I can easily remember the place
Our conversation
Your laugh, your smell, your hugs.
Just like today.
Aku berada di tempat ini lagi. Perumahan padat tempatku menyewa tempat kos dulu. Baunya masih sama, bau masa lalu. Ku susuri gang menuju ke rumah itu, sambil menoleh ke sebelah kanan. Warna tembok-tembok ini dulu kusam. Sekarang tersihir jadi warna-warna cerah. Tersadar akan sesuatu, aku mempercepat langkah sambil terus melihat ke arah kanan. Mencari gerbang hijau. Persis seperti dugaanku hanya gerbang ini yang tidak barubah.
Di depanku kini tempampang gambar yang terbuat dari kertas stencil dan aeorosol 300cc. Aku meraba permukaan gambar itu. Bibirku membentuk senyum. Pusaran masa lalu menjerat aku masuk ke dalamnya.
“Gimana nih Kak caranya?” aku memencet botol pilox yang tidak mengeluarkan cairan berwarna.
“Dikocok dulu.” Kata dia.
“Gini?” tanyaku mengocok benda itu sambil memencetnya. Dan cairan itu munyembut keluar, ke arah rambutnya.
“AAA!” kita teriak bersamaan.
“Kuning gak rambut gue?” tanyanya panik.
“Ha..ha..ha..ha..” aku hanya membalas dengan tawa.
Dia memasang wajah makin cemas. Hanya sebentar, lalu ia ikut tertawa bersamaku.
Semilir angin mengusir hayalan itu pergi. Menyisakan aku dan gambar anak laki-laki dan perempuan.
Aku menghempit erat tas yang ku bawa, dan melangkah pasti ke tempat berikutnya. Rumah itu yang berpagar abu-abu. Sepanjang jalan aku ingat bayangannya yang berlari di tengah hujan. Waktu itu kami baru pulang dari mencari empek-empek, tiba-tiba di perjalanan pulang hujan deras mengguyur kami. Aku, adik perempuannya yang sebaya denganku, dan dua teman sekamarku kepayahan menyusul larinya yang sangat kecang. Setelah berjarak cukup jauh dengan dirinya aku berhenti berlari hanya untuk merasakan dua keindahan di depanku. Lukisan dari hujan, sepaket dengan wangi, dingin, dan percikan airnya yang riuh rendah, menyatu dengan dirinya yang menggunakan sweater merah, berjingkat-jingkat cepat, sambil merunduk di depanku.
Pagar abu-abu. Di sebelah kanan pagar, ada benda kecil yang menempel dengan tembok. Benda yang paling aku dan dia suka. Dipencet bukan saat tiba di rumah, malah saat sebelum berangkat. Beda dengan rumah lainnya yang memilih bunyi ting-tong! atau tet! yang kalau ditekan, bell di rumah itu justru kalau di pencet mengeluarkan bunyi burung hantu.
Dengan tidak sabar aku memencet benda itu. Dan benda itu pun menyaut kencang.
KIW KIW KIW KIW!
Sekali, tidak ada yang merespons, aku memencet sekali lagi, dan lagi-lagi suara burung itu berkumandang di seluruh isi rumah.
Lalu terdengar suara teriakan dari dalam.
“Sebentar..”
Suara ibunya. Ibu kos, ibu dari dirinya dan sahabatku yang merupakan adiknya.
“Ibu..” sapaku saat melihat mukanya muncul dari balik pintu. Beliau terlihat lebih kurus dan rambut megarnya sudah bertambah panjang.
“Eh! Ya ampun! Nak Rey..apa kabar kamu?” tanyanya sambil membuka kunci pagar.
“Baik Bu. Ibu apa kabar?” tanyaku balik. Bu Susilo dan Pak Susilo sudah ku anggap seperti orang tua sendiri selain Papa dan Mama.
“Baik-baik Nak.” Jawabnya lagi sambil menyalamiku “Mau ketemu Chia ya?” mungkin hal ini yang paling ingin beliau tanyakan dari pertama melihat wajahku lagi tadi.
“Enggak juga, ngapain ketemu dia, males. Mending ketemu Ibu.”
Dan kami tertawa renyah.
“Ayo masuk Nak masuk.” Ajaknya
“Iya Bu.” Aku mengangguk pelan sambil mengikutinya dari belakang.
