Sunday, August 29, 2010

A Gift for not Moving On

Tara memandangi jaket biru itu dengan tatapan kagum. Kira-kira sudah sepuluh menit dia berdiri di toko itu, memegangi jaket biru itu dan membolak-balik jaket itu dengan tatapan ingin.

"Jaket cowok? Buat siapa, Tar?" tanya Ziva yang mengikutinya ke toko pakaian itu. "Bagus warnanya, bahannya juga enak dipake, nih."

"Sebentar lagi Ronald ulang tahun, kan?" Tara memalingkan wajahnya kepada Ziva. "Gimana kalo gue beliin ini buat hadiah ulang tahun dia?"

Ziva memberi tatapan tak yakin. "Lo... yakin mau beliin hadiah buat dia, Tar?"

Tara mengangguk yakin. Walaupun Ronald kini bukan siapa-siapanya lagi, dia merasa harus memberi sesuatu sebagai hadiah ulang tahun untuk mantan pacarnya itu. Bukan juga sebagai hadiah 'sogokan', tetapi sebagai hadiah untuk teman biasa yang sempat menjadi seseorang yang spesial. Tara dengan bersemangat langsung membawa jaket biru itu ke kasir dan membayarnya.

Walaupun Tara tak memungkiri, ingin hatinya menjadikan jaket biru itu sebagai sogokan untuk Ronald.

Setelah Tara membayar jaket biru itu, dia langsung menyeret Ziva ke toko buku. Mereka pergi ke bagian kertas kado lalu Tara langsung sibuk memilih motif dan warna kertas kado yang akan dibelinya sebagai bungkusan hadiah. Pilihannya jatuh kepada kertas bermotif garis-garis warna cokelat, warna kesukaan Ronald. Dia kemudian beringsut ke tempat karton, lalu memilih beberapa karton dan membeli beberapa bolpen warna.

"Buat apa Tar?" tanya Ziva kebingungan.

"Gue mau bikin kartu ulang tahun sendiri buat Ronald," jawab Tara sambil menyunggingkan senyum. Ziva kemudian mengikuti Tara ke kasir untuk membayar semua belanjaannya, lalu mereka keluar dari toko buku.

Ziva tak habis pikir kenapa Tara belum juga beranjak dari bayang-bayang Ronald. Sudah hampir setahun sejak mereka putus, namun Tara tetap menyimpan Ronald di hatinya, di otaknya, di perasaannya. Tara memang dekat dengan beberapa lelaki, namun Tara menganggap mereka semua teman baik. Ronald juga begitu. Sudah hampir setahun dia menjomblo namun anehnya dia sama sekali tidak kedengaran dekat dengan perempuan tertentu atau bahkan jadian dengan perempuan tertentu. Yang kedengaran adalah Ronald kini mengikuti sejuta organisasi di kampus, hampir-hampir mirip dengan Tara yang menenggelamkan diri di Microsoft Word, menyelesaikan novelnya. Obsesi Tara adalah 'menerbitkan novel pertamanya dan dikenal seluruh rakyat Indonesia'.

Sepertinya Tara dan Ronald menunggu salah satu untuk pergi, namun sebenarnya sama sekali belum ada yang beringsut pergi dari tempat mereka masing-masing.

*

Telepon berbunyi saat Tara sedang sibuk membungkus jaket biru hadiah ulang tahun Ronald. "Halo?" jawab Tara malas-malasan.

"Tar, lo harus tau ini," suara Ziva terdengar buru-buru.

"Apaan?" jawab Tara penasaran.

"Baca Twitter-nya Ronald deh."

"Ada apaan sih Ziv?" Tara semakin penasaran. Entah kenapa jantungnya kini terasa mencelos jatuh dari tempatnya biasa bertengger.

"Udah, baca aja. Susah dijelasin disini." Lalu Ziva menutup telepon.

Tara mendengus kesal. Ziva selalu membuatnya penasaran. Akhirnya daripada dia mati penasaran, dia memutuskan untuk mengecek Twitter-nya Ronald, seperti yang disuruh Ziva. Tulisan di Twitter Ronald membuat Tara tidak bisa bernafas.

"Sorry but I can't love you, G. I realize I'm in love with another girl."

