Sudah setengah jam aku duduk di dalam coffee shop yang dingin ini. Secangkir vanilla latte hangat telah kuminum setengahnya. Aku kerap menjentikkan jemariku ke meja, bahasa tubuh bahwa aku sudah capek menunggu. Hawa dingin dari AC di coffee shop ditambah sedikit orang yang datang, membuatku ingin cepat-cepat keluar. Kalau saja aku tidak membuat janji dengan Kiara, pasti saat ini aku sedang mengerjakan artikel untuk majalah SociaLife edisi bulan depan yang tenggat waktunya akhir minggu ini.
Tak berapa lama kemudian, pintu coffee shop terbuka, dan aku melihat Kiara berdiri disitu. Dia berlari kecil ke arahku. Aku berdiri menyambutnya lalu memeluknya. Kami ibarat dua sahabat yang tidak pernah bertemu, padahal kami kuliah di fakultas yang sama, hanya saja beda jurusan. Aku jurusan Jurnalistik dan dia jurusan Ilmu Politik.
"Percy!!! Apa kabar?" tanya Kiara saat memelukku erat-erat.
"Baik. Kay. Lo?" jawabku tak kalah antusiasnya.
"Ya, begini-begini aja..." jawab Kiara sambil duduk di sofa di sebelahku. Kemudian dia memanggil pramusaji lalu memesan secangkir black coffee, kopi kesukaannya, kemudian merapikan posisi duduknya.
Selagi Kiara merapikan posisi duduknya, aku memandangnya lekat-lekat. Kiara sangat berbeda dengan Kiara zaman SMA dulu. Kiara zaman SMA dulu adalah seorang murid yang biasa-biasa saja dengan rok sekolah yang kepanjangan, kemeja seragam yang kebesaran, rambut panjang yang selalu dikuncir kuda, kacamata berbingkai cokelat yang tidak pernah diganti, tak lupa tas ransel yang selalu dipakainya sejak kelas 1 SMA. Kiara yang dulu selalu memakai sepatu hitam ke sekolah, dan selalu menurut dengan orangtuanya. Jika orangtuanya bilang dia tidak boleh pergi ke pesta ulang tahun si X, maka dia tidak akan pergi. Jika orangtuanya bilang dia harus pulang dari acara nonton film jam 5 sore, maka sebelum jam 5 sore dia sudah pamit pulang. Kiara zaman SMA adalah anak perempuan idaman semua orangtua: sederhana, lugu, pintar, dan tidak macam-macam.
Kiara yang sekarang sangat berbeda dengan Kiara zaman SMA. Baju-baju simpelnya telah tergantikan dengan baju-baju modis dengan warna-warna yang tidak kalah modisnya. Sepatu sekolah hitam telah berganti dengan flat shoes warna-warni. Tas ransel lusuh telah berubah menjadi tote bag warna cokelat, yang isinya selalu sama: dompet, handphone dan rokok. Padahal waktu SMA dia telah berjanji tidak akan merokok dan tidak akan mengencani cowok perokok. Tapi yang aku tahu sekarang, Bimo - pacarnya selama 1 tahun lebih - adalah seorang perokok yang sangat aktif. Wajahnya yang dulu selalu polos kini telah dihiasi dengan make-up. Agendanya yang dulu selalu kosong, sekarang dipenuhi oleh segambreng aktivitas - mulai dari panitia penyambutan mahasiswa baru, panitia bakti sosial, apapun deh. Sebut nama acara, pasti dia ada disitu.
Pokoknya Kiara yang sekarang lambat laun berubah menjadi Kiara yang tidak kukenal.
Seketika lamunanku buyar ketika Kiara menjentikkan jari di depan mataku. "Hoi," ujarnya. "Bengong aja lo dari tadi. Kenapa lo?"
"Hah? Nggak, nggak..." jawabku berusaha memperoleh kesadaran kembali. "Kay, lo tau kan kenapa gue ngajak lo ketemuan disini? Gue sebenernya..."
Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, Kiara keburu memotong. "Perce, lo tau nggak kemaren gue ditunjuk jadi bendahara acara kampus! Ya ampun gue seneng banget. Kan selama ini lo tau gue ngincer itu posisi. Terus, oh iya... maaf ya gue kemaren nggak bales SMS lo. Biasa, orang sibuk, hehe... Kemaren gue ngurusin bisnis kakak gue, yang event organizer itu lho. Jadi HP gue masukin tas terus. Oh iya Perce, gue kemaren kenalan sama peramal lho! Namanya Nando, terus dia ngeramal gue bakal sama Bimo sampe nikah! Lo mau gue kenalin nggak sama dia?"
Aku mendengar cerita Kiara yang terdengar berlebihan itu sambil menyeruput vanilla latte yang sudah mau habis. Entah mengapa vanilla latte yang tadinya terasa enak kini malah membuatku mual. Bukan, bukan soal suhunya yang mendingin, aku justru lebih suka vanilla latte yang sudah dingin. Sepertinya aku mual dengan cerita-cerita Kiara yang kedengarannya tidak penting dan cenderung menyombongkan diri. Cenderung membuatku terintimidasi.
"Ehm," aku mendeham. Kiara berhenti bicara. "Lo... tau kan kenapa gue ngajak lo ngopi-ngopi disini?" tanyaku pelan. Kiara mengangguk, sorot matanya terlihat agak bersalah. Mungkin dia merasa bersalah karena telah memotong kata-kataku.
"Gue cuma butuh temen bicara kok, Kay. Soal gue setelah ditinggal Leonard," jawabku pendek.
Sedetik pertama, wajah Kiara terlihat prihatin melihat raut wajahku. Kemudian anehnya sedetik kemudian dia kembali ceria. "Udahlah Perce, si Leonard gak usah dipikirin. Kata Nando, dalam waktu dekat ini lo bakal dapet pacar baru, kok. Gue kan sekalian nanya soal kehidupan cinta lo ke dia, hehe. Lagian gue udah tau, lo dan Leonard tuh nggak bakal bisa jadi satu."
Apa? Aku seakan ingin mereparasi kedua telingaku, mencoba mencari kata-kata yang salah yang keluar dari mulut Kiara. Oh, soal 'aku dan Leonard tidak akan bisa jadi satu'. Padahal dulu waktu SMA, saat aku jadian dengan Leonard, kata-kata yang diucapkan Kiara adalah "Ya ampun Perce, selamat ya! Gue udah tau si Leonard itu pasti suka sama lo, akhir-akhir ini dia ngedeketin lo terus. Pasti lo berdua langgeng deh!". Dan sekarang dia bilang bahwa aku dan Leonard tidak akan bisa menjadi satu? Tuhan, perempuan macam apa ini? Apa yang telah Kau lakukan terhadap sahabatku?
Aku hanya terdiam mendengar jawaban Kiara yang terdengar sangat menyakitkan di telinga seorang perempuan yang baru dua minggu patah hati. Seharusnya Kiara bisa menjadi sandaranku, dimana pasti sebentar lagi aku akan menangis. Tidak menggurui dengan kata-kata menyakitkan seperti ini.
Kemudian kami terdiam. Aku terdiam karena sedikit menyesal mengapa harus bercerita dengan Kiara, sedangkan Kiara terdiam sambil mengutak-atik ponselnya, sepertinya mengirim SMS kepada seseorang yang tidak perlu kutahu siapa namanya.
Sedetik kemudian dia berdiri lalu berkata, "Perce, maaf banget ya, tapi gue harus pergi sekarang nih. Si Bimo minta ditemenin belajar Kalkulus. Nanti gue SMS lo lagi ya, say..." Lalu dia bergegas menuju kasir, membayar kopinya yang tidak sempat diminum, lalu pergi keluar coffee shop. Meninggalkanku dengan rasa kosong yang menyergap hati.