Langkahku kembali terhenti. Aku menoleh kebelakang, ke arah pintu masuk tadi di
Saat memalingkan wajah ke depan, ada sudut ruangan bagian depan dan jendela di sisi kanannya. Biasanya dulu aku duduk di situ, menunggu dirinya pulang. Aku bisa melihat bayangan diriku duduk di
Aku terus masuk ke dalam rumah yang luas memanjang. bermacam potongan kenangan menyerbu diriku, seperti melihat film yang lebih nyata. Dia yang berjalan dari arah dapur menuju kamar, dia yang mengerjakan tugas kampusnya di ruang tamu hingga pagi datang, dia yang bermain skateboard dalam rumah, dan aku yang menemaninya saat dia sendirian.
Aku memerhatikan detail staklar lampu yang pernah dilukisnya. Sekumpulan poster di kiri dinding yang dia pasang, pintu kamarku, pintu kamarnya, dan mataku terpaku pada foto dirinya di atas sebelah kanan pada dinding ruang tamu. Wajahnya dan senyum khasnya. Hanya dirinya.
“Maaf ya kemaren aku ninggalin kamu di sini sendirian, janji deh aku gak bakal ninggalin kamu sendirian lagi.” janjinya saat mendapatiku menangis karena di tinggal dirinya tanpa kabar selama 3 hari.
Dan air mata ini tak bisa ku tahan.
Tepat setelah tetesan yang pertama Chia keluar dari kamarnya. Ia tampak terkejut melihat diriku.
“WOI! Ngapain Lo Coi!” dia tertawa senang sambil melompat ke arahku dan memelukku erat sekali.
“Ha..ha..ha..Chia Chia lepas ah! Gak bisa nafas nih!” pintaku sambil memukul lengannya.
“Kemana aja lo?” tanyanya lagi.
“Elo yang kemana aja? Gak pernah maen ke rumah gue.”
“Sorry Rey, abis rumah Lo jauh.” Dia tertawa cengengesan.
“Kayak rumah ini gak jauh deh.”
“Iya deh sorry, sorry, Gue janji bakal maen ke rumah Lo sebelum Gue umur 30.”
“3 tahun lagi tuh.”
“Kalo gitu sebelum kita berumur 50 tahun deh.” Tambahnya.
“Eh eh..bagus ya nunggu beranak-cucu dulu Lo baru mo maen ke rumah Gue?” godaku.
Chia makin cengengesan.
Lagi-lagi mataku secara otomatis melihat ke arah foto itu. Chia mengikuti arah pandangan mataku.
“Sebenernya ada yang mau Gue kasih ke Elo waktu pemakamannya. Tapi Elo gak dateng sih.” Suara Chia berubah lirih.
“Gue dateng Chia. Gue dateng.”
“Hah? Tapi kok gue gak liat Lo?” Chia menoleh ke arahku, bingung.
Sambil tersenyum aku menatapnya dan menjawab “Terlalu sulit untuk gak berlinang kayak gini.” Tunjukku ke arah mata yang mulai membajir. “Jadi, gue milih semua orang pulang, baru gue dateng dan nangis kayak orang kesurupan. Untung alamatnya udah Lo sms ke gue. Jadi waktu itu gue bisa ke
“O..PANTES! yang taroh bunga dan kue kesukaan
Aku mengangguk.
Bu Susilo datang dari arah dapur sambil membawa minum.
“Aduh Bu gak usah repot-repot. Rey masih afal kok dapurnya di mana.” Aku menahan Bu Susilo menurunkan cangkir dari atas nampan.
“Gak apa-apa nak Rey, ijinin ibu buatin kamu minum sebelum ibu berangkat. Maaf ya ibu gak bisa ikut nimbrung karena ada rapat Guru abis ini.” Kata Bu Susilo yang saat itu sudah berganti baju dengan seragam khas Ibu Guru.
“Oh! Ya gak apa-apa bu, saya sama Chia aja.”
“Emang lo maunya ketemu gue
“Orang gue mo ketemu ibu sih…” Celotehku.
Bu Susilo tersenyum ke arah dua putri dihadapannya. Lalu pamit pergi “Maaf ya nak Rey, ibu pergi dulu.”
“Iya Bu.” Mereka menyaut bersamaan.
Setelah ibunya pergi, Chia memandang foto abangnya lagi “Padahal, Kalo dia masih ada
“Hush! Ngomong apa sih lo, kita
“Kita sama-sama keilangan dia ya.”
“Banget.” Tambahku. Hati ini masih terasa seperti dipukul kencang. Sesak dan pilu.
“Eh mana katanya ada yang mau Lo kasih ke gue tadi?” aku mengingatkan.
“Oiya! Tunggu yak gue ambil.”