Ketika Tara selesai membaca tulisan pendek dari Ronald itu, entah kenapa perutnya serasa mengaduk seluruh makanan yang dia makan tadi pagi dan tadi siang. Jantungnya juga kembali berdetak namun seolah-olah berdetak untuk keluar dari tubuhnya. Dia memandangi kado untuk Ronald yang setengah jadi, ketika akhirnya dia sadar bahwa dia tidak ingin melanjutkan membungkus kado itu. Alih-alih dia malah menangis untuk sesuatu yang tidak pasti.

*

Zivasha_MR: "Tapi lo harus tetep ngasih kado itu, Tar. Masa itu jaket udah mahal-mahal lo beli, tapi lo nggak jadi kasih ke Ronald, sih?"
Tara1230: "Mau gimana lagi, Ziv... Kayaknya dia udah suka sama cewek lain. Tuh Twitter-nya aja terakhir tulisannya begitu."
Zivasha_MR: "Kita belom tau kan dia suka sama siapa? 50% kesempatannya: lo yang masih disukain dia. Kesimpulannya: 50% ada kemungkinan dia belom bisa pindah ke lain hati. Isn't this what you wanted?"
Tara1230: "Iya sih, Ziv... Lo bener... Tapi bukan cuma itu. Si G itu siapa, lagi?"
Zivasha_MR: "Gue kemaren udah cari tau. Si G itu ternyata juniornya di kampus yang childish setengah mati. Lo bukan saingannya dia deh, Tar."
Tara1230: "Huh, lega dengernya. Tapi soal si cewek yang ditaksir Ronald ini nih! Gue harus tau! Eh tapi jangan-jangan kalo gue ngasih kado ini ke dia, nanti dia kira itu dari gebetannya. Terus nanti dia telepon gebetannya ngucapin terima kasih. Gue penasaran siapa sih itu orang?"
Zivasha_MR: "Yaaa kalo emang kayak gitu pasti gebetannya bingung lah. Ya udah, lo tenang Tar. Gue deh yang cari tau. Tapi lo harus ngasih kado ulang tahun dari lo itu ke Ronald."
Tara1230: "Hmph, iya iya."

Demikian isi chat Ziva dan Tara pada malam harinya. Tara merasa sangat galau dan kebingungan, ketika Ziva menyadarkan dia akan satu hal: 50% kemungkinan, perempuan yang dimaksud Ronald adalah Tara sendiri.

*

Dua hari kemudian, Tara sudah yakin akan memberikan hadiah itu untuk Ronald. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Ronald, dan Tara sudah bekerja sama dengan Ziva untuk cara pemberian hadiah: Tara akan menyerahkan hadiah untuk Ronald (Tara tidak menulis nama pengirim) kepada Ziva, lalu Ziva akan memberikannya kepada Ronald dengan kata-kata 'dari penggemar lo'. Tara tidak butuh ucapan terimakasih atau apapun dari Ronald, dia hanya ingin Ronald mengetahui bahwa dia masih mempedulikan Ronald, apapun alasannya.

Maka semua berjalan sesuai rencana. Ronald kebingungan ketika Ziva muncul didepannya dengan sebuah hadiah di tangan. "Apaan nih?"

"Selamat ulang tahun Ronald," ucap Ziva gembira sambil menyerahkan hadiah berbungkus kertas cokelat itu kepadanya. "Ini ada yang nitipin hadiah buat lo."

"Siapa?" tanya Ronald penasaran.

"Emmm... Gue udah janji nggak bakal ngasih tau namanya. Pokoknya dari penggemar lo. Ya udah ya, gue pergi dulu. Daaaah!" Ziva meninggalkan Ronald dengan tampang kebingungan dan dengan hadiah dari Tara di tangan.

*

"Hah! Kenapa sih nama-nama organ tubuh ini susah banget dihafal?" Tara menutup buku anatomi dengan kesal. Besok dia ada ujian blok, dan sampai sekarang dia belum berhasil menghafalkan bahan yang akan masuk ujian besok.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Tanpa basa-basi lagi, Tara langsung mengambil ponsel di sebelahnya lalu menjawab telepon dengan suara ketus, "Ziv jangan sekarang."

"Ziv? Ziva, maksud lo? Gue Ronald." TIba-tiba tenggorokan Tara kering. Sial! Pasti Ziva membocorkan kepada Ronald tentang pengirim hadiah itu! Bakal gue bakar besok, pikirnya.