Mulai saat itu aku tahu, Kiara bukan seperti Kiara yang dulu.
***
"Maksud lo apa, Perce?" tanya Janet di telepon saat aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Kiara tadi sore yang berujung agak menggantung.
"Ya gitu, Net. Kiara nggak seperti yang dulu gue kenal. Ya, gue tau, sejak kami masuk kuliah, Kiara selalu terlihat lebih 'kinclong' dan lebih stand out dibandingkan gue. Dia baru beberapa bulan jadi maba, udah ikut panitia ini-itu. Sementara gue baru beberapa bulan jadi maba, masih adaptasi sama kuliah dan teman-teman baru. Dia jadi ketua angkatan Ilmu Politik 2009, sementara gue jadi mahasiswa apatis di Jurnalistik. Dia baru beberapa bulan kuliah, udah banyak cowok yang ngedeketin. Sementara gue, ada orang yang tau nama gue aja udah untung. Lama-lama seperti ada jurang antara gue dan Kiara, Net. Jurang yang bikin kami jadi nggak tau kabar masing-masing. Dan lama-lama dia seakan mengintimidasi gue. Bilang dia ikut panitia ini lah, itu lah, si A suka sama dia lah, si B suka sama dia lah..."
"Hmm... Ya, ya, gue ngerti. Terus tadi jadinya gimana Perce? Lo sama Kiara?" suara Janet mulai seperti suara sedang menganalisis.
"Ya gitu, Net. Ngegantung banget. Tiba-tiba aja dia cabut, katanya si Bimo mau ditemenin ngerjain Kalkulus. Halah. Bokis banget itu. Gue tau yang namanya Bimo Putra Aksara itu nggak bakal segampang itu mau belajar Kalkulus. Itu mah alasan si Kiara doang kali mau melarikan diri dari gue. Dari cerita-cerita gue yang ngebosenin. Cerita betapa gue masih sakit hati setelah diputusin Leonard dua minggu kemarin."
"Hussss, jangan mikir yang jelek gitu juga kali, Perce. Kali aja si Bimo bener-bener mau belajar Kalkulus, jadi untuk penyemangat belajar dia minta pacarnya nemenin dia. Bisa aja kan? Cerita lo nggak ngebosenin, kali. Cerita patah hati itu pasti dialami semua orang di dunia ini."
"Ya udah deh. Nice talking to you, Net. Lo selalu bisa buka pikiran gue," ujarku sambil menghela nafas.
"Anytime, Persephone. Gue lanjutin belajar dulu ya. Nanti kalo ada apa-apa telepon gue aja lagi." Lalu telepon ditutup dari seberang.
Aku menutup telepon setelah Janet menutup telepon, namun perasaanku jauh lebih lega sekarang. Janet selalu bisa membuka mataku. Walaupun setahun lebih tua daripadaku, namun dia selalu bisa memberi solusi tanpa terkesan menggurui dan sok tua.
***
"Kay, lo dimana? Katanya mau balikin DVD 'Flash Forward' gue? Gue udah di kantin nih..."
Demikian SMS yang kukirim kepada Kiara di kampus tiga hari setelah terakhir kami bertemu di coffee shop.
Dua puluh menit, tiga puluh menit kemudian, namun Kiara tidak menjawab. Aneh, pikirku. Kami berjanji akan bertemu di kantin setengah jam yang lalu, namun sampai sekarang Kiara belum datang juga dan dia tidak menjawab SMS-ku. Padahal aku tahu kelas dia sudah selesai. Apakah dia lupa ada janji bertemu denganku walaupun hanya untuk mengembalikan DVD?
Aku memutuskan untuk meneleponnya. Ketika aku menelepon, tidak ada yang menjawab. HP-nya tidak diangkat. Sial, pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Sharima, temannya di Ilmu Politik yang kutahu dekat dengannya. Mungkin dia sedang ada bersama Sharima.
"Rim?" ujarku setelah Sharima mengangkat telepon.