Sementara menunggu Chia mengambil benda apapun itu, aku duduk di sofa. Di sofa ini tengah malam, disaksikan semua teman saat kita bermain ‘tepok nyamuk’ dia pernah berkata begini.
“
Kontan semua anak yang mukanya saat itu sedang cemong-cemong (karena kalah bermain) menoleh serempak ke arah kami. Kost-an itu bukan kost-an biasa. Karena isinya sudah seperti keluarga sendiri. Lebih seperti rumah kedua dibandingkan dengan sebuah tempat kost. Jadi, jelas peristiwa seperti ini tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Saat itu kedua orang tuanya sudah tertidur. Tinggal para siswa-siswi serta kakak-kakak kantoran yang bergadang untuk merayakan kebebasan tiga tanggal merah yang berjejer di hari esoknya.
Mereka terpaku atas kejujuran
Mereka hening menanti jawabku. Tapi kalimat yang pertama aku ucapkan saat itu malah.
“Muka Kak
Kontan terdengar tawa yang meledak dari seisi ruangan. Lalu segera diredam oleh seorang diantara kami yang mengingatkan kalau ini tengah malam. Aku melanjutakan kata-kataku yang saat itu belum selesai.
“Sama kayak hati gue, belepotan. Mungkin karena di dalam hati berdengung kaliamat iya, sama. Rey juga sayang banget sama Kak
Dan seisi ruangan itu melontarkan kata ‘CIEEE’ dengan nada Do tinggi.
Chia keluar dari kamarnya menghentikan lamunanku. Ia membawa kotak kecil bermotif beruang yang dilatari warna hijau.
“Ini.” Katanya sambil meyerahkan kotak itu kepadaku.
Aku menerimanya dengan perasaan campur aduk sekaligus penasaran.
“Di rumah sakit,
Aku membuka tutup kotak yang lembut itu perlahan. Lalu mencuat lipatan kertas yang menumpuk. Melihat tulisannya lagi-lagi air mataku berlinang. Aku mulai membaca dari kertas yang paling bawah.
29 Mei 2007
Rey jenguk make kaos biru muda yang pernah gue kasih. Dia selalu cocok pake kaos warna biru itu. Manis :) gue harap, gue bisa terus liat dia, kalo dia pake baju itu lagi.
2 Juni 2007
‘Rey, jangan tinggalin
3 Juni 2007
Maaf, aku gak serius nyakitin kamu Rey, tapi kamu harus bisa ninggalin aku. Karena…penyakit jantungku rasanya udah gak mungkin aku kalahin.
7 Juni 2007
Akhirnya dia dateng lagi, tapi kenapa gak masuk? Oiya
28 Juni 2007
Rey kamu kemana?
1 Juli 2007
Hampir sebulan Reynata gak jenguk gue. Dia seriusan mikir kalo gue gak sayang gue ya? Jadi nyesel ngomong gitu ke dia :( tapi
Kertas yang tadi bertanda bekas di remas, tapi kemudian di buka, dan dilipat lagi. Aku menyeka air mata yang mengalir. Waktu itu aku selalu menjenguknya. Aku ada di pintu luar, aku sangat ingin menemuinya. Tapi tidak sanggup. Aku tidak sanggup harus meninggalkannya setiap kali menjenguknya.
Kini aku memegang kertas yang terakhir. Sebisa mungkin aku menahan air mata agar tidak terjatuh di atas kertas-kertas berisi tulisan tangannya ini.
3 Juli 2007
Kertas terakhir hanya berisi tanggal. 3 Juli 2007, hari terakhir sebelum kepergiannya. Tulisan tanggal yang kulihat mulai kabur. Aku meraba permukaan tulisan tanggal itu.
Chia mendekatkan tubuhku ke pelukannya.
Ia mengusap rambutku yang panjang bergelombang tanpa suara. Aku bisa rasakan ia juga terisak. Dia melepas dekapanku dan memberikan boneka monyet kecil yang pernah aku berikan ke
“Dia selalu genggam boneka itu, sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya.” Kata Chia dengan air mata membanjir.
Dia pergi tanpa diriku disampingnya. Dia menahan rasa sakit jantungnya sendirian. Hanya Monkichi saksi kepiluan hatinya. Aku hanya mendekap boneka itu sambil berkata dalam hati.
Dan air mataku menetes di atas Monkichi.
to find out more from Erica Geraldine, please do click here :)
sangat suka cerita ini =)
ReplyDeleteditunggu cerita deskriptif lainnya =)