I like for you to be still; It is as though you are absent
And you hear me from far away; And my voice does not touch you
It seems as though your eyes had flown away; And it seems that a kiss had sealed your mouth
As all things are filled with my soul; You emerge from the things
Filled with my soul; You are like my soul
A butterfly of dream; And you are like the word: Melancholy (Pablo Neruda)
It seems as though your eyes had flown away; And it seems that a kiss had sealed your mouth
As all things are filled with my soul; You emerge from the things
Filled with my soul; You are like my soul
A butterfly of dream; And you are like the word: Melancholy (Pablo Neruda)
Lagi-lagi basah.
Sulit memang kalau sedang musim hujan. Bukan hanya banjir, bukan hanya jemuran yang susah kering, dan bukan hanya alasan nggak bisa ngegaul dengan lancar di akhir minggu. Ngomong-ngomong soal jemuran, aku baru ingat kalau Bunda baru saja menjemur di atas sekitar satu jam yang lalu. Mulutku langsung terbuka, berusaha mengeluarkan suara. Tapi yang terdengar hanya deru hujan dan angin.
Aku menarik nafas panjang. Penuh sesal, penuh kesal.
Dengan cepat aku bergegas ke dapur, menemui Bunda yang sedang asyik mencacah bawang. Jemariku langsung menarik lengan baju Bunda dan menunjuk-nunjuk ke atas.
"Ada apa, Pop?"
Lagi-lagi aku menunjuk ke atas dan mengedikkan kepala ke arah jendela. Bunda menepuk jidatnya keras-keras dan langsung menaiki tangga. "JEMURAN! JEMURAN! Bik, bantu saya ambilin jemuran!"
Aku terkikik dalam hening. Bunda memang selalu seperti itu, heboh dan spontan. Berbeda dengan putri tunggalnya yang hanya selalu bisa mendengarkan. Aku menggeleng lagi, mencoba mengamati tanah basah yang sang hujan perbuat. Hujan selalu begini, membuat segala sesuatunya harus bisa mengering. Sama seperti air mata. Hujan selalu begini, membuat aku harus diam di dalam diam. Terus-menerus sendirian.
Telepon berdering. Aku menatap ke arah atas, ke arah keributan yang dibuat olah Bik Nurti dan Bunda yang sedang membereskan jemuran. Masih dengan mata penuh harap, aku menghampiri tangga. Bunda melongok ke arahku dan mengerjap.
"Tolong diangkat ya, Pop."
Aku menatap Bunda tanpa bisa berkedip. Dengan tatapan nyureng. Si Bunda mulai nggak beres nih, kalau ia yang mengangkat telepon - bagaimana ia harus bicara? Apa peneleponnya akan terus nyerocos tanpa peduli respon penerima telepon?
Tapi mau tidak mau, aku menuruti perintah Bunda. Mengurus seorang Poppy sudah merupakan tantangan seorang ibu yang terbesar, apalagi kalau si bisu itu masih niat membantah. Aku mengangkatnya.
"Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Poppy?"
Suara ini. Aku kenal betul. Suaranya tidak empuk dan kenyal, apalagi lembut seperti marshmallow. Tegas dan serak. Suara ini hanya dimiliki satu orang, teman bermainnya sejak kecil - Morgan.
"Halo?"
Dengan sengaja, aku membuat suara batuk kecil. Lalu terdengarlah suara tawa di seberang.
"Oh, ini Poppy ya?"
Aku terbatuk lagi. Tanda bahwa aku mengiyakan. Ini bukan pertama kalinya Morgan meneleponku. Dan keadaannya selalu sama - kalian bisa menganalisa bagaimana aku bisa bicara dengan Morgan di telepon. Morgan adalah anak ajaib.
"Hai Pop. Morgan nih. Lagi iseng aja nelepon. Di sana cerah nggak?"
Aku mendecak pelan. Itu berarti tidak.
"Oh... Sama dong. Di sini juga lagi hujan. Ah, kalau hujan jadi inget Poppy deh. Soalnya Poppy kan paling nggak suka hujan."
Lagi-lagi aku terbatuk. Itu berarti iya. Beginilah Morgan, dan herannya ia tidak pernah bermasalah berbicara dengan seorang gadis bisu. Apa yang ia cari? Sebuah batuk? Sebuah decak?
"Poppy nggak suka hujan kan gara-gara masalah patah hati."
Mataku membulat kesal. Lagi-lagi Morgan membahas masalah ini!
"Udah deh, Pop. Dari pada kamu yang aku yakin pasti lagi mellow-mellow ria sendirian, mending aku nyanyiin lagu deh." He? Lagu?
"Lagu apa ya, Pop? Maininnya pakai piano."
Kadang aku suka berharap Bunda membelikanku handphone 3G, sehingga aku bisa ber-video call ria dengan Morgan. Lalu aku bisa menuliskan judul lagu favoritku pada Morgan di selembar kertas dan menunjukannya. Tapi itu cuma harapan belaka sih, untuk apa orang bisu pakai telepon genggam?
"Aha! Aku tau, aku tau. Hmm... lagu ini kali ya."
Terdengar suara kresek-kresek di seberang. Sepertinya Morgan sedang mengobrak-abrik pianonya. Sesaat hening, sebelum akhirnya terdengar suara dentingan piano. Aku mendekatkan telingaku ke gagang telepon.