"Errrr... Iya maksud gue Ziva. Eh, Ronald... Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun ya," Ziva tak mampu menyembunyikan kegrogiannya di telepon.

"Makasih Tar. Makasih juga ya buat jaket birunya," jawab Ronald tenang.

"Ja... jaket biru? Maksud lo?" tanya Ziva terbata-bata.

"Iya, jaket biru yang barusan lo kasih ke gue lewat Ziva. Tenang kok, besok lo nggak usah bunuh si Ziva, dia nggak ngasih tau gue siapa yang ngasih."

"Terus... Kok lo bisa bilang yang ngasih kado itu gue?"

"Lo lupa ya kalo ini jaket biru yang gue pengenin dari dulu?" tanya Ronald. Tara mengingat-ingat setiap kenangannya bersama Ronald. Nonton bareng, makan bareng, belanja bareng... Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.

Saat itu Tara dan Ronald sedang pergi ke sebuah toko, ketika tiba-tiba Ronald tertarik dengan sebuah jaket biru. "Aku beliin deh buat kamu," ujar Tara waktu itu. Namun belum sempat dia membelikan jaket itu untuk Ronald, mereka putus. Dan Tara langsung lupa tentang jaket biru kesukaan Ronald itu.

"Lo bilang dulu kalo lo mau beliin jaket ini buat gue. Dan ternyata lo emang bener-bener beliin. Makasih banyak ya, Tar," kata-kata Ronald membuyarkan lamunan Tara tentang jaket biru itu. Pantas saja begitu Tara melihat jaket biru itu di toko, dia buru-buru ingin membawanya pulang karena entah kenapa jaket biru itu begitu familiar di matanya, dan jaket biru itu akan terlihat sangat cocok di badan Ronald.

"Sa... sama-sama," hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Tara. "Ron..."

"Ya?" tanya Ronald santai.

"Emmm... are you moving on?"

Lama tak terdengar jawaban dari seberang. Tara mengira Ronald sudah menutup telepon ketika Ronald menjawab, "Kenapa emangnya Tar?"

"Emm... Kemaren gue nggak sengaja liat Twitter lo, terus gue lihat tulisan lo tentang lo suka sama orang lain... Cuma mau nanya aja itu bener apa nggak."

"Cuma mau nanya apa penasaran?" tanya Ronald pendek. Sebuah pertanyaan sederhana namun mampu menusuk jantung Tara.

"Dua-duanya sih, hehehe..." Tara tertawa gugup di telepon.

"Mau jawaban jujur apa bohong nih, Tar?"

"Jujur lah."

"Jujur ya? Emm... Belom." jawab Ronald pendek. Dia menjawab sangat hati-hati dan suaranya menjadi agak pelan.

Lho? Tara jadi tidak mengerti. Maksudnya apa nih, pikirnya kebingungan. "Lho? Maksudnya?"

Ronald tertawa renyah di telepon. "Tara, Tara. Dari dulu lo emang nggak pernah bisa ngartiin sesuatu ya? Kalo lo tanya gue udah move on apa belom terus lo bilang di Twitter gue nulis gue suka orang lain dan gue jawab gue belom move on, maksudnya apa?"

Tara mengulang kata-kata Ronald di kepalanya: dia bertanya apa Ronald sudah move on lalu membeberkan fakta tentang tulisan Ronald di Twitter lalu Ronald menjawab dia belum move on. OH! Itu maksud Ziva toh, pikirnya. Sekarang dia jadi senyum-senyum sendiri. "Oh... Iya, aku ngerti. Hehehehe... Jadi malu."

"Lho? Malu kenapa?"

"Malu abisnya gue telmi. Hehehe. Iya ngerti maksudnya Ronald apa kok."

"Jadi maksud gue apa dong, Tar?"

"Maksud lo... 'orang lain' di Twitter lo itu gue kan?"

Ronald tidak menjawab, dia malah tertawa. Sebenarnya dia wajar tertawa karena sekarang Tara merasa seperti orang yang benar-benar bodoh. "Ya udah, lo ngerti maksudnya kan? Eh, besok gue jemput lo di kampus ya, kita makan siang bareng." Lalu telepon ditutup.

Ya, Tara sangat mengerti sekarang, termasuk mengerti ajakan Ronald makan siang bersama besok.



Forever yours: Judy Wilhelmina

No comments:

Post a Comment