"Ya Percy, ada apa?"
"Si Kiara ada sama lo nggak?"
"Kiara? Nggak ada, Rim... Hari ini dia nggak kuliah. Lo... lo tau nggak sih kalo dia baru putus sama Bimo?"
Aku serasa tersedak dengan jus jambu yang sedang kuminum. "Hah? Putus? Kenapa? Perasaan pas gue ketemu dia terakhir kali, dia masih seneng-seneng aja tuh..."
"Emm... Sorry Perce, bukannya gue nggak percaya sama lo, tapi gue udah janji sama Kiara supaya nggak kasih tau alasan dia putus ke orang lain... Maaf banget ya Perce. Mungkin lo bisa tanya Kiara langsung?"
Tiba-tiba aku merasa tersinggung dengan Kiara. Halo, aku sahabat Kiara selama lima tahun sejak kami duduk di bangku SMP. Halo, Kiara menangis dan tertawa bersamaku. Halo, dan tiba-tiba sekarang Kiara malah bercerita tentang masalah besar seperti 'alasan dia putus dengan Bimo' kepada orang lain yang baru saja satu tahun menjadi teman dekatnya. Halo, aku dibuang kemana sih sebenarnya?
"Oh, oke. Makasih ya Rim," kemudian aku langsung menutup telepon tanpa mendengar balasan dari Sharima. Rasanya aneh sekali mengetahui fakta bahwa sahabatmu selama 5 tahun kini sudah malas bercerita kepadamu lagi. Rasanya seperti dibuang begitu saja. Masalah putus itu kan masalah besar, bukan cuma sekedar masalah 'baju apa yang harus kupakai ke kampus' atau 'mata kuliah apa yang harus kuambil semester ini'. Dulu waktu Leonard memutuskanku, aku langsung bercerita kepada Kiara dan Janet. Sekarang Kiara putus dengan pacarnya, dan aku harus mengetahui berita itu dari orang lain. Sungguh ironis.
Darahku mendidih. Aku merasa dibuang dan merasa tidak diperhatikan lagi. Seperti hubungan pacaran, bukankah persahabatan membutuhkan komunikasi yang intens? Jika sekarang sudah tidak ada komunikasi, persahabatan macam apakah itu?
***
Sudah dua minggu aku tidak mengontak Kiara. Sepertinya dia juga tidak berusaha untuk mengontakku. Keputusanku sudah bulat: sepertinya kami memang tidak bisa bersahabat lagi. Sebenarnya sulit sekali membuat keputusan seperti ini, namun aku merasa sudah kuat kehilangan seorang teman, seorang sahabat, seorang saudara. Tanpa dia sadari, aku sudah menghapus namanya dari Facebook-ku dan meng-unfollow dia dari Twitter.
"Parah banget lo Perce," begitulah reaksi Janet saat aku memberitahukan tentang aksi Facebook dan Twitter.
Aku mengangguk. "Gue tau kok, emang parah. Tapi mau gimana lagi, Net. Gue udah berusaha bilang kalo gue merasa diintimidasi, merasa nggak dibutuhkan. Kalo dia cuma mau jadiin gue jadi 'sahabat pajangan'-nya, gue mundur. Karena gue nggak suka dijadiin pajangan di rak pajangannya."
Janet hanya terdiam mendengar penjelasanku. "Ya udah, kalo menurut lo itu yang terbaik, go for it. Yang namanya persahabatan kalo udah cuma satu arah pasti udah nggak bener. Lo berhak menuntut hak lo. Kalo dia nggak bisa memenuhinya, mau apa lagi, Perce."
Dan aku sekarang di coffee shop yang sama seperti yang aku datangi dua minggu lalu, dengan Kiara duduk di hadapanku. Raut wajahnya berubah. Bukan Kiara yang ceria dan gembira, tetapi Kiara yang kehilangan semangat hidup. Matanya bengkak, mungkin dia tidak tidur berhari-hari. Kulitnya pucat, mungkin dia bolos kuliah selama dua minggu. Tubuhnya kurus, mungkin dia susah makan.
