Sunday, August 29, 2010

2 Hati. 2 Pikiran. 2 Suara.

Hari ini berjalan seperti biasanya. Aku pulang sekolah, dijemput supir, ke kantor Ayah, dilanjutkan makan siang di restoran. Hidupku hampa sekali, isinya hanya ada aku yang selalu menguping percakapan Ayah di telepon mengenai bisnis.

"Mau makan di mana hari ini?"

Sebenarnya aku berharap Ayah akan menanyakan kabarku, bagaimana hari-hariku di sekolah, bagaimana hasil ujianku, apakah aku sedang ingin makan atau tidak. Aku ingin Ayah memelukku. Pertanyaan dengan 6 kata yang tidak pernah berubah sedari dulu.
"Terserah Ayah."

"Tok, ke Pondok Indah ya."

Pondok Indah lagi, Pondok Indah lagi. Kalimat itu juga yang selalu Ayah instruksikan pada Pak Totok, supir kami. Pasti kami akan makan di Daisho. Ralat, hanya aku yang akan makan, dan Ayah akan sibuk berbicara dengan rekan bisnisnya di telepon.

"Hm."

Di dalam restoran, aku memesan menu seperti biasanya, Unagi Crunchy dan Tofu Salad, tentunya dengan segelas Ocha dingin. Duniaku sepi sekali, tempat ini juga sepi sekali. Kami duduk di atas sofa besar dan meja yang bisa dibilang terlalu besar untuk 2 orang.

Seorang gadis SMA dengan wajah lesu, masih menggunakan seragam, memasukkan Sushi ke mulutnya dengan sangat pelan. Tidak ada semangat hidup. Sementara seorang laki-laki berusia 40-an duduk dengan jarak 60 cm di sampingnya menggunakan telepon genggam dan sibuk berbicara dengan entah-siapa-itu di dalam telepon tanpa memperdulikan gadis yang duduk semeja dengannya.

Ya, gadis itu adalah aku dan laki-laki itu adalah Ayahku.

"Sudah."

Ayah langsung mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar makananku. 3 menit kemudian, kami keluar dan kembali duduk di dalam mobil dengan keheningan.

Seperti hari-hari biasanya juga, aku diantar pulang ke rumah dan Ayah kembali ke kantor diantar oleh Pak Totok. Di dalam rumah, di dalam kamar, aku dapat mengekspresikan hatiku. Di dalam sana aku tidak perlu keheningan, aku dapat memasang lagu favoritku sekencang-kencangnya, berteriak sepuasnya.

Yang aku tahu, Ayah selalu pulang ke rumah di atas jam 00.00 dan tidak pernah sekalipun menengok diriku di dalam kamar. Aku berangkat ke sekolah pagi-pagi dan Ayah belum bangun dari tidurnya.

Dapat disimpulkan, aku hanya bertemu dirinya di saat-saat tadi, makan siang yang hampa.


----------


Hari ini berjalan seperti biasanya. Aku menunggu dijemput oleh Totok, supirku, dan putri semata-wayangku yang baru pulang sekolah, menjemputku, dan dilanjutkan makan siang di restoran. Hidupku hampa sekali, isinya hanya ada aku yang meneliti bagaimana cara putriku makan.

"Mau makan di mana hari ini?"
"Terserah Ayah."

Sebenarnya aku berharap putriku akan menanyakan kabarku, bagaimana hari-hariku di kantor, bagaimana hasil proyekku, apakah aku sedang ingin makan atau tidak. Aku ingin dia memelukku. Jawaban dengan 2 kata yang tidak pernah berubah sedari dulu.

"Tok, ke Pondok Indah ya."

"Hm."

Sindiran singkat lagi, sindiran singkat lagi. Dehaman singkat itu yang selalu putriku lontarkan di mobil. Aku tidak mengerti. Kami akan makan di Daisho. Ralat, hanya putriku yang akan makan, tanpa menawariku.

Di dalam restoran, putriku memesan menu seperti biasanya, Unagi Crunchy dan Tofu Salad, tentunya dengan segelas Ocha dingin. Duniaku sepi sekali, tempat ini juga sepi sekali. Kami duduk di atas sofa besar dan meja yang bisa dibilang terlalu besar untuk 2 orang.

Seorang gadis SMA dengan wajah lesu, masih menggunakan seragam, memasukkan Sushi ke mulutnya dengan sangat pelan. Tidak ada semangat hidup. Sementara seorang laki-laki berusia 40-an duduk dengan jarak 60 cm di sampingnya menggunakan telepon genggam dan sibuk berbicara dengan entah-siapa-itu di dalam telepon tanpa memperdulikan gadis yang duduk semeja dengannya.

Ya, gadis itu adalah putriku dan laki-laki itu adalah Aku.

"Sudah."

Aku ingin dia mengatakan itu dengan senyuman ataupun sedikit basa-basi. 1 kata untuk sebuah pernyataan dan permintaan sangat tidak berarti dan membingungkan.

Aku langsung mengeluarkan kartu kredit untuk membayar makanannya. 3 menit kemudian, kami keluar dan kembali duduk di dalam mobil dengan keheningan.

Seperti hari-hari biasanya juga, aku mengantar putriku pulang ke rumah dan aku kembali ke kantor diantar oleh Totok. Di dalam kantor, di dalam ruangan, aku dapat mengekspresikan hatiku. Di dalam sana aku tidak perlu keheningan, aku dapat memasang lagu favoritku sekencang-kencangnya, berteriak sepuasnya.

Yang aku tahu, putriku selalu tidur di bawah jam 00.00 dan tidak pernah sekalipun mencari diriku yang pulang di atas jam 00.00. Dia berangkat ke sekolah pagi-pagi dan aku belum bangun dari tidur.

Dapat disimpulkan, aku hanya bertemu dirinya di saat-saat tadi, makan siang yang hampa.


-Irma Fadhila

No comments:

Post a Comment