It's amazing how you can speak right to my heart...
...Without saying a word you can light up the dark
Try as I may I could never explain
What I hear when you don't say a thing...
Try as I may I could never explain
What I hear when you don't say a thing...
...The smile on your face let me know that you need me
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me where ever I fall
You say it best... When you say nothing at all...
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me where ever I fall
You say it best... When you say nothing at all...
Aku merasakan senyum di bibirku semakin melebar. Sementara pipiku semakin merona, Morgan menghentikan permainan pianonya. Lalu terdengar lagi suara seraknya yang ramah, "Gimana?"
Aku diam. Apa yang bisa aku ucapkan? Aku hanya ingin sekali... memeluk Morgan saat ini juga.
Tiba-tiba terdengar suara gelegar keras dari luar. Aku menjerit, menutup telingaku dan menjauhkan telepon. Petir sial! Memang sejak kecil, aku selalu takut petir. Klop sudah, aku benci hujan dan takut petir.
Baru saja aku mendekatkan gagang telepon ke telingaku lagi, yang terdengar hanya suara...
...Tut...tut...tut...
Dengan cepat, aku memencet nomor telepon Morgan. Tulalit. Aku mencobanya sekali lagi, dan hasilnya tetap tulalit.
...Tut...tut...tut...
Nomor yang Anda hubungi, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.
...Tut...tut...tut...
Nomor yang Anda hubungi, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.
Aku mendecak kesal dan membanting gagang telepon. Di luar, hujan mengguyur semakin deras. Dahiku mengerut, mencoba menyalahkan hujan yang membuatku semakin merasa merana. Sifatnya yang basah membuat...
...Benar sekali, membuat mataku jadi basah juga...
Aku mengusap air mataku yang mulai turun. Setiap kali aku sedih, entah kenapa hujan selalu turun - seakan berusaha mengisi diam yang tidak terlalu memilukan. Dengan gontai aku meraih gagang pintu dan menekannya. Secara perlahan, air hujan turun membasahi tiap helai rambutku, turun hingga ke pipi. Bersatu dengan derai air yang mengalir turun dari pelupuk mata - dan mataku terpejam tanpa harus aku minta. Semuanya menjadi butiran air yang menggelinding turun. Aku masih ingat, kejadian seperti ini juga terjadi ketika Ayah meninggalkan aku. Kejadian seperti ini juga terjadi ketika aku terpaksa harus masuk ke Sekolah Luar Biasa. Kejadian seperti ini juga terjadi ketika kucing kesayanganku mati. Semuanya sama - hujan selalu ada ketika aku sedih. Kenapa harus dia yang menemani rasa sedih? Aku nggak ingin...
...nggak ingin membenci hal yang paling Morgan sukai...
"Hei," Bisik sebuah suara tiba-tiba. Aku merasakan ada nuansa hangat yang mengalir dalam darahku, sedetik setelah aku merasakan ada yang merangkulku dari belakang. "Jangan hujan-hujanan dong."
Aku menangis. Lagi. Tapi kini tangisanku beda. Hal ini yang aku benci dari Morgan - dia selalu ada ketika aku butuh. Tapi aku? Bahkan tidak bisa memberikan solusi dan pendapat ketika ia ada masalah. Morgan semakin merangkulku hangat, dan mendekatkan bibirnya ke telinga kananku.
"Please don't cry in the rain," Ucapnya tegas.
Aku mendongak, menatapnya seakan berkata "Why?"
"If you cry in the rain, than I conclude it that you believing in rain more than a shoulder that I have provided."
Aku semakin terdiam. Dalam nuraniku, aku berharap Morgan mengatakan kalimat itu lagi. Tapi ia tidak - ia hanya tersenyum. Senyumnya semakin lebar, seakan mengerti tatapanku yang bertanya-tanya.
"Kamu tahu," Ia berbisik lagi, tapi kali ini dengan nada yang lebih berat. "Di saat kita sedang ada masalah, kadang yang kita butuhkan bukanlah sebuah kata-kata - tapi sosok yang selalu ada untuk mendengarkan. Hanya mendengar. Dan itu kamu, Pop."
Ganti aku yang tersenyum lebar. Rasanya sulit untuk menahan otot-otot pipiku yang kini merona diterjang hujan. Ia menepuk rambutku pelan dan tertawa kecil. "Aku sayang kamu, Pop."
Seperti membalikkan telapak tangan, suara hujan seakan tidak terdengar lagi. Seakan hujan sudah tau, bahwa kini aku punya seseorang yang bisa menggantikan hujan. Seseorang yang akan mengisi diam di dalam hariku, serta hatiku.
I like for you to be still; And you seem far away
It sounds as though you are lamenting; A butterfly cooing like a dove
And you hear me from far away; And my voice does not reach you
Let me come to be still in your silence; And let me talk to you with your silence
That is bright as a lamp; Simple, as a ring
You are like the night; With its stillness and constellations
Your silence is that of a star; As remote and candid (Pablo Neruda)
It sounds as though you are lamenting; A butterfly cooing like a dove
And you hear me from far away; And my voice does not reach you
Let me come to be still in your silence; And let me talk to you with your silence
That is bright as a lamp; Simple, as a ring
You are like the night; With its stillness and constellations
Your silence is that of a star; As remote and candid (Pablo Neruda)
No comments:
Post a Comment