lisan.
Tapi Iraz selalu gagal menebak hati Rana. Menebak perasaan macam apa yang Rana simpan untuknya, perasaan seperti apa yang selalu Rana rasakan setiap cowok itu menghampiri Rana dengan membawa sebotol jus apel tak peduli jarak kelasnya dan kelas Rana setara dengan tiga kali keliling lapangan basket ukuran normal.
Perasaan itu sering dideskripsikan orang-orang dengan 3 kata: saya. sayang. kamu.
Iraz selalu gagal mendeskripsikan itu.
Rana mengeluarkan sebuah buku kecil bersampul hitam, mengambil pulpen lalu menulis dengan cepat:
Selasa, 10 Oktober 2010
Menyayangi kamu rasanya seperti meminum jus apel dan menelan lemon pada saat yang bersamaan.
Menyayangi kamu membuat saya senang, tersenyum lebar dengan beberapa tetes airmata mengalir di kedua pipi saya karena pada saat yang bersamaan -- menyayangi kamu membuat hati saya sakit.
Menyayangi kamu membuat saya ingin sesuatu yang lebih.
Membuat saya berharap bahwa label sahabat itu bisa naik tingkat.
Membuat saya menuntut kamu untuk menyimpan perasaan yang sama pada saya, padahal tak secuilpun saya berhak untuk menuntut kamu.
Menyayangi kamu membuat saya iri.
Iri pada wanita-wanita yang pernah kamu cintai, karena kamu tidak mencintai saya seperti kamu pernah mencintai mereka.
Menyayangi kamu membuat saya tertawa ketika kamu bilang kamu akan terus menyayangi saya.
Selamanya.
Saya tertawa dan terharu pada saat yang bersamaan, karena saya tahu definisi 'sayang' kita berbeda.
Menyayangi kamu melatih kesabaran saya.
Menyayangi kamu membuat saya belajar menangis dalam diam.
Menyayangi kamu membuat saya ahli menipu. Saya tertawa lebar di depanmu, tertawa di depan layar laptop saat kamu mengetik sesuatu yang lucu... tapi pada kenyataannya saya menangis.
Menyayangi kamu membuat saya rajin berdoa. Berdoa untuk kebahagiaan kamu. Berdoa semoga kebahagiaanmu juga menjadi kebahagiaan saya, berdoa semoga apa yang kamu harapkan sama seperti apa yang saya harapkan.
Menyayangi kamu membuat saya bersyukur saya dilahirkan di dunia ini.
Menyayangi kamu membuat saya merasa disayangi, walaupun tak pernah seperti apa yang saya harapkan.
Menyayangi kamu membuat saya berterimakasih pada hidup karena telah memberikan saya sesuatu yang sangat berharga:
Kamu.
HP Rana bergetar tepat di saat Rana menutup buku kecilnya, memasukkannya kembali ke dalam tas dengan rapi, serapi perasaan yang tersimpan untuk sahabatnya itu.
Jus apel.
Saya akan selalu siap menunggu kamu, Rana, dengan sebotol jus apel di tangan.
You're the best girl friend I could ever had and I could never thank God enough for that.
For you.
Dua tahun ya, Rana... jangan lama-lama. Jus apelnya bisa basi! :P
Rana tersenyum kecil membaca SMS Iraz, menaruh sedikit harapan... andai saja kata girl dan friend tidak terpisah spasi.
Bagus bgt ceritanya. Memang sakit rasanya terlanjur sayang 'lebih' pada sahabat sendiri.
ReplyDelete