"Perce... Lo yakin?" tanya Kiara, menatapku dengan pandangan kosong.
Aku mengangguk dan berusaha keras menatap matanya. "Gue... gue nggak berasa jadi sahabat lo lagi, Kay. Selama setahun ini gue merasa diintimidasi sama lo. Soal lo yang eksis, lo yang jadi panitia acara A sampe Z, lo yang jadi inceran semua cowok di kampus. Gue merasa dipojokkan, Kay. Gue tau dan gue bangga karena lo akhirnya bisa mendapatkan semua yang nggak lo dapatkan waktu kita masih SMA. Tapi gue nggak bisa kayak begini terus, Kay."
Kiara tidak menjawab apa-apa. Dia menunduk, pandangannya ke lantai kayu yang dingin.
"Selama setahun ini, kita seakan dipisahkan sama jurang, Kay. Jurang yang gue sendiri nggak tau namanya apa, jurang yang gue sendiri nggak tau cara nyebranginnya gimana. Gue capek jadi bayangan lo. Semua orang bilang 'Oh, si Persephone sahabat Kiara ya?' atau 'Wah, kalo Persephone sih gue nggak tau, tapi kalo lo sebut Kiara, baru gue kenal.'. Gue capek ketakutan sama bayangan lo yang memblok jalan gue."
Kiara masih terdiam.
"Apalagi setelah gue tau berita lo putus, Kay. Gue tau itu dari orang lain. Demi Tuhan, gue langsung ngerasa gue nggak dibutuhin lagi di hidup lo. Dan sampe sekarang gue nggak tau alesan kenapa lo putus sama si Bimonyet itu. Pertama-tama gue penasaran, tapi lama-lama gue nggak peduli lagi. Nggak mau peduli lagi. Untuk apa gue peduli akan seseorang kalo ternyata orang itu nggak peduli sama gue? Untuk sekarang gue bisa dengan bangga bilang sama lo: I hate to say I told you so. Sejak lo jadian sama Bimo gue emang udah curiga ada sesuatu yang nggak baik dari dia. Bener kan? Pertama dia yang bikin lo ngerokok, dan sekarang dia bikin lo hancur kayak begini. Gue sebenernya nggak mau ngebandingin Leonard sama Bimo, tapi dengan berat hati akhirnya gue bandingin juga. Leonard nggak merokok, dia orang baik dan perhatian. Nggak kayak Bimo. At any case, I'm glad that my life is freaking better than yours."
Aku berhenti bicara lalu menghela nafas. Rasanya lega sekali telah mengatakan sesuatu yang telah kupendam berbulan-bulan namanya.
Now it's the final move, pikirku. Aku langsung berdiri lalu membereskan barang-barang dan tasku. Kiara menatapku seolah kaget melihatku mau pergi. "Perce... lo mau kemana?"
"Pergi. Kebetulan gue ada deadline tulisan buat SociaLife. Maaf Kay, tapi gue nggak bisa lama-lama disini. Oh iya, terimakasih udah dengerin uneg-uneg gue. Sekarang mending kita jalanin hidup masing-masing aja ya. Makasih udah mau jadi sahabat terlama gue." Lalu aku pergi keluar, meninggalkan Kiara di dalam coffee shop.
Ya, memang tega. Persephone adalah wanita tertega di dunia ini, sama seperti Persephone istri Hades. Namun aku merasa lega karena akhirnya aku bisa memutuskan sesuatu yang penting dalam hidup ini. Sesuatu yang termasuk golongan prinsipil.
"Kenapa kita diberikan kecocokan berteman dengan seseorang selama bertahun-tahun namun akhirnya terpisah juga?"
"Karena jika kau menjadikan orang itu sebagai pajangan di rak pajanganmu, maka dia akan pergi begitu saja seperti angin."
Forever yours: Judy Wilhelmina
No comments:
Post a